Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Peristiwa hijrah Nabi SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah, khususnya, bukan untuk melarikan diri, dan menyelamatkan agamanya, sebagaimana yang dilakukan saat hijrah pertama, ke Abesinea. Tetapi, hijrah Nabi SAW dan para sahabat ke Madinah bertujuan untuk menerapkan Islam, yang selama 13 tahun di Makkah, belum mampu diterapkan secara menyeluruh [kaffah]. Karena dengan tegas Allah menitahkan, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah Islam secara kaffah, dan janganlah kalian mengikuti langkah syaitan.” [TQS al-Baqarah: 208]
Karena itu, begitu Baiat ‘Aqabah II berhasil diwujudkan oleh Nabi, dan seluruh rombongan yang menunaikan ibadah haji di Makkah, sekaligus membaiat Nabi SAW kembali di Madinah, bagi kaum Kafir Quraisy, musyrik dan munafik di Madinah, semuanya seolah tampak normal, dan seperti tidak terjadi apa-apa. Meski mereka sudah mulai curiga. Karena, apa yang mereka takutkan, yaitu Islam mendapatkan kekuasaan, benar-benar menjadi kenyataan. Namun, lambat atau cepat, semuanya itu akan terbongkar. Berbagai upaya untuk menghentikan pun terus menerus dilakukan, sehingga negara Islam yang pertama itu tidak akan pernah berdiri.
Tapi, semua strategi telah dipersiapkan dan dihitung dengan matang oleh Nabi SAW. Kaum Muslim pun mulai hijrah ke Madinah. Namun, tidak seperti ketika mereka hijrah ke Abesinea, saat itu mereka tahu persis apa yang mereka tuju. Kaum musyrik pun mulai berusaha menghalangi kaum Muslim meninggalkan Makkah, karena apa yang mereka khawatirkan, yaitu berdirinya negara Islam pertama di Madinah itu menjadi kenyataan. Ini antara lain tampak pada beberapa peristiwa:
Pertama, kaum Muhajirin yang pertama kali hijrah ke Madinah, adalah Abu Salamah. Ia hijrah, satu tahun sebelum peristiwa Baiat ‘Aqabah II, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibn Ishaq. Ketika hendak hijrah, Abu Salamah dipersilakan meninggalkan Makkah, tetapi istrinya ditahan oleh kaumnya. Keluarga Abu Salamah pun marah, hingga berujung pada perebutan putra Abu Salamah dengan Ummu Salamah. Karena dijadikan rebutan, maka lengan putra Abu Salamah pun putus, dan akhirnya berhasil dibawa oleh suku Abu Salamah. Sementara, istrinya tetap tinggal bersama kaumnya. Abu Salamah pun terpaksa pergi sendiri ke Madinah, tanpa didampingi anak dan istrinya.
Selepas kepergian suaminya, Ummu Salamah setiap pagi keluar, sambil menangis dari pagi hingga petang. Itu berlangsung hingga setahun lamanya. Salah seorang kerabat dan sukunya merasa iba kepadanya, sembari berkata, “Apakah kalian tidak ingin melepaskan wanita malang ini? Kalian telah memisahkannya dengan suami dan anaknya.” Mereka pun berkata kepada Ummu Salamah, “Jika kamu mau, susullah suamimu. Anaknya pun dikembalikan kepadanya.” Ummu Salamah pun keluar, meninggalkan sukunya, menuju ke Madinah sejauh 500 km seorang diri. Saat sampai di Tan’im, ia bertemu dengan Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah. Setelah mengetahui persis apa yang menimpanya, maka ‘Utsman pun mengantarkannya ke Madinah, menyusul suaminya. Begitu tiba di Quba’, Utsman berkata kepada Ummu Salamah, “Suamimu ada di kampung ini. Masuklah ke sana, dengan berkah Allah.” Dia pun kembali ke Makkah [Lihat, Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, Juz I/468, 469 dan 470].
Kedua, ketika Shuhaib ar-Rumi hendak hijrah, kaum kafir Quraisy berkata kepadanya, “Kamu datang kepada kami tidak mempunyai apa-apa, dan hina, kini hartamu menjadi banyak di antara kami, dan Anda telah mencapai kehidupan sebagaimana yang Anda dapatkan saat ini. Setelah itu, Anda ingin pergi membawa harta dan jiwa Anda? Demi Allah, itu tak akan terjadi.” Shuhaib menjawab, “Bagaimana menurut kalian, jika hartaku aku serahkan kepada kalian, apakah kalian tidak akan menghalangi jalanku?” Kata mereka, “Tentu saja.” Shuhaib menyahut, “Kalau begitu, aku serahkan hartaku kepada kalian.” Peristiwa itu pun sampai kepada Nabi SAW, lalu baginda SAW bersabda, “Sungguh beruntunglah Shuhaib. Beruntunglah Shuhaib.” [Lihat, Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, Juz I/477]
Ketiga, ‘Umar bin al-Khatthab, ‘Iyash bin Abi Rabi’ah dan Hisyam bin al-‘Ash bin Wa’il, berjanji di suatu tempat, di mana mereka pagi-pagi bertemu di sana. Setelah mereka hijrah ke Madinah. ‘Umar dan ‘Iyash pun bertemu, tetapi Hisyam tertahan dari keduanya, sehingga tidak bisa menunaikan janjinya. Ketika keduanya tiba di Madinah, keduanya singgah di Quba’. Ketika itu, Abu Jahal dan saudaranya, al-Harits, menemui ‘Iyash. Mereka bertiga satu ibu. Keduanya berkata kepadanya, “Ibumu bernazar tidak akan menyisir rambutnya, dan tidak akan berteduh dari sinar matahari hingga dia melihatmu.” Dia pun merasa iba kepadanya. ‘Umar mengingatkannya, “Wahai ‘Iyash, demi Allah, kaummu itu tidak menginginkan darimu kecuali hendak menghasutmu agar meninggalkan agamamu, maka waspadalah! Demi Allah, kalau sampai ibumu rambutnya kumal, pasti akan bersisir. Begitu juga, kalau panas terik Makkah menyengatnya, pasti dia akan mencari tempat berteduh.” ‘Iyash pun tidak menghiraukan nasihat ‘Umar. Akhirnya dia pun ikut bersama keduanya untuk membuktikan janji ibunya.
‘Umar berkata kepadanya, “Jika yakin dengan apa yang kamu lakukan, ambillah untaku ini.” Pendek kata, mereka pun pergi ke Makkah. Di tengah jalan, Abu Jahal mengatur siasat, seolah tunggangannya tak sanggup lagi membawanya. Maka, dia meminta ‘Iyash untuk memboncengnya di atas punggung untanya. Begitu sampai di dekat Makkah, dia mengikat ‘Iyash dan menyeretnya, lalu Abu Jahal berkata kepada penduduk Makkah, ‘Wahai penduduk Makkah, beginilah seharusnya yang harus kalian lakukan terhadap orang-orang bodoh di antar akalian, sebagaimana yang kami lakukan terhadap orang bodoh kami ini’.” [Lihat, Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, Juz I/474, 475 dan 476]
Ini adalah tiga contoh, yang dilakukan oleh kaum musyrik Makkah terhadap siapa saja yang ingin hijrah ke Madinah, jika mereka mengetahuinya. Tetapi, meski demikian, secara bertahap orang-orang Islam meninggalkan Makkah. Kira-kira dua bulan lebih, setelah Baiat ‘Aqabah II ini, di Makkah tak lagi tersisa umat Islam, kecuali Rasulullah SAW, Abu Bakar dan ‘Ali, karena mereka dititahkan untuk tetap menemani Nabi saw. Baginda saw. pun menyiapkan perlengkapannya, sambil menunggu kapan dititahkan meninggalkan Makkah. Begitu juga dengan Abu Bakar. [Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Zad al-Ma’ad, Juz II/52]
Dalam riwayat al-Bukhari, ‘Aisyah ra menuturkan, bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “Aku telah ditunjukkan negeri tempat hijrah kalian mempunyai kebun kurma, terletak di antara dua lereng. Maka, berhijrahlah siapa saja yang berhijrah. Kebanyakan yang sebelumnya hijrah ke Abesenia pun kembali ke Madinah. Abu Bakar pun melakukan persiapan sebelum ke Madinah. Namun, Nabi saw. bersabda kepadanya, “Sebenar, wahai Abu Bakar. Aku ingin menunggu izin untukku.” Abu Bakar bertanya kepada Nabi, “Apakah Anda menginginkan itu? Demi ayahku, yang menjadi jaminan untukmu.” Nabi saw. menjawab, “Iya.” Maka, Abu Bakar pun menahan dirinya bersama Nabi untuk bisa menemaninya. Abu Bakar pun merawat kedua tunggangannya.” [Lihat, al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab Hijrah Nabi saw, Juz I/553]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 223