Oleh Asyari Usman | wartawan senior
Banyak orang yang merasa heran mengapa rakyat tidak ingin lagi dipimpin oleh Jokowi? Mengapa rakyat serentak menolak Jokowi?
Tidak terlalu susah menjawab pertanyaan ini. Tak tega mengatakannya, tetapi terpaksa disebutkan juga. Rakyat menolak karena Jokowi tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas yang diperlukan untuk memimpin sebuah negara. Negara sebesar Indonesia ini.
Jokowi sendiri yang membuktikan ketidakmampuannya. Bukan karena dikarang-karang orang. Selama empat tahun ini, Jokowi menjadi sumber masalah ekonomi-sosial-politik.
Kapabilitas dan kapasitas itu tidak bisa direkayasa. Sekuat apa pun tim yang mendampingi beliau, ‘gap’ (jurang) kemampuan yang lebar itu akan tetap ternganga. Tak bisa ditutupi dengan dekorasi.
Kapabilitas adalah ‘kecakapan’. Kapasitas adalah ‘volume kecakapan’. Dalam hal ini, kecakapan yang tak memenuhi syarat dan jumlahnya pun tidak mencukupi. Ibarat suplai air di PDAM, sudahlah airnya keruh, jumlah air keruh itu pun tidak pula cukup.
Presiden yang tidak punya kemampuan berbeda dengan walikota atau gubernur yang tak memenuhi syarat. Di kursi presiden, semua kelemahan Jokowi langsung kelihatan. Sebab, dia setiap hari disorot oleh seluruh komponen ‘civil society’ termasuk DPR, media massa, LSM, orpol, bahkan juga rakyat. Jokowi diamati pula oleh para wakil negara asing.
Gerak-langkah Jokowi kelihatan jelas. Preferensi politiknya tak bisa disembunyikan. Agenda pribadinya dapat ditebak. Dari semua ini, banyak yang menyimpulkan bahwa kepemimpinan Jokowi membahayakan masa depan Indonesia.
Semasa dia menjadi walikota Solo, daftar masalah di sana tentu ‘sangat sederhana’ dibandingkan dengan isu-isu besar yang harus dihadapinya di tingkat negara. Di Istana, Jokowi harus menyusun kebijakan yang berdampak terhadap seluruh rakyat. Apa saja yang dilakukan Jokowi akan dicerna oleh semua pihak.
Begitu, misalnya, dia kelihatan tidak suka pada Islam dan umat Islam, langsung ketahuan. Dan dia pastilah berhadapan dengan blok kekuatan yang selalu diperhitungkan itu. Diperhitungkan oleh semua presiden sejak awal NKRI berdiri.
Andaikata Jokowi memiliki kapabilitas dan kapasitas nasional, beliau seharusnya tidak berada pada posisi berhadap-hadapan dengan umat Islam seperti sekarang ini. Anda boleh saja mempertanyakan ‘umat Islam yang mana’? Dan saya cukup mengatakan silakan saja dirasakan sendiri. Ada atau tidak, besar atau tidak, resistensi umat Islam terhadap Jokowi?
Lantas, apakah problem yang ada ini semata karena ‘politik Islam’ Jokowi yang tidak akurat? Sebagian memang iya. Tapi, secara semetris, ‘politik Islam’ yang keliru itu berkombinasi dengan blunder-blunder di bidang ekonomi dan pembangnunan fisik. Dampak dari blunder di kedua bidang ini dirasakan langsung oleh umat Islam sebagai komponen terbesar.
Banyak orang yang tahu bahwa Jokowi tidak memiliki kemampuan ‘national leadership’ (kemimpinan nasional) itu. Tak punya kemampuan untuk memimpin negara. Luhut Binsar Pandjaitan tahu. Megawati tahu. Hendropriyono sangat paham. Begitu juga Surya Paloh, Wiranto, dll. Mereka ini adalah para pemain yang berpengalaman.
Bahkan, menurut pengamatan banyak orang, mereka itu bukan sekadar tahu Jokowi tak punya kemampuan. Mereka, kata para pengamat, sengaja mempromosikan Jokowi yang tidak berkompetensi itu. Tujuannya, supaya Jokowi menjadi bergantung kepada mereka. Supaya mereka bisa punya kesempatan untuk ‘membantu’ Jokowi.
Luhut, sebagai contoh, membantu Jokowi dengan menjadikan dirinya sebagai ‘relawan’ semua isu. Semua job. Kata orang, ‘menteri semua urusan’. Apa saja urusan diserahkan kepada Luhut. Pemain-pemain lainnya itu ‘membantu’ Jokowi dengan cara masing-masing.
Mereka yang ‘membantu’ Jokowi itu selalu ‘senyum puas’. Apa maksud ‘senyum puas’? Maksudnya, mereka mendapatkan kepuasan membantu Jokowi.
Seumpama level jalanan, senyum puas itu pertanda baru saja selesai makan lahap di Warteg. Senyum puas karena kenyang. Bisa beli rokok untuk seminggu ke depan. Bisa beli beras 20 kilo. Amanlah untuk tujuh hari ke depan. Bukan tujuh turunan. Karena level jalanan itu maksimum cuma bisa memprediksi ‘life security’ (ketahanan hidup) mereka untuk tujuh hari saja.
Tetapi segelintir pemilik senyum puas, bisa memperkirakan ‘life security’ mereka untuk tujuh turunan. Apalagi mereka yang mengerjakan ‘proyek pengendalian’ boneka. Bisa 14 turunan tak habis-habis ‘life security’-nya.
Kembali ke laptop! Karena Jokowi tak memiliki kapabilitas dan kapasitas, maka bermunculanlah calo-calo kekuasaan tingkat tinggi yang mengendalikan arah pemerintahan Jokowi. Berkumpullah para politisi oportunis yang memerlukan tanda tangan Jokowi. Saking bingungnya Jokowi mengelola pemerintahan negara, sampai-sampai dia harus mengatakan, “Saya tidak membaca apa yang saya tandatangani”.
Kemampuan yang minim membuat Jokowi, maaf, tak bersemangat ikut di berbagai forum internasional. Empat kali sidang Manjelis Umum PBB di New York tak dihadiri oleh Jokowi. Suatu hari, Oktober 2015, Jokowi memenuhi undangan sebagai pembicara di Brookings Institution di Washington DC. Dia kelihatan, maaf sekali lagi, tidak paham sepenuhnya apa yang dikatakan oleh ‘anchor’ (pembawa acara). Kemudian, dua pertanyaan dari hadirin kepadanya dia jawab dengan enteng, “I want to test my minister”.
Kalangan media pro-Jokowi mengatakan insiden “I want to test my minister” ini membuat sausana santai, penuh gelak-tawa. Padahal, kasus ini sangat memalukan.
Itulah hasil dari inkomptensi. Yaitu, Presiden yang tidak memiliki kemampuan untuk memimpin negara. Inilah presiden yang dinaikkan agar dia bergantung kepada para politisi ‘buaya darat’. Buaya-buaya itu tidak memikirkan kemaslahatan bangsa dan negara. Yang mereka utamakan adalah keuntungan pribadi..
Celakanya, ketidakmampuan Jokowi sebagai presiden, tak hanya menjadi peluang bagi para calo kekuasaan. Inkompetensi itu menyebabkan polarisasi di tingkat ‘grass-root’ (akar ruput). Pepecahan itu sangat nyata. Jokowi, karena tak punya kapabilitas, seratus persen menerima masukan dari orang-orang yang hanya mementingkan agenda golongan minoritas, termasuk minoritas bisnis dan minoritas sosial. Ini menyebabkan aspirasi kelompok mayoritas (khususnya umat Islam) harus dinomorduakan. Harus ditindas.
Para politisi minoritas dan politisi sekuler anti-Islam bersatu-suara meyakinkan Jokowi bahwa penindasan terhadap aspirasi mayoritas adalah formula yang terbaik untuk mengelola Indonesia. Tentu ini fatal sekali. Polarisasi semakin mengeras.
Jokowi maju terus dengan formula ini. Dia menggunakan berbagai institusi dan instansi negara untuk menyukseskan misinya. Sekarang, Jokowi berhadapan frontal dengan umat Islam.
Garis yang ditempuh Jokowi ini sangat berbahaya. Dia mengambil risiko besar disebabkan nasihat para politisi busuk. Jokowi percaya kepada mereka. Bergantung sepenuhnya kepada mereka. Padahal, mereka adalah orang-orang yang tidak suka Islam.
Akibatnya, Jokowi hari ini dikejar-kejar oleh bayangan kekalahan. Dia menggandeng Kiyai Ma’ruf Amin sebagai cawapres untuk menepis anggapan bahwa dia tak suka Islam. Tapi, langkah ini tidak berdampak. Too little, too late. Rakyat tetap melihat Jokowi tak memikirkan umat. Rakyat serentak menolak. Dia dilihat sebagai Presiden yang bisa menjemuruskan Indonesia ke lembah kehancuran ekosospol.
Jokowi ditolak. Vonis rakyat: dia tak memiliki kapabilitas dan kapasitas nasional. Dia bukan orang yang bisa memimpin negara. Konon pula negara sebesar Indonesia dengan segala kompleksitasnya.[]