Menghina Rasulullah Dianggap Freedom of Expression, MIY: Ini Kebodohan dan Kebencian Terhadap Islam
Mediaumat.news – Pembelaan Presiden Prancis Emmanuel Macron kepada penghina Rasulullah SAW sebagai bentuk freedom of expression dinilai Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (MIY) sebagai kebodohan dan kebencian terhadap Islam dan simbol-simbolnya.
“Masalahnya adalah kebodohan yang amat sangat dan kebencian yang luar biasa terhadap Islam dan simbol-simbolnya,” tuturnya dalam acara Fokus Live: Rasulullah Kembali Dihina, Siapa yang Hentikan? Ahad (01/11/2020) di kanal YouTube Fokus Khilafah Channel.
Menurutnya, apa yang dilakukan Macron itu hanya dua kemungkinan. “Kemungkinan yang pertama adalah kebodohan yang amat sangat terhadap pribadi Rasulullah, Islam dan cadar. Atau yang kedua, kalau dia tidak bodoh berarti kebencian yang luar biasa. Atau mungkin dua-duanya, sudah bodoh juga benci,” ujarnya.
Ia menilai kalau sudah benci, maka tidak ada ruang diskusi. Yang ada adalah might is right, siapa yang kuat dialah yang menang. Karena itulah dia menggunakan tangan kekuasaan, bukan dengan pendekatan intelektualisme.
“Jadi, saya kira di situ letak masalahnya. Karena itu, bagi kita sebenarnya juga percuma membincangkan tentang inkonsistensi, tentang nilai-nilai sekularisme, penjagaan terhadap freedom of expression. Karena masalahnya bukan di situ,” ujarnya.
Jika memang betul Macron membela freedom of expression, menurutnya, Muslimah di Prancis mestinya juga diberi kebebasan untuk memakai apa yang dia inginkan untuk dipakai. “Tapi, mengapa mereka melarang Muslimah memakai cadar?” tanyanya.
Ismail menilai hal itu adalah contoh nyata bahwa freedom of expression adalah prinsip-prinsip yang absurd. “Mereka hanya berpegang pada prinsip itu pada hal-hal yang mereka sukai, sementara untuk hal-hal mereka tidak kehendaki seperti pemakaian cadar itu prinsip freedom of expression itu tidak pernah dilakukan. Karena itu, saya kira banyak orang tidak percaya terhadap apa yang dikatakan oleh Macron bahwa dia sedang membela freedom of expression,” bebernya.
Menurutnya, ada contoh lagi yang sangat menohok pribadi Macron yaitu apa yang dilakukan oleh seorang kartunis di Mauritania. “Dia menggambar wajah Macron dengan ular. Sontak, pemerintah Prancis marah besar dan memanggil Duta Besar Prancis untuk Mauritania karena dianggap bahwa karikatur itu sangat menghina Macron. Lah, kenapa ia tidak membiarkan kartun itu tetap terbit dengan prinsip freedom of expression? Kenapa kemudian jadi marah setelah dirinya digambar begitu rupa. Jadi, jelaslah bahwa ini paradoks yang sangat nyata,” terangnya.
Ismail membantah pernyataan Macron yang menganggap Islam dan simbol radikalisme mengancam nilai-nilai sekularisme Prancis. “Ancaman itu jika apa yang dilakukan Muslimah itu menyentuh pada apa yang mereka tetapkan. Cadar itu kan pakaian yang melekat pada diri seseorang. Dalam hal ini seorang Muslimah. Muka yang ditutup muka dia, iya kan? Kain yang dipakai, kain dia,” ujarnya.
Jika itu dianggap simbol radikalisme, menurutnya, justru di situ inkonsistensinya. Kalau Macron konsisten, mestinya dia juga menggunakan prinsip freedom of expression itu. Tetapi, ini kan tidak. “Jadi, di sana tampak sekali bahwa freedom of expression itu sebenarnya mengandung kebencian yang luar biasa terhadap agama yakni Islam,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it