Menjalankan Sistem Khilafah: Menghidupkan Sunnah Nabi (Tanggapan atas Logika Keliru Mahfud MD)

Oleh: Yuana Ryan Tresna

Baru-baru ini, sebagaimana diberitakan di beberapa media masa, Menkopolhukam Mahfud MD membuat pernyataan kontroversial. Diantara statemen Mahfud MD adalah, “Ada yang mengatakan ‘Pak, bapak bilang tidak ada khilafah, tapi kan Nabi Muhammad itu mendirikan khilafah?’ Iya, tetapi khilafah itu bukan ajaran baku karena yang didirikan Nabi Muhammad itu tidak boleh diikuti” (https://kumparan.com/kumparannews/mahfud-md-negara-khilafah-nabi-muhammad-tidak-boleh-diikuti-1sMsypgnb3b).

Ungkapan bahwa sistem kenegaraan Nabi tidak boleh diikuti adalah bentuk penghinaan pada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Minimal merupakan bentuk merendahkan martabat ajaran Nabi Muhammad. Itu tidak boleh keluar dari lisan seorang muslim. Pernyataan ini menambah daftar panjang penolakan beliau pada sistem khilafah. Pernyataan tersebut juga melengkapi maraknya penistaan dan penghinaan pada baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mahfud tidak merendahkan diri Rasulullah, namun ia menyepelekan ajarannya (warisannya), dengan mengatakan tidak boleh diikuti.

Kekeliruan Pertama: Tidak Ada Bentuk Baku Khilafah 

Ungkapan bahwa tidak ada bentuk baku khilafah yang oleh karenanya harus ditolak adalah bentuk kesesatan berpikir. Setiap ajaran Islam memiliki wilayah yang muttafaq ‘alaihi (disepakati oleh para ulama), dan ada wilayah yang mukhtalaf fihi (diperselisihkan oleh para ulama, wilayah ijtihad). Adanya perbedaan dalam beberapa hal dalam suatu ajaran Islam bukan berarti ajaran tersebut tidak punya model baku.

Istilah “Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah” itu sendiri dari Nabi (HR. Ahmad). Makna, “Ala Minhaj Nubuwwah” itu artinya khilafah yang dijalankan para shahabat adalah mengikuti secara persis dari Nabi, bukan rekayasa shahabat. Shahabat tinggal melanjutkan negara dan sistem yang dibangun Nabi. Nabi menjalankan negara, sebagai kepala Negara Islam pertama, dengan ibu kotanya Madinah, selama 10 tahun. Selain ada kepala negara, ada wazir (pembantu kepala negara), yaitu Abu Bakar dan ‘Umar (HR. Hakim).

Secara lebih rinci diantara kekeliruan Mahfud MD terkait dengan ketidak-bakuan khilafah adalah sebagai berikut:

Pertama, mari kita sepakati bahwa dalil syariah itu adalah al-Quran, al-Sunnah, Ijmak Shahabat dan Qiyas. Sayangnya, hadits tidak banyak dieksplorasi, padahal banyak menjelaskan sistem khilafah dan khalifahnya. Ijmak juga demikian, hampir tdk disentuh. Mahfud MD masih sibuk cari teks dalam al-Quran.

Ijmak Shahabat dengan sangat terang menunjukkan bagaimana mareka menjalankan pemerintahan pasca wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini tidak boleh diingkari. Kalau cara pandangnya seperti Mahfud MD, maka betapa banyak hukum Islam yang kaifiyahnya tidak dijelaskan dalam Qur’an dan Sunnah.

Dengan cara pandangnya, maka berarti sistem khilafah yang dijalankan oleh empat orang shahabat adalah tidak baku. Sebab, sistem khilafah yang mereka terapkan itu tidak disebutkan dalam al-Quran dan Hadits. Bahkan, berdasarkan cara pandang tadi, sistem Khilafah dengan manhaj Nubuwwah pun tidak baku di semua aspeknya.

Padahal para shahabat Nabi menerima perkara yang amat prinsip yakni adanya khalifah yang menjalankan syariah dan mengemban dakwah. Semua shahabat menerimanya, sehingga terjadilah Ijmak di kalangan mereka. Ijmak pengangkatan Abu Bakar pasca wafatnya Rasul bukti hal itu (al-Shawa’iq al-Mukhriqah,1/25).

Kedua, mari kita bedah dari sisi apa yang paling mendasar dalam penyelenggaraan sebuah negara. Esensi yang  membedakan pemerintahan yang satu dengan yang lain adalah Kedaulatan dan Kekuasaan.

Prinsip kedaulatan dan kekuasaan dalam sistem khilafah itu bersifat baku (tidak ada perbedaan pendapat). Hal itu bisa dibedah menjadi empat penjelasan:

(1) Kedaulatan/al-siyadah (otoritas tertinggi dalam membuat hukum) di tangan syara’. Tidak boleh ada di dalamnya hukum yang dibuat oleh manusia. Semuanya harus didasarkan kepada syariat atau merujuk kepada nash syara’ melalui proses istinbath (penggalian hukum) dan ijtihad syar’i;

(2) Kekuasaan/al-sulthan (otoritas dalam memilih khalifah) di tangan umat (bukan rakyat). Karenanya orang kafir tidak punya hak pilih apalagi dipilih. Hanya saja mereka boleh hidup di bawah naungannya dengan akad dzimmah (membayar jizyah  dan tunduk terhadap syariat Islam);

(3) Kesatuan khalifah. Wajib ada satu khalifah untuk seluruh kaum muslim di dunia. Tidak boleh lebih dari satu dan ini sudah merupakan ijmak. Ia digelari al-Imam al-A’zham (pemimpin teragung) karena tidak ada lagi pemimpin umat Islam di atasnya. Kewajiban satu khalifah ini dalilnya adalah hadits shahih;

(4) Khalifah memiliki hak mengadopsi hukum (bukan membuat hukum), yakni mengadopsi hukum syariat tertentu yang dibutuhkan demi pengurusan kemaslahatan umat Islam khususnya, dan seluruh warga khilafah umumnya. Khalifah bisa berijtihad sendiri atau mengadopsi ijtihad ulama.

Semua yang dijelaskan di atas sifatnya baku. Dalilnya jelas. Adapun yang dikritik Mahfud MD sebagai bukti ketidak-bakuan adalah bukan perkara utama atau yang disepakati ulama (muttafaq). Melainkan perkara mukhtalaf (tidak baku).

Jadi seharusnya Mahfud MD bisa memetakan mana perkara baku (muttafaq) dan mana yang memang tidak baku (mukhtalaf). Semua cabang fiqih juga ada sisi baku dan tidak bakunya jika dilihat dari aspek ini. Lebih prinsip lagi, perkara baku yang umat wajib meyakininya adalah 2 hal sbb:

(1) Wajib adanya imamah (khilafah) dengan imam (khalifah) yang terikat dengan hukum syara’, untuk menegakkan hukum Islam, mengatur masyarakat, dan mengemban dakwah Islam;

(2) Wajib mengusahakan kesatuan umat dalam satu imamah (khilafah), karena umat di dunia dalam satu waktu tidak boleh memiliki dua imam (khalifah) atau lebih.

Adapun ragam ijtihad dalam hal yang rinci, bukanlah bentuk inkonsistensi. Berbicara ijtihad, maka itu terjadi pada perkara yang secara tekstual tidak disebutkan dalam nash, baik al-Quran maupun al-Sunnah. Dengan ijtihad ini, khazanah Islam makin berkembang. Tantangan zaman dapat dihadapi. Ijtihad adalah hukum syara’ bagi mujtahid dan yang mengikutinya. Para ulama telah membahas khilafah ini. Khilafah bukan ciptaan ulama. Para ulama menjelaskan hukum. Secara obyektif, jika kita membaca kitab-kitab para ulama, maka kita akan dengan mudah mendapati pembahasan tentang Khilafah.

Para ulama juga telah mengulas masalah ini secara global. Istilah khilafah, diungkapkan pula oleh para ulama dengan istilah imamah, yakni al-imamah al-’uzhma, keduanya bentuk sinonim (mutaradif) karena esensinya sama, yakni topik kepemimpinan dalam Islam.

