Oleh: Dede Wahyudin (Tabayyun Center)
Bagi rakyat, jika ada kebijakan zalim oleh Pemerintah merupakan musibah. Secara bahasa musibah artinya apa saja yang menimpa kita. Secara umum sesuatu yang menimpa itu disebut musibah jika menyebabkan kesusahan. Kebijakan pengesahan UU Omnibuslaw Ciker dianggap musibah yang menyusahkan masyarakat terutama kalangan buruh.
Masalahnya, dikembangkan sebagian pihak anggapan bahwa musibah itu haruslah dihadapi dengan sabar, pasrah dan tidak perlu protes. Anggapan itu kemudian didasarkan pada firman Allah SWT:
]وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ -الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ[
Sesungguhnya Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan serta kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lilLahi wa inna ilayhi raji’un.” (TQS al-Baqarah [2]: 155-156).
Ayat di atas memang memuji sikap sabar dalam menghadapi musibah. Namun, mengeksploitasi sikap sabar untuk membangun kepasifan dan kepasrahan tentu keliru. Ayat ini berbicara mengenai musibah yang lebih merupakan qadha’ dari Allah SWT. Ayat ini juga mendeskripsikan sikap istirja’, mengembalikan sesuatu kepada Allah SWT. Itu merupakan cerminan dari keridhaan terhadap qadha’ itu. Namun, ayat ini bukan berarti mensyariatkan untuk bersikap pasif dan pasrah saja terhadap musibah. Ambil contoh, terhadap musibah berupa sakit, yang merupakan qadha’ dari Allah, syariah tidak mensyariatkan agar kita pasrah saja, tetapi juga mensyariatkan untuk berobat. Sabar itu adalah menerima dan ridha terhadap qadha’ sekaligus diiringi dengan sikap aktif untuk mengubah keadaan dan keluar dari musibah itu. Sikap sabar seperti itulah yang harus dikembangkan dalam menyikapi musibah, termasuk musibah kebijakan neoliberal yang lebih mengutamakan para kapitalis.
Di sisi lain, kebijakan penguasa yang zalim itu lebih merupakan musibah yang menimpa akibat perbuatan manusia sendiri (QS asy-Syura [42]: 30). Hal itu itu lebih merupakan fasad yang digambarkan dalam firman Allah SWT:
]ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ[
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41)
Ayat ini sekaligus menunjukkan sikap yang seharusnya dalam menyikapi semua bentuk fasad, yaitu kembali ke jalan yang benar. Bagi pembuat fasad sikap itu adalah dengan menghentikan perbuatan fasad itu. Itulah sikap yang harus diambil oleh Pemerintah apabila sebagai pembuat fasad itu.
Masyarakat juga mesti berusaha menghilangkan fasad itu. Untuk itu Islam mensyariatkan agar umat melakukan amar makruf nahi mungkar serta menasihati dan mengoreksi penguasa. Tujuannya agar penguasa segera menghentikan fasad itu dan kembali ke jalan yang benar. Hal itu bukan sebagai sikap reaktif melainkan sebagai upaya memenuhi kewajiban syariah. Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa saja yang melakukan kewajiban itu. Bahkan andai orang yang melakukan itu dibunuh oleh penguasa yang dia nasihati maka dia mendapatkan pahala seperti yang diperoleh Hamzah bin Abdul Muthallib sebagai sayidusy-syuhada (pemimpin para syuhada). Demikian sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasul saw. riwayat Imam Ahmad.[]