Menyedihkan, Para Antek Barat Menjadikan Negeri Muslim Pusat Konflik Internasional

Uni Eropa (UE) sebelumnya telah menyerukan kepada Haftar melalui Komisioner Tinggi UE untuk kebijakan luar negeri, Federica Mogherini, untuk menghentikan operasi militernya terhadap Tripoli dan kembali ke perundingan. The Agence France-Presse melaporkan pada tanggal 11 April 2019 bahwa telah terjadi perbedaan antara negara-negara Uni Eropa dalam menyiapkan pernyataan yang mengutuk serangan Haftar di Tripoli, di mana Prancis dan Italia berbeda pandangan dalam memperlakukan Haftar, sebab Prancis memiliki investasi proyek minyak di wilayah timur Libya yang dikendalikan oleh Khalifa Haftar. Sementara Italia memiliki investasi proyek minyak di wilayah pemerintahan Fayez Mustafa al-Sarraj. Dengan demikian negara-negara kolonial berjuang untuk menjarah kekayaan negeri-negeri Muslim melalui para anteknya.

Kantor berita Reuters, 10/04/2019 melaporkan bahwa bulan lalu para Dubes negara-negara Barat telah menghabiskan tiga jam perundingan dengan Haftar di kubu timur Libya untuk menghalanginya melakukan serangan terhadap pemerintah al-Sarraj di Tripoli. Reuters mengutip dari beberapa sumber yang terlibat dalam pertemuan dan menolak dicantumkan namanya, bahwa Haftar berkata pada mereka, sesungguhnya dia bersedia bernegosiasi dengan perdana menteri, tetapi dia mungkin juga akan terus merangkak menuju ibukota jika tidak ada perjanjian pembagian kekuasaan yang tercapai. Dua minggu kemudian, pada 4 April 2019, Haftar memerintahkan pasukannya untuk pergi menuju ibu kota Tripoli, pada saat di mana Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, berada di ibukota dengan dalih mempersiapkan konferensi rekonsiliasi, yang kemudian pergi menemui Haftar di markasnya. Semua ini menunjukkan bahwa Guterres datang untuk menekan al-Sarraj agar menerima Hafter dengan berbagi kekuasaan dengannya. Reuters melaporkan bahwa “Serangan militer yang diluncurkan oleh Haftar mencerminkan kemunduran besar bagi kekuatan-kekuatan dunia, termasuk Prancis, Italia dan Inggris, … mengingat kekuatan ini justru berusaha mendorong Haftar ke arah penyelesaian politik.”

Reuters melaporkan bahwa ketika Haftar ditangkap oleh pasukan Chad pada 1980-an, Badan Intelijen Amerika (CIA) turun tangan untuk menyelamatkannya setelah ia berusaha menggulingkan Khadafi, dan setelah ia berselisih dengannya. Hal ini untuk mengingat bahwa Haftar adalah antek Amerika, sehingga Eropa menolaknya. Tampaknya Haftar melakukan serangan itu guna menekan pemerintah al-Sarraj sehingga mau berbagi kekuasaan dengannya. Dengan kata lain untuk berbagi pengaruh dan kekuasaan di antara kekuatan internasional yang saling bertarung di sana, yaitu Amerika dan Eropa. Dalam hal ini, Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo menjelaskan bahwa “negaranya menentang serangan itu” untuk menutupi fakta sebenarnya, tetapi dia mengatakan: “negaranya dengan mitra-mitranya terus menekan para pemimpin Libya untuk kembali ke perundingan politik.” Semua ini menunjukkan bahwa Amerika ingin memaksakan anteknya Haftar turut berkuasa pada pemerintah al-Sarraj.

Sungguh, ini sangat menyedihkan bahwa negeri Islam yang telah berakar ini justru menjadi pusat dari konflik internasional, dan menarik kekuatan lokal untuk berada di pihak ini dan itu dari pihak penjajah, sehingga mereka satu sama lain saling menyerang, padahal mereka semua sama-sama Muslim, dan tidak berpikir untuk meninggalkan kekuatan penjajah, kemudian setuju untuk menegakkan aturan agama mereka yang baik dan lurus, serta menyerukan kepada kepemimpinaan Islam politik yang tulus dan memiliki kesadaran untuk mengambil alih pemerinatahan dan menerapkan Islam yang diwujudkan dalam Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah.[]

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 13/04/2019.

Share artikel ini: