Menkominfo Minta Adzan di TV Diganti Running Text Saat Paus Pimpin Misa, Pimred Al-Wa’ie: Kenapa Bukan Misanya yang Berhenti Dengar Adzan?
Mediaumat.info – Surat edaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi yang merupakan tindak lanjut dari permintaan dari Kementerian Agama tentang penayangan adzan maghrib secara running text di televisi saat Paus Fransiskus memimpin misa di Gelora Bung Karno dipertanyakan Pemimpin Redaksi Majalah Al-Wa’ie Farid Wadjdi.
“Toleransi seharusnya dua arah, kenapa bukan misanya yang berhenti dengar adzan?” tuturnya.
Menurutnya, toleransi itu seharusnya ada dua pihak yang saling terkait. “Sudah sepantasnya juga kalau memang kita bicara toleransi, toleransi itu juga seharusnya ada di pihak yang menyelenggarakan acara. Karena ini negeri muslim yang mayoritas muslim, apa salahnya kalau untuk sementara mendengar adzan, yang itu tidak lama. Itu kalau kita bicara toleransi,” katanya.
“Kenapa kemudian tuntutan toleransi itu sepertinya hanya diarahkan kepada umat Islam. Dengan sampai mengubah adzan itu berupa running text, itu sebenarnya tidak bisa disebut kategori adzan,” tegasnya.
Farid menilai seharusnya cara berpikirnya itu antara dua pihak yang saling terkait. “Tentu sangat disebut toleransi, kalau justru pihak penyelenggara itu mau mendengar adzan itu atau menghentikan sementara misa itu untuk mendengar adzan-nya umat Islam yang mayoritas di negeri ini,” tegasnya.
Menurutnya, ini perspektifnya toleransi. Toleransi itu tidak boleh kebablasan. “Mayoritas negeri Islam ini menerima pemimpin Katolik itu sudah bentuk toleransi yang luar biasa. Apalagi saya kita kira tidak ada di satu negara pun di dunia ini, ketika Paus datang, semua TV itu menyiarkan acara Misa,” ungkapnya.
Farid melihat itu hanya ada di negeri ini. Tapi, ia mengingatkan agar toleransi jangan kebablasan. “Itu yang harus kita jadikan catatan,” tandasnya.
Ia menduga, ini sebenarnya bukan permintaan dari pihak Kristen sendiri. Ia melihat ini ada upaya dari Kementerian Agama untuk menunjukkan Indonesia itu toleransi.
“Mungkin begitu kalau cara berpikir saya. Tapi kan juga jangan malah kebablasan gitu. Adzan ini kan sudah lama di TV, sejak dulu sudah lama dan itu sebentar. Kenapa harus diubah menjadi running text? Ini kan menjadi pertanyaan besar?” herannya.Tentu saja kata Farid, ini menimbulkan pertanyaan besar di beberapa pihak terutama umat Islam. Pertama, kalau kita bicara tentang adzan, tidak ada adzan berupa running text,” ungkapnya.
Menurutnya, di seluruh dunia itu tidak ada adzan yang berupa running text. “Karena yang disebut dengan adzan itu adalah panggilan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah shalat lima waktu itu dengan suara yang nyaring dan keras. Kalau kemudian dipaksakan adzan itu dalam bentuk running text, ini justru menjadi pertanyaan,” ujarnya.
Tentang posisi sebagai umat Islam, ujar Farid, sebagai umat Islam yang mayoritas di negeri ini, itu bukan sekedar mengajarkan toleransi, tapi juga mengajarkan Islam itu sendiri.
“Bagaimana Islam itu? Bagaimana ajaran Islam sejatinya? Bagaimana tentang keimanan dan kekufuran? Itu yang seharusnya kita juga sampaikan dan bukan sekedar bicara toleransi. Kita tidak mempersoalkan adanya ibadah dari umat di luar Islam dan itu sudah berjalan lama di Indonesia tapi kemudian sampai seperti ini, apa pendekatan toleransi itu yang kemudian kita pertanyakan sebagai di sebuah negeri yang mayoritas muslim,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it