Oleh: Faisal Basri
Presiden Joko Widodo benar bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia sangat terlambat, sehingga tidak bisa ditunda. Bukan hanya infrastruktur, melainkan hampir dalam segala bidang kita tertinggal dibandingkan negara tetangga.
Indeks pembangunan manusia (human development index) Indonesia di urutan ke-113, tertinggal dibandingkan China (90), Thailand (87), dan Malaysia (59). Indonesia sedikit lebih baik ketimbang Vietnam (115) dan Filipina (116).
Kemampuan murid sekolah menengah dalam penguasaan matematika, science, dan membaca (reading) berdasarkan survei PISA oleh OECD sangat mengkhawatirkan, berada di kelompok 10 terbawah dari 72 negara partisipan..
Kesiapan Indonesia memasuki era digital masih jauh dari memadai. Kemacetan di “udara” semakin parah.
Bonus demografi berbalik menjadi beban demografi. Nisbah ketergantungan (berapa banyak penduduk usia kerja menanggung penduduk bukan usia kerja) yang terus menurun merupakan kesempatan emas untuk memacu produktivitas perekonomian dan peningkatan kesejahteraan penduduk, sehingga berpotensi menjadikan Indonesia sebagai negara maju ketika merayakan seabad kemerdekaan pada 2045.
Sayangnya, ketika merayakan seabad kemerdekaan nanti, bangsa ini bakal diwarisi jutaan pendudu usia muda tidak produktif yang sekarang berusia di bawah lima tahun (balita). Kekurangan gizi pada balita sangat serius. Salah satu akibatnya adalah 37,2 persen balita memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya atau pendek atau stunting. Indikasi lain tercermin dari 19,6 persen balita memiliki berat badan yang tidak sesuai dengan usianya. Sebanyak 10,2 persen bayi lahir dengan berat badan rendah, di bawah 2.500 gram.
Kementerian Kesehatan memiliki data lengkap balita, by name by address, yang berpotensi menghambat derap maju Indonesia. Namun boom waktu ini tidak menjadi perhatian utama, kalah “gemerlap” dengan pembangunan infrastruktur. Apa artinya kita memiliki kelengkapan infrastruktur jika kita gagal menyelamatkan nasib jutaan balita dari ancaman kemanusiaan. Bukankah yang kita bangun adalah manusianya. Selamatkan dulu tunas-tunas bangsa, baru kita lengkapi dengan fasilitas penunjangnya.
***
Betul bahwa di era pemerintahan Presiden Joko Widodo belanja pemerintah lebih berkualitas. Presiden Joko Widodo patut mendapat acungan jempol karena berani memangkas subsidi energi, terutama subsidi BBM, secara radikal sebesar 66,2 persen, sehingga rutusan triliun rupiah uang rakyat dialihkan untuk tujuan yang lebih produktif. Pada tahun 2015 mendadak sontak anggaran untuk infrastruktur naik tajam sebesar 123,4 persen. Anggaran untuk menguatan sumber daya manusia juga naik tajam, masing-masing untuk kesehatan naik 83,2 persen dan untuk pendidikan naik 27,4 persen.
Kenaikan tajam alokasi belanja untuk infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan bisa naik tajam karena pemangkasan tajam subsidi energi.
Setelah itu, pembangunan infrastruktur tetap gencar, ditopang oleh kenaikan alokasi anggaran yang tetap tinggi. Sementara itu alokasi dana untuk kesehatan dan pendidikan naik ala kadarnya, bahkan pada tahun 2017 tertahan sebagaimana terlihat dari garis berwarna merah dan hitam yang datar.
Dari mana datangnya dana untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang masif itu? Padahal penerimaan negara dari pajak seret. Pertumbuhan penerimaan pajak yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak justru menunjukkan kecenderungan menurun. Puncaknya adalah pada Januari-September 2017 yang mengalami penurunan atau pertumbuhan negatif dibandingkan dengan kurun waktu yang sama tahun lalu.
Nisbah pajak pun turun dari waktu ke waktu. Padahal nisbah pajak Indonesia masih tergolong rendah, tapi sudah kehabisan tenaga.
Sektor industri yang merupakan penyumbang terbesar dalam penerimaan pajak justru mengalami penurunan pertumbuhan sehingga memperlemah basis pajak.
Hendak mengandalkan pembiayaan dari perbankan dalam negeri? Kemampuan perbankan kita amat terbatas.
Hendak menambah utang pemerintah dengan mengeluarkan obligasi atau Surat Utang Negara (SUN)? Undang-undang Keuangan Negara membatasi defisit maksimum hanya 3 persen.
Jadi, agar tidak merusak stabilitas makroekonomi, satu-satunya jalan adalah dengan diet, yakni memangkas belanja infrastruktur. Jika tidak, ini akibatnya.
Semoga ada di lingkaran dalam Istana yang bisa meyakinkan Presiden agar segera bertindak.[]
Sumber: faisalbasri.com