Imam al-Mawardi al-Syafi’i mengatakan,

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta pengaturan urusan dunia.” (al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5)

Imam al-Haramain al-Juwaini al-Syafi’i menyebutkan,

الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا

“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.” (al-Haramain, Ghiyats al-Umam fil Tiyatsi al-Zhulam, hlm. 15)

Adapun Imam al-Nawawi al-Syafi’i berpendapat,

الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يُقيم الدين وينصُر السنة وينتصف للمظلومين ويَستوفي الحقوق ويضَعها مواضعَها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …

“…Pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan mengenai metode (jalan untuk mewujudkannya). Adalah suatu keharusan bagi umat adanya seorang imam yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang didzalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurusi urusan imamah itu adalah fardhu kifayah.” (al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz III, hlm. 433.)

Adapun Imam Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i –begitu pula para ulama lainnya- pun mengumpamakan din dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar, lalu Al-Ghazali menegaskan,

الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع

”Al-dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.” (al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 128)

Kekeliruan Kedua: Negara yang Didirikan Nabi tidak Boleh Diikuti 

Penyataan bahwa negara yang didirikan Nabi tidak boleh diikuti adalah bentuk merendahkan martabat ajaran Islam, dan gagal memahami ketundukan pada syariah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Salah satu ajaran Islam yang diwasiatkan dan diwariskan Rasulullah kepada para shahabat dan umatnya adalah al-imamah (khilafah), sebagaimana sabdanya dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi Muhammad bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ

“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalifah yang banyak.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Telah jelas bahwa sistem pemerintahan warisan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khilafah. Nabi bersabda,

أُوصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.  Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah). 

Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini berturut-turut dari Walid bin Muslim, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma‘dan, dari Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr bin Hujr. Keduanya berkata: Kami pernah mendatangi al-‘Irbadhi bin Sariyah. Lalu al-‘Irbadhi berkata, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat subuh. Beliau kemudian menghadap kepada kami dan menasihati kami dengan satu nasihat mendalam yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini seakan merupakan nasihat perpisahan. Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Beliau bersabda, “Aku mewasiatkan kepada kalian…”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur yang lain, Ibn Majah, Imam al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Hibban dalam Shahih Ibn Hibban, al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain dan ia berkomentar, “Hadits ini shahih, dan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqi al-Kubra.

Maknanya, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah selalu bertakwa kepada Allah.” Ini menunjukkan wajibnya takwa secara mutlak, dalam hal apa saja, dimana saja dan kapan saja.

Kemudian Beliau bersabda, “Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnah (jalan/jejak langkah)-ku dan sunnah (jalan/jejak langkah) Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.” Sunnah dalam hadits ini menggunakan makna bahasanya, yaitu thariqah (jalan/jejak langkah). Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kita untuk mengambil dan berpegang teguh dengan jejak langkah Beliau dan Khulafa’ur Rasyidin. Perintah ini mencakup masalah sistem kepemimpinan, karena konteks pembicaraan hadits ini adalah masalah kepemimpinan. Artinya,  hadits ini merupakan perintah agar kita mengikuti corak dan sistem kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yaitu sistem Khilafah. Beliau sangat menekankan perintah ini dengan melukiskan (dengan bahasa kiasan) agar kita menggigitnya dengan gigi geraham.

Hal itu dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh para shahabat radhiyallahu ’anhum. Mereka semua mengikuti contoh Nabi Muhammad dalam hal pemerintahan. Itulah bukti cinta kepada Nabi, yakni menghidupkan sunnah-nya,

مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja yang mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Thabarani)

Penutup

Mengatakan bahwa khilafah adalah ajaran Islam namun tidak memiliki konsep baku, tidak boleh diikuti, dan bukan sebuah sistem tatanegara, adalah kesalahan yang amat fatal. Khilafah memiliki konsep baku yang amat jelas. Khilafah juga merupakan warisan Rasulullah yang wajib diikuti. Disamping itu, khilafah adalah ajaran Islam yang bermakna sebuah sistem pemerintahan dalam Islam dan meniscayakan sebagai konsep tatanegara sebagaimana yang dipahami dewasa ini. Hal itu didukung fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Wallahu a’lam.[]

Share artikel ini: