Mengenang Peristiwa Isrā’ dan Mi’rāj
Pemimpin para makhluk, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama mengemban dakwwah Islam, dan di jalan dakwah ini beliau mendapat penyiksaan yang keras, namun beliau sabar dan teguh dengan dakwahnya. Bahkan demi dakwahnya ini beliau mengambil sikap yang luar biasa tegasnya ketika beliau berkata kepada pamannya Abu Thalib: “Wahai paman, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di sebelah kanan saya, dan bulan di sebelah kiri saya, agar saya meninggalkan urusan (dakwah) ini, nisacaya saya tidak akan pernah meninggalkannya sampai Allah memenangkannya, atau saya binasa di dalamnya.” Artinya bahwa pemimpin kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama telah mengambil dari mengemban dakwan Islam ini sebuah masalah yang menentukan, yaitu (hidup dalam ketaatan kepada Allah, atau mati di jalan Allah). Beliau bersabda: “Mati dalam ketaatan kepada Allah itu lebih baik daripada kehidupan dalam kemaksiatan”.
Sungguh tingkat penyiksaan semakin serius setelah kematian pamannya Abu Thalib, yang mendukungnya dan yang melindunginya dari kaumnya; serta setelah kematian istrinya Khadija Bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha, yang menghiburnya dan meringankan rasa sakitnya, dengan kematian mereka berdua, maka musibah semakin keras menimpanya, kemudian beliau cari perlindungan ke Thaif, dan memperkenalkan dirinya kepada Tsaqif, namun mereka menanggapi dengan respons yang sangat buruk sampai kedua kaki beliau berdarah, dan dalam situasi sulit ini, beliau pergi mengadu kepada Allah subhānahu wa ta’āla dengan berdoa: “… Tetapi asal Kau tidak murka padaku, aku tidak perduli semua itu. Kesehatan dan karunia-Mu lebih luas bagiku, aku berlindung dengan cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, yang karenanya membawa kebahagiaan bagi dunia dan akhirat, daripada murka-Mu yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku sehingga Engkau meridhaiku. Tiada daya dan upaya kecuali dari-Mu.”
Setelah semua itu, datanglah peristiwa Isrā’ dan Mi’rāj sebagai hiburan dan penghormatan kepada pemimpin para makhluk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama di satu sisi, dan di sisi lain untuk menunjukkan posisi dan kedudukannya yang tinggi di sisi Allah subhānahu wa ta’āla. Pada tanggal 27 Rajab adalah perjalanan Isrā’ dan Mi’rāj. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (TQS al-Isrā’ [17] : 1).
Allah subhānahu wa ta’āla telah menghubungkan antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa dengan hubungan secara akidah yang diabadikan dalam Al-Qur’an hingga hari kiamat. Masjidil Aqsa adalah penghubung antara bumi dan langit, sebab dari Masjidil Aqsa pemimpin kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama naik ke langit yang tinggi, sungguh ini tidak lain menunjukkan pada kedudukannya di dalam Islam. Masjidil Aqsa adalah yang pertama dari dua Kiblat, masjid kedua dan masjid ketiga yang paling disucikan, yang menjadi tujuan perjalanan setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Masjidil Aqsa merupakan tanah al-mahsyar (tempat manusia dikumpulkan) dan al-mansyar (tempat manusia dikembalikan ruhnya setelah mati). Dengan demikian, sentuhan Masjidil Aqsa adalah sentuhan akidah Islam, melalaikannya sama dengan melalaikan akidah. Di sana ada banyak keluarga yang mengeluh, mencari perlindungan di pagi dan sore hari, wahai Islam tolong, dan tidak ada yang menjawab, sementara setiap hari dikotori oleh orang-orang Yahudi perampas, semua itu dilihat dan didengar oleh para penguasa idiot dan hina, yang tenggelam dalam pengkhianatan dan kebonekaan, bahkan mereka bersumpah untuk melayani kaum kafir Barat kolonial, lalu dari mana mereka mendapatkan kehormatan dan kemerdekaan. Masjidil Aqsa menyeru dan meminta tolong tentara kaum Muslim, selamatkan aku, bebaskan aku, sucikan aku dari bau amis dan busuk orang-orang Yahudi! Tapi tidak ada jawaban!
Secara keseluruhan, Palestina adalah bumi yang diberkahi dari laut hingga sungainya yang diduduki oleh musuh, Yahudi penjarah dan pendengki, mereka menghancurkan batu-batu dan pohon-pohon, merusak tanaman dan binatang ternakn, menodai kesucian, dan memperkosa kehormatan, apa cara untuk membebaskan mereka? Caranya hanyalah satu dan satu-satunya, yaitu memobilisasi tentara dan mendeklarasikan jihad di jalan Allah untuk membebaskan seluruh Palestina dari penodaan orang-orang Yahudi, kaum perjarah.
Kami berkata kepada tentara kaum Muslim, bahwa Anda adalah keturunan Umar, Khalid, al-Qa’qa’, dan Shalahuddin. Apakah tidak ada seorang pun di antara Anda yang bijak dan cerdas yang mencontoh Shalahuddin al-Ayyubi, yang berjuang untuk pembebasan Masjidil Aqsa yang diberkati, sebagaimana dulu telah dibebaskannya dari tentara Salib, dan begitu juga berjuang untuk membebaskan seluruh Palestina?! Shalahuddin rahimahullah pernah ditanya mengapa Anda tidak pernah tertawa dalam waktu yang lama. Dia berkata: “Bagaimana saya bisa tertawa, sementara tempat Isrā’nya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallama berada di bawah kekuasaan tentara Salib? Dia mempersiapkan perlengkapan dan pasukan sebaik mungkin, serta berjuang untuk membebaskannya, begitulah yang harus dilakukan!
Inilah Sultan Abdul Hamid rahimahullah, beliau menolak memberi orang-orang Yahudi pijakan di bumi Palestina. Bagi beliau, badanya dibelah dengan pisau bedah itu lebih ringan diripada menyerahkan satu inci saja dari tanah Palestina. Khalifah, seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallama: “Imam (Khalifah) adalah perisai, di belakangnya umat berjuang, dan kepadanya mereka berlindung.”
Sehingga ketika umat itu telah kehilangan perisainya, maka mereka tidak ada artinya lagi di hadapan musuh-musuhnya, sehingga terjadilah seperti apa yang telah terjadi. Jadi, Khilafah yang akan mengembalikan umat Islam pada kemuliannya, dan tempat-tempat sucinya pada posisi kesuciannya, terutama Masjidil Aqsa tempat Isrā’nya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallama.
Untuk itu, berjuang dan berjuanglah bersama dengan para pejuang yang mukhlis, bersama dengan Hizbut Tahrir, yang siang malam terus berjuang untuk mengembalikan junnah (perisai) ini, sehingga umat kembali menikmati kemuliaannya, juga yang akan mengembalikan kebesaran dan kewibawaan di antara bangsa-bangsa.
Ya Allah, muliakan kami dengan tegaknya negara Khilafah ‘ala minhājin nubuwah yang akan mengembalikan umat Islam pada kemuliannya, dan tempat-tempat sucinya pada posisi kesuciannya. Sesungguhnya Anda adalah Dzat yang menjaga semua itu, dan yang berkuasa melakukan semuanya. [Al-Ustadz Khalid Abdul Karim Hasan]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 7/4/2019.