Menolak Swastanisasi Tambang Emas Milik Rakyat!
Oleh: Achmad Fathoni (Direktur eL Harokah Research Center)
Pembangunan smelter yang dilakukan oleh PT Freeport masih jauh dari target. Kabar terakhir progresnya baru sekitar 6% dari target 10,5%. Pembangunan smelter menjadi salah satu syarat dalam mendapatkan rekomendasi ekspor. Namun Freeport tetap mendapatkan rekomendasi persetujuan ekspor konsentrat tembaga oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meski tidak capai target. Banyak kalangan menilai, Freeport terkesan susah disentuh dan memiliki “Hak Istimewa”.
Dan yang patut dicermati, PT Freeport bisa dengan leluasa mengeruk kekayaan di Papua karena dilegalkan secara sistem, yakni ada payung undang-undang dan berbagai peraturan Pemerintah. Hal ini sebagai konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme-demokrasi di negeri ini.
Berdasarkan sistem ekonomi kapitalisme, pengelolaan dan pengusahaan tambang dapat diserahkan kepada swasta termasuk asing. Lalu semua itu dilegalkan melalui UU yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah dalam sistem demokrasi.
Pada proses pembuatan UU semacam itu sering terjadi praktik politik dagang sapi dengan para kapitalis pemilik modal. Karena itu selama ideologi kapitalisme dengan demokrasinya masih diterapkan, penjajahan itu akan terus terjadi. Negeri ini akan terus dieksploitasi. Kekayaannya dijadikan jarahan. Penduduknya dijadikan sebagai sapi perahan. Kasus Freeport di atas adalah salah satu contoh dampak buruk penerapan sistem kapitalisme dan demokrasi tersebut.
Kebutuhan Sistem Islam
Dalam sistem Islam, kekayaan alam yang berlimpah berupa barang tambang, migas, laut dan hutan merupakan harta milik umum (milkiyyah al-‘âmmah). Harta ini harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum (Lihat: Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, 2005, hlm. 215-220). An-Nabhani mengacu pada sebuah hadis yang menyebutkan bahwa seorang Sahabat Abyadh bin Hammal ra. pernah bertutur bahwa: Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. Lalu ia meminta (tambang) garam. Ibn al-Mutawakkil berkata, “(Maksudnya tambang) yang ada di Ma’rib.” Beliau kemudian memberikan tambang itu kepada dia. Ketika dia pergi, seseorang di majelis itu berkata (kepada Nabi saw.), “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan? Sesungguhnya Anda memberi dia (sesuatu laksana) air yang terus mengalir.” Ibn al-Mutawakkil berkata, “Rasul lalu menarik kembali (tambang itu) dari dia (Abyadh bin Hamal).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Hadis ini menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir (al-ma’u al-‘iddu). Sikap pertama Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasulullah saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasulullah saw. kemudian mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan sebagai harta milik umum. Semua harta milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Atas dasar ini, pemberian ataupun perpanjangan ijin kepada swasta/asing untuk menguasai pengelolaan tambang, termasuk PT Freeport, bertentangan dengan sistem Islam. Menurut sistem Islam, tambang yang berlimpah haram diserahkan kepada swasta apalagi asing.[]