Mengatakan Kebenaran Dengan Lantang
Soal:
Assalamu ’alaikum wa rahmatullah barakatuhu.
Saya punya pertanyaan:
Surat Yunus ayat 90:
﴿فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ﴾
“Lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya” (TQS Yunus [10]: 90).
Dan surat Thaha ayat 78:
﴿فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُودِهِ﴾
“Maka Fir’aun dengan bala tentaranya mengejar mereka” (TQS Thaha [20} 78).
Apakah ini berarti bahwa perintah penguasa dan perbuatan penguasa itu sama, sehingga kita katakan bahwa berdiri menentang perintah penguasa itu seperti berdiri menentang perbuatannya, yakni bahwa kita katakan bahwa kalimat kebenaran di depan polisinya atau mu’âwin (deputi)nya itu seperti mengatakan kebenaran di depan penguasa itu, yakni sebagai:
«أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Jihad yang paling afdhal adalah (mengatakan) kalimat kebenaran di depan penguasa yang zalim”.
Terima kasih. Dan Anda berhak mengubah redaksi pertanyaan, dan semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.
[Mushthafa Ali Ibrahim]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama, mengenai dua ayat yang dinyatakan di dalam pertanyaan yaitu firman Allah SWT di surat Yunus ayat 90:
﴿وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً﴾
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka)” (TQS Yunus [10]: 90).
Dan firman Allah SWT di surat Thaha ayat 78:
فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُودِهِ فَغَشِيَهُمْ مِنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُمْ﴾
“Maka Fir’aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka” (TQS Thaha [20]: 78).
Seolah Anda mengisyaratkan kepada perbedaan dalam makna yang difahami dari penggunaan huruf al-wâwu dan huruf al-bâ` pada lafal junûduhu -bala tentaranya-, yang mana Allah berfirman di ayat yang pertama “fa atba’ahum fir’awnu wa junûduhu -lalu mereka dikejar oleh Fir’aun dan bala tentaranya-“, sementara Allah SWT berfirman di ayat yang kedua; “fa atba’ahum fir’awnu bijunûdihi -Maka Fir’aun dengan bala tentaranya mengejar mereka-. dan makna atba’ahum yakni mengikuti mereka, menyusul mereka dan mengejar mereka sesuai apa yang disebutkan di kitab-kitab tafsir.
Tetapi ayat pertama mengatakan “fir’awnu wa junûduhu -Fir’aun dan bala tentaranya-“, maka sesuai bahasa darinya difahami bahwa Fir’aun berada pada orang-orang yang mengikuti mereka. Artinya, mengikuti dan mengejar Musa as dan Bani Israel, di dalamnya ada Fir’aun la’natullâh ‘alayh. Jadi dia termasuk orang yang mengikuti dan mengejar mereka. Hal itu karena al-wâwu dalam lafal “wa junûduhu” di sini menunjukkan partisipasi Fir’aun dan bala tentaranya dalam mengejar Bani Israel.
Sedangkan ayat kedua “fir’awnu bi junûdihi”, maka sesuai bahasa darinya mungkin difahami bahwa Fir’aun berpartisipasi dengan bala tentaranya dan menyertai mereka dalam mengikuti/mengejar, tetapi sesuai bahasa darinya juga mungkin difahami bahwa Fir’aun tidak berpartisipasi dengan bala tentaranya dan tidak keluar bersama mereka tetapi meminta pertolongan kepada mereka saja dalam mengikuti/mengejar. Hal itu karena huruf al-bâ`u dalam bahasa memberi faedah makna al-mushâhabah wa al-isti’ânah (menyertai dan meminta tolong). Artinya mungkin saja Fir’aun bersama mereka, tetapi juga mungkin meminta pertolongan bala tentaranya untuk mengikuti/mengejar tanpa dia berpartisipasi. Yakni bahwa yang mengikuti/mengejar mereka adalah bala tentara Fir’aun tanpa Fir’aun sendiri.
Dan penentuan salah satu dari dua makna tersebut (menyertai –al-mushâhabah– atau meminta bantuan –al-isti’ânah-) menjadi jelas dari menghimpun di antara kedua ayat tersebut:
Ayat pertama madlul (makna)nya secara bahasa hanya satu. Yaitu bahwa Fir’aun -semoga Allah melaknatnya- berpartisipasi dengan mereka yakni menyertai mereka dalam mengejar Musa as… Sedangkan ayat kedua, madlul (makna)nya secara bahasa dimungkinkan bermakna al-mushâhabah (menyertai) yakni Fir’aun menyertai mereka dalam mengejar Musa as, dan juga dimungkinkan maknanya al-isti’ânah yakni Fir’aun meminta bantuan bala tentaranya untuk mengejar Musa as tanpa Fir’aun –la’anahullâh– menyertai mereka dalam hal itu … Dan karena madlul kedua ayat tersebut tidak kontradiksi maka makna dengan menghimpun di antara kedua ayat tersebut adalah bahwa Fir’aun bersama bala tentaranya dalam mengejar Musa as. Artinya bahwa huruf al-bâ` dalam bijunûdihi di sini memberi faedah makna al-mushâhabah, yakni bahwa dia menyertai bala tentaranya dalam mengejar Musa as … Ini mengenai makna kedua ayat tersebut.
Kedua: adapun hadis yang mulia yang dinyatakan di pertanyaan, maka imam at-Tirmidzi telah meriwayatkan di Sunannya dari Abu Sa’id al-Khudzri bahwa Nabi saw bersabda:
«إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Sesungguhnya diantara jihad yang paling afdhal adalah mengatakan kalimat yang adil (benar) di depan penguasa yang zalim”.
Abu Isa mengatakan, “dan di bab ini dari Abu Umamah. Dan ini hadis hasan gharib dari aspek ini”. Dan dinyatakan di Mu’jam al-Kabîr karya ath-Thabarani dari Abu Umamah bahwa Rasulullah saw bersabda:
«أَحَبُّ الْجِهَادِ إِلَى اللهِ كَلِمَةُ حَقٍّ تُقَالُ لإِمَامٍ جَائِرٍ»
“Jihad yang paling disukai Allah adalah kalimat kebenaran yang dikatakan kepada pemimpin yang zalim”.
Dan dalam riwayat ath-Thabarani yang lain dari Abu Umamah bahwa seorang laki-laki berkata di al-Jamrah: “ya Rasulullah, jihad manakah yang paling afdhal?” Beliau bersabda:
«أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Jihad yang paling afdhal adalah (mengatakan) kalimat kebenaran di depan penguasa yang zalim”.
Dinyatakan di buku ‘Awn al-Ma’bûd dalam menjelaskan hadis ini sebagai berikut: “ … dari Abu Sa’id al-Khudzri, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda “afdhalu al-jihâdi kalimatu ‘adlin ‘inda sulthânin jâ`irin aw amîrin jâ`irin -jihad yang paling afdhal adalah mengatakan kalimat kebenaran di depan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim-“. Pengarang ‘Awn al-Ma’bûd berkata:
Afdhalu al-jihâdi yakni yang termasuk jihad yang paling afdhal dengan dalil riwayat at-Tirmidzi “inna min a’zhami al-jihâdi -sesungguhnya termasuk jihad yang paling afdhal-“. Kalimatu ‘adlin -kalimat yang adil-, dan dalam riwayat Ibnu Majah “kalimatu haqqin -kalimat kebenaran-, dan yang dimaksudkan dengan al-kalimat adalah apa yang difahami sebagai memerintahkan kemakrufan atau melarang dari kemungkaran, berupa lafal atau yang dalam makna lafal seperti tulisan dan semacamnya.
‘Inda sulthânin jâ`irin yakni zalim. Tidak lain hal itu menjadi jihad yang paling afdhal karena orang yang berjihad memerangi musuh maka dia berada di antara harapan dan kekhawatiran dan dia tidak tahu apakah dia akan menang atau kalah, sementara teman penguasa itu dia ditindas di tangan penguasa, maka dia jika mengatakan kebenaran dan memerintahkan kemakrufan kepada penguasa itu, dia menjadikan dirinya terancam terkena kerusakan dan menempatkan dirinya untuk kebinasaan maka hal itu menjadi jihad yang paling afdhal dikarenakan lebih dominannya kekhawatiran, dikatakan oleh al-Khaththabi dan yang lainnya.
Aw amîrin jâ`irin -atau pemimpin yang zalim-: yang tampak bahwa itu keraguan dari perawi”].
Hadis yang mulia ini, darinya dapat difahami bahwa jihad yang paling afdhal adalah mengatakan kalimat kebenaran di depan penguasa yang zalim bukan di depan para pengikutnya. Dan yang dimaksudkan dengan penguasa yang zalin adalah pemimpin yang zalim baik dia kepala negara, raja, perdana menteri, atau gubernur. Jadi haruslah dia memiliki kekuasaan dan pemilik urusan pemerintahan sehingga ada afdhaliyah dalam mengucapkan kebenaran di depannya …
Tetapi, ini tidak berarti bahwa tidak ada keutamaan untuk mengucapkan kalimat kebenaran di depan para pengikut penguasa yang zalim. Lantang mengatakan kalimat kebenaran, di dalamnya selalu ada kebaikan dan keutamaan. Tetapi keutamaan khusus yang disebutkan oleh Nabi saw di dalam hadis beliau yang kita bahas itu adalah keutamaan yang berkaitan dengan pemilik kekuasaan yakni penguasa itu sendiri, dikarenakan dalam mengatakan kalimat kebenaran di depannya termasuk urgensitas dan karena dalam yang demikian itu ada bahaya, keberanian dan kekuatan. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh sebagian pensyarah hadis tersebut: “[… al-Khaththabi berkata; “tidak lain hal itu menjadi jihad yang paling afdhal, karena orang yang berjihad memerangi musuh maka dia berada di antara harapan dan kekhawatiran, dia tidak tahu akan menang atau kalah, sedangkan teman penguasa itu ditindas di tangan penguasa maka jika dia mengatakan kebenaran dan memerintahkan kemakrufan kepada penguasa itu, dia terancam kerusakan dan menempatkan dirinya untuk kebinasaan, maka hal itu menjadi jenis jihad yang paling afdhal dikarenakan lebih dominannya kekhawatiran. Al-Muzhhir berkata: “tidak lain itu paling afdhal karena kezaliman penguasa menjangkau semua orang yang ada dalam pemeliharaannya dan itu jumlah yang besar, maka jika dia melarang penguasa itu dari kezaliman maka dia telah menyampaikan manfaat kepada banyak makhluk, berbeda dengan memerangi orang kafir …].
Jadi semua ucapan itu adalah tentang penguasa yang zalim itu sendiri bukan tentang para pengikutnya dan bala tentaranya.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
17 Rajab 1445 H
29 Januari 2024 M
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/93582.html
https://www.facebook.com/AtaabuAlrashtah.HT/posts/224577857391387