Mengapa Kita Memberikan Loyalitas kepada Para Penguasa Saat Ini?

Lebih dari setahun berlalu peristiwa 7 Oktober 2023, dan sejak itu dunia menyaksikan dengan tertegun dan diam berbagai pembantaian mengerikan yang dilakukan oleh pendudukan. Baru-baru ini, ketika perjanjian gencatan senjata diumumkan, masyarakat Gaza dan seluruh dunia bersukacita mendengar berita ini. Warga Gaza akhirnya menerima jeda sementara dari kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap mereka, tetapi kesepakatan ini tidak berarti bahwa kekerasan dan kekejaman telah sepenuhnya berhenti. Laporan terus berdatangan tentang kejahatan yang sedang berlangsung di Tepi Barat, mengingat pernyataan Donald Trump, serta tindakan Benjamin Netanyahu dan IDF, yang menegaskan bahwa kekejaman ini tidak akan berhenti.

Sepanjang genosida ini, para penguasa Muslim menunjukkan ketidakpedulian, ketika umat menyerukan kepada mereka untuk mengirim pasukan untuk membebaskan Palestina, tanah dan rakyatnya. Mereka tidak melakukan apa-apa, mereka hanya mengeluarkan pernyataan yang lemah dan samar-samar yang mengecam kejahatan pendudukan, sambil melanjutkan hubungan perdagangan dan diplomatik mereka dengan negaranya. Kemudian mereka menerima ‘solusi hukum’ dengan entitas yang tidak peduli dengan hukum atau norma internasional apa pun.

Kita selalu bertanya-tanya: Bagaimana mungkin para penguasa ini tetap diam mengenai pembantaian ini, sementara hati kami dipenuhi dengan kesedihan atas apa yang dialami rakyat di Palestina? Namun perkembangan politik telah mengungkap kebenaran yang mengejutkan dan mengerikan, yakni para penguasa ini hanya termotivasi oleh kepentingan pribadi, dan mereka semua mendapatkan keuntungan, dengan satu atau lain cara, dari kelanjutan kekejaman ini, baik melalui dukungan langsung mereka terhadap entitas Yahudi maupun aliansi mereka dengan Amerika, alasan lain untuk tidak adanya tindakan ini adalah bahwa para penguasa ini siap melakukan kejahatan seperti itu jika itu menguntungkan kepentingan mereka.

Di Suriah, misalnya, laporan mengungkap kekejaman yang dilakukan oleh rezim kriminal terhadap rakyatnya. Orang-orang di sana berkata: “Tembok-tembok itu punya telinga.” Ini mengacu pada jaringan pengawasan intelijen rezim yang dikenal sebagai Mukhabarat, yang membuat kritik apa pun terhadap rezim berisiko menghilang ke salah satu dari banyak pusat penahanan atau penjara rahasia. Salah satu penjara tersebut adalah Penjara ‘Merah’ Sednaya, yang dijuluki “Rumah Pembantaian Manusia”. Sednaya adalah tempat penyiksaan, kekerasan, dan pembunuhan yang sistemik. Penjara ini digunakan untuk menumpas oposisi politik, terutama setelah pecahnya revolusi di Suriah pada 2011.

“Di antara metode yang digunakan adalah ad-daulāb (roda), di mana tahanan dipaksa masuk ke ban mobil dan dipukuli, dan al-falaqah (cambukan kaki), di mana telapak kaki dipukul dengan kabel. Tahanan juga digantung di pergelangan tangan atau lengan mereka, yang menyebabkan dislokasi sendi dan cedera jangka panjang. Tahanan juga melaporkan bahwa mereka sengaja dibiarkan kelaparan atau menerima makanan yang sangat sedikit, bahkan seringkali tidak dapat dimakan. Banyak yang menderita kekurangan gizi parah, penyakit kulit, dan penyakit lainnya karena kurangnya makanan dan cahaya alami. Perawatan medis hampir seluruhnya dilarang, bahkan untuk cedera yang mengancam jiwa, hingga menyebabkan banyak orang meninggal karena kelalaian. Kekerasan seksual adalah senjata lain yang digunakan untuk merendahkan dan mengendalikan tahanan.” (Al Jazeera).

“Ada pula laporan yang merinci bagaimana Mesir membantu CIA, dengan menjadi tujuan ‘penyiksaan proksi’ AS.” (Time).

Di Yordania, pihak berwenang memberlakukan langkah-langkah baru yang keras setelah 9/11, dengan dalih bahwa langkah-langkah ini diperlukan untuk memerangi terorisme. Mereka memperluas definisi terorisme menurut hukum Yordania, dan menambah jenis pelanggaran yang dapat dihukum mati atau penjara seumur hidup. Baru-baru ini, pemerintah memperkenalkan rancangan undang-undang anti-terorisme yang saat ini sedang dibahas di parlemen, di mana pengesahannya akan memperkuat tindakan rezim yang mengorbankan hak asasi manusia.

Amnesty International telah menerima banyak laporan tentang individu yang ditangkap karena keyakinan Islam mereka, kemudian mereka menjadi sasaran penyiksaan dan penahanan yang berkepanjangan tanpa diadili. Faktanya, penggunaan penyiksaan di Yordania tidak terbatas pada kasus politik saja, tetapi juga mencakup tersangka tindak pidana biasa.

Seorang mantan pejabat senior di CIA telah menyatakan bahwa “Yordania berada di urutan teratas daftar mitra asing kami … mereka bersedia membantu dengan cara apa pun yang mereka bisa.” Mantan pejabat CIA lainnya menyatakan: “Jika Anda mengirim seorang tahanan ke Yordania, Anda akan mendapatkan interogasi yang lebih baik.” (Amnesty International).

Di Turki, Human Rights Watch telah mendokumentasikan pelanggaran dan kejahatan perang termasuk penculikan, penangkapan sewenang-wenang, penahanan tidak sah, kekerasan seksual, dan penyiksaan oleh faksi-faksi yang didukung Turki di Suriah utara dan bahkan oleh personel keamanan Turki sendiri. Organisasi tersebut juga mengungkap keterlibatan angkatan bersenjata dan dinas intelijen Turki dalam melaksanakan dan mengawasi pelanggaran ini. Termasuk dalam pelanggaran ini adalah penyitaan properti, pemerasan, dan pencurian, selain kegagalan untuk mengekang pelanggaran atau memberikan kompensasi apa pun kepada para korban.

Adam Coogle, Wakil Direktur Timur Tengah di Human Rights Watch mengatakan: “Pelanggaran terhadap mereka yang tinggal di bawah kekuasaan Turki di Suriah utara, termasuk penyiksaan dan penghilangan paksa, akan terus berlanjut kecuali Turki mengambil tanggung jawab dan mengambil tindakan untuk menghentikan mereka.” Dia menambahkan: “Pejabat Turki tidak hanya menjadi penonton atas pelanggaran ini, tetapi sebagai kekuatan pendudukan, mereka memikul tanggung jawab dan terlibat langsung dalam apa yang tampaknya merupakan kejahatan perang.” (Human Rights Watch).

Di Palestina, Otoritas Palestina selalu melakukan koordinasi keamanan dengan tentara pendudukan, menggunakan metode represif yang serupa dengan yang dilakukan oleh pendudukan. Hal ini tampak jelas dalam kampanye penindasannya di Jenin, di mana mereka memberlakukan pengepungan yang mencekik, memutus air dan listrik, serta mencegah masuknya bahan-bahan pokok. Pasukan keamanan otoritas juga menempatkan penembak jitu di atap gedung-gedung, mendirikan penghalang untuk membatasi pergerakan pejuang perlawanan, dan melakukan penangkapan serta mendokumentasikan penyiksaan terhadap banyak tahanan.

Di Arab Saudi, seluruh dunia tahu apa yang telah dilakukannya di Yaman, selain kejahatan keji yang menargetkan jurnalis Jamal Khashoggi, yang masih segar dalam ingatan masyarakat.

Di Pakistan, Dr. Aafia Siddiqui menghabiskan lebih dari 20 tahun di penjara atas kejahatan yang tidak dilakukannya, setelah Pakistan meninggalkannya dan bahkan berkolusi untuk menyerahkannya ke Amerika, di mana dia menjadi sasaran penyiksaan dan pemenjaraan yang tidak adil hingga hari ini.

Semua contoh ini hanya sebagian kecil dari kekejaman yang dilakukan oleh para penguasa saat ini. Di sini kita katakan dengan jelas dan terus terang, tidakkah kenyataan ini mendorong kita bertanya mengapa kita menerima kekuasaan para penindas ini? Mengapa kita biarkan mereka memaksakan kekuasaannya terhadap kita, sementara mereka melakukan kekejaman terhadap pria, wanita, dan anak-anak umat kita? Apakah itu sebuah ketakutan?

Jika demikian halnya, kita harus ingat bahwa tidak ada yang dapat terjadi pada kita kecuali Allah menghendakinya – dan itu akan menjadi ujian, dan tidak ada yang dapat kita lakukan untuk menghentikan ujian tersebut. Namun, kita dapat menemukan penghiburan dalam kenyataan bahwa akan ada pahala bagi mereka yang menghadapi ujian dengan sabar, dan memilih untuk mengikuti perintah Allah, pada Hari Pengadilan. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman:

﴿قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ﴾

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.” (TQS. At-Taubah [9] : 51).

Allah subhānahu wa ta’āla juga berfirman:

﴿وَإِن يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ﴾

Jika Allah menimpakan suatu mudarat kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan jika Dia menghendaki kebaikan bagimu, tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya.” (TQS. Yunus [10] : 107).

Kalau begitu, bagaimana kita bisa takut pada mereka? Bukankah kita seharusnya merasa marah dan jijik kepada mereka ketika kita melihat kejahatan ini, sebagaimana kita merasa marah ketika melihat kejahatan pendudukan di Palestina?

Jika kita marah, mengapa hal itu tidak mendorong kita untuk menyingkirkan para penguasa yang menghalangi kita melindungi saudara-saudari Muslim kita? Mengapa kita biarkan mereka menuntut loyalitas kita? Mengapa kita menerima mereka sebagai penguasa kita?

Ini semua adalah pertanyaan yang perlu kita renungkan, dan saat kita merenungkannya, kita perlu bertanya pada diri sendiri: Kapan kesabaran berakhir dan bangkit menumbangkan mereka? [] Fatimah Mus’ab

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 28/1/2025.

Share artikel ini: