Mengenang Pembantaian Sabra dan Shatila 35 Tahun Lalu

PLO mendapat jaminan Amerika bahwa warga sipil yang tinggal akan dilindungi. Namun, janji Amerika ternyata palsu.

Pembantaian Sabra dan Shatila berlangsung 16 September 1982. Ketika itu, tentara Israel yang dipimpin Menteri Pertahanan Israel, Ariel Sharon, mengepung Sabra dan Shatila lalu membiarkan para milisi Kristen Maronit Libanon yang dipimpin kaum Phalangis membantai pengungsi di dalamnya.

Pembantaian tersebut berlangsung selama tiga hari (16-18 September 1982). Sekitar 3.500-8.000 orang, termasuk anak-anak, bayi, wanita, dan orang tua dibantai dan dibunuh secara mengerikan. Tentara Israel yang dipimpin oleh Ariel Sharon dan kepala stafnya, Rafael Etan, memastikan pasukan mereka mengepung kamp pengungsi lalu mengizinkan kaum Phalangis menyerang dan membunuh ribuan pengungsi yang tidak bersalah.

Sabra adalah sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, Libanon, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga biasa disebut “Kamp Sabra-Shatila”.

Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menggunakan Libanon selatan sebagai pangkalan penyerangan mereka atas Israel. Tentara Israel mengklaim bahwa pembantaian itu untuk mencari 1.500 personel PLO yang menurut mereka berada di kamp Sabra-Shatila. Padahal sesungguhnya kelompok PLO sedang berada di tempat lain. Skenario pencarian anggota PLO hanyalah karangan Israel. Kelompok PLO sedang melawan serangan Israel di area lain, sehingga sebagian besar yang berada di kamp pengungsian saat pembantaian terjadi adalah perempuan tua dan anak-anak.

Salah seorang saksi mata Nabil Mohamad menceritakan, peristiwa menyedihkan itu, saat usianya 19 tahun. “Secara kebetulan dan karena keberuntungan, saya berhasil bertahan, tidak demikian dengan ibu saya bersama lima adik perempuan dan saudara laki-laki saya; dan paman saya, istri dan delapan anak-anaknya,” ujarnya.

Invasi Israel itu dimulai pada 6 Juni 1982. Tragedi bermula setelah PLO, yang telah mempertahankan kamp-kamp itu sejak awal, setuju untuk meninggalkan Lebanon pada bulan Agustus. PLO mendapat jaminan Amerika bahwa warga sipil yang tinggal akan dilindungi.

Namun, janji Amerika ternyata palsu. Kondisi Lebanon semakin kacau.  Presiden terpilih Lebanon, dan para pemimpin Phalangis, dibunuh pada 14 September. Tentara Israel terus menyerang dan menduduki Beirut Barat. Pasukan Israel mengepung kamp-kamp  pengungsi untuk  mencegah para pengungsi menyelamatkan diri. Israel membiarkan milisi Kristen Phalangis, yang dikenal menjadi musuh rakyat Palestina, masuk dan membantai.

Nabil Mohamad yang sekarang menjadi Wakil Presiden Komite Anti Diskriminasi Amerika-Arab menambahkan bagaimana Israel menembakkan suar di sepanjang malam menerangi ladang pembunuhan. Hal ini memungkinkan kelompok milisi bisa melihat jalan melewati lorong-lorong sempit di kamp-kamp tersebut. Pembantaian berlangsung selama dua hari. Saat pertumpahan darah berakhir, Israel memasok buldozer untuk menggali kuburan massal. Pada tahun 1983, Komisi Kahan Israel menemukan Ariel Sharon, Menteri Pertahanan Israel, “bertanggung jawab secara pribadi” atas pembantaian tersebut.

Pembantaian di Sabra dan Shatila merupakan konsekuensi langsung dari pelanggaran Israel atas gencatan senjata yang diperantarai oleh Amerika Serikat. Ditambah lagi dengan kekebalan hukum  yang diberikan kepada Israel oleh AS dan masyarakat internasional.  Peringatan tragis ini menjadi peringatan tentang kegagalan masyarakat internasional yang terus gagal menuntut pertanggungjawaban Israel atas  pelanggaran hukum internasional dan perlindungan terhadap hak-hak rakyat rakyat Palestina.

Tiga puluh lima tahun setelah pembantaian tersebut, Israel terus melakukan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat Palestina tanpa menerima konsekuensi apapun karena dilindungi Amerika Serikat. Serangan pemukim Yahudi terhadap properti dan tanah Palestina terus berlangsung. Mereka juga terus  dan meneror ribuan orang dan membunuh hampir seluruh keluarga. Seperti yang terjadi pada sebuah rumah warga Palestina yang dibakar hingga membunuh seorang ibu, ayah, dan bayi mereka yang berusia 18 bulan.

Sampai saat ini, militer Israel sendiri terus melakukan kejahatan perang dengan mendapatkan kekebalan hukum. Sebagaimana dibuktikan oleh serangan berulang-ulang Israel di Jalur Gaza, suatu wilayah kecil, yang dikepung selama satu dekade terakhir. Serangan sistematis dan brutal  yang telah membunuh ribuan rakyat Palestina yang tidak berdosa dengan kekuatan militer yang tidak proporsional dan tidak pandang bulu. Dehumanisasi warga Palestina oleh Israel juga terus berlanjut. Badan-badan internasional seperti Dewan Keamanan PBB telah berulang kali mencatat pelanggaran HAM oleh Israel, namun PBB tidak melakukan apa-apa lagi.

Pembantaian Sabra-Shatila bukanlah yang pertama atau terakhir dilakukan tentara Israel. Pasukan Zionis melakukan banyak pembantaian terhadap rakyat Palestina di tempat-tempat berbeda, di antaranya Jalur Gaza, Deir Yassin, Qibya, Tantour, Jenin, Al-Quds, Hebron, dan lainnya. Hingga kini tidak pernah ada satu pun komandan atau tentara ‘Israel’ yang secara resmi bertanggung jawab atas kejahatan dan pembantaian terhadap rakyat Palestina.

Generasi Keempat

Generasi keempat saat ini tumbuh di kamp-kamp pengungsi yang kumuh di Lebanon. Di Sabra dan Shatila, di mana sebagian besar ruang tamu terdiri dari dua ruangan yang sangat kecil: kamar tidur, tempat bagi seluruh keluarga untuk tidur, dan ruang tamu. Tidak ada ventilasi, dan hampir tidak ada listrik. Kebanyakan keluarga menggunakan lampu bertenaga baterai. Mereka minum dari air keran yang terlarang, karena air ini penuh bakteri dan sangat asin – yang benar-benar membuat pipa karatan. Terdapat kondisi sanitasi yang buruk. Pengobatan untuk semua penyakit tidak banyak tersedia. Gang-gang sempit – di mana sebagian mengalir limbah kotor – dan angin yang melalui kamp-kamp itu. Saat hujan, jalan-jalan kecil ini menjadi berlumpur. Kabel listrik menggantung dari tempat tinggal. Anak-anak muda menghubungkan dan menyambungkan kembali kabel-kabel itu; Seringkali, seseorang tersengat listrik. Bau busuk berasal dari kondisi yang ramai. Penyakit merajalela. Para pengungsi Palestina di Lebanon perlu waktu lama untuk kembali dari pengasingan ke tanah air mereka yang diusir tapi tidak diizinkan melakukan hal itu oleh Israel, hanya karena mereka bukan orang Yahudi. []RZ/AF

Share artikel ini: