Menguatnya Hegemoni Kekuasaan Berbanding Lurus dengan Pelanggaran HAM

Mediaumat.info – Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional sekaligus peringatan 75 tahun disahkannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang jatuh pada 10 Desember 2023, Koordinator Badan Pekerja KontraS Dimas Bagus Arya menyatakan ditemukan pola menguatnya hegemoni kekuasaan berbanding lurus dengan banyaknya pelanggaran HAM.

“KontraS menemukan pola menguatnya hegemoni kekuasaan pemerintah hari ini berbanding lurus dengan banyaknya angka pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM yang terjadi akibat agenda pembangunan yang cukup masif serta kesewenang-wenangan aparat di lapangan,” ujarnya dalam rilis yang diterima media-umat.info, Ahad (10/12/2023).

Dimas mengatakan, pada sisi lain, KontraS juga menilai bahwa pemerintah berupaya untuk memanipulasi upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalan penyelesaian non-yudisial, sementara pengungkapan kebenaran dan pengadilan HAM tak kunjung dijalankan sehingga keadilan substantif gagal dihadirkan bagi para korban.

Atas hal itu, kata Dimas, KontraS memberikan tujuh catatan terkait penerapan HAM di Indonesia untuk periode Desember 2022-November 2023.

Pertama, gagalnya penuntasan pelanggaran HAM berat. Menurut Dimas, hal itu dibuktikan dengan terus dilanjutkannya mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial namun melupakan aspek pengungkapan kebenaran dan pengadilan HAM.

Dan pada praktiknya pun dijalankannya proses penyelesaian non-yudisial tersebut diwarnai oleh berbagai kendala yang membuktikan bahwa pemerintah masih belum secara serius menjadikan penyelesaian pelanggaran HAM berat sebagai agenda prioritas.

Kedua, masih terjadi berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak fundamental dan represi terhadap kebebasan sipil. Dimas melihat, masih ditemukan maraknya peristiwa extrajudicial killing, penyiksaan, hingga praktik perdagangan orang yang melibatkan aparat negara.

Menurut Dimas, pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan juga masih kunjung terjadi sepanjang tahun ini. Pada sisi lain aparat pemerintah juga masih melakukan berbagai praktik represi terhadap kebebasan sipil warga negara, melalui berbagai bentuk pembungkaman.

Ketiga, pendekatan pembangunan yang merugikan masyarakat. Dimas menyebut, pada sektor hak ekonomi, agenda pembangunan yang seharusnya mensejahterakan masyarakat justru menjadi sumber terlanggarnya hak kolektif masyarakat.

Proyek Strategis Nasional, Objek Vital Nasional hingga usaha milik korporasi swasta seringkali dijalankan dengan pengerahan kekuatan aparat keamanan yang berlebihan, alih-alih mendapat manfaat beberapa kelompok masyarakat justru menjadi korban dan semakin terpinggirkan akibat masifnya agenda pembangunan yang dijalankan.

Keempat, situasi HAM di tanah Papua. Konflik berkelanjutan antara kelompok bersenjata di Papua dengan TNI/Polri yang masih terjadi juga berdampak pada warga sipil. Banyak warga sipil di tanah Papua yang meninggal dunia akibat konflik yang terjadi, menunjukkan bahwa warga di tanah Papua belum sepenuhnya bebas dari rasa takut.

Kelima, serangan terhadap pembela HAM. Dimas membeberkan, situasi yang pelik juga dialami oleh pembela HAM. Sebab judicial harassment atau kriminalisasi kini semakin menghantui bahkan semakin masif dilakukan. Instrumen hukum pidana dengan mudahnya disalahgunakan untuk membungkam para pembela HAM.

Keenam, mandeknya reformasi sektor keamanan. Dimas menilai, semua hal tersebut terjadi seiring dengan mandeknya agenda reformasi sektor keamanan. Pada momen 25 tahun reformasi, justru muncul wacana untuk kembali menguatkan peran militer dalam kehidupan masyarakat sipil.

Menurut Dimas, wacana revisi UU TNI yang sempat mengemuka yang ingin kembali mengembalikan peran Peradilan Militer seperti masa Orde Baru hingga dibukanya ruang bagi aparat keamanan untuk menduduki berbagai jabatan sipil melalui Revisi UU ASN tentu merupakan hal yang bertolak belakang dengan amanat reformasi.

Ketujuh, peran pemerintah Indonesia dalam isu HAM pada kancah internasional. Dimas menilai, posisi pemerintah Indonesia pada isu-isu HAM internasional juga tampak kurang menjanjikan, padahal Indonesia baru saja kembali terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB dengan suara terbanyak.

Menurutnya, pemerintah Indonesia nampak kurang mampu berkontribusi pada isu regional seperti konflik yang terjadi di Myanmar, dan pada akhirnya juga gagal menanggulangi krisis pengungsi Rohingya yang masih berlangsung hingga kini yang menimbulkan penolakan masyarakat lokal di Aceh dan Sumatera Utara, padahal Indonesia merupakan Chairperson ASEAN di tahun 2023 ini.

“Semua isu tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih enggan untuk menjalankan prinsip HAM secara utuh dan pada beberapa kasus justru menjadi aktor terjadinya pelanggaran HAM,” pungkas Dimas.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: