Jurnalis veteran Arab Abdel Bari Atwan berpendapat bahwa penurunan dolar AS yang tidak bisa dihindari akan memberikan keringanan kepada banyak negara (termasuk negara-negara Muslim) yang telah menyambut akhir dari tirani dollar.
Runtuhnya mata uang domestik Timur Tengah saat ini seperti pound Suriah dan Lebanon, riyal Iran, dan lira Turki menunjukkan bahwa dolar AS tidak lagi hanya menjadi mata uang saja tetapi juga telah menjadi senjata pemusnah ekonomi secara massal – terutama bila dikaitkan dengan sanksi yang diberikan pemerintah AS secara obsesif terhadap semua musuh-musuhnya, khususnya Arab dan Muslim.
Dolar telah diubah menjadi alat untuk memiskinkan seluruh penduduk, menghancurkan ekonomi, mempermalukan pemerintah, dan membuat mereka bertekuk lutut. Hal ini menyebabkan meningkatnya seruan pergantian sistem keuangan internasional yang didominasi dolar dengan tatanan pluralistik baru yang berdasarkan kombinasi beberapa mata uang termasuk Euro, Sterling, Yen, Yuan dan Rubel.
Dominasi dolar AS berasal dari fakta bahwa dolar AS menyumbang lebih dari 60% cadangan mata uang asing global dan merupakan media utama transaksi pembayaran internasional. Frustrasi dengan keadaan ini tidak hanya terbatas pada apa yang disebut sebagai negara berkembang atau negara Dunia Ketiga tetapi semakin diekspresikan pada negara-negara seperti Jerman, kekuatan ekonomi dan keuangan Eropa.
Tantangan China
Tidaklah mengherankan jika China, penantang utama status AS sebagai hegemon ekonomi dunia, seharusnya menjadi ujung tombak dalam pertarungan untuk mengakhiri dominasi dolar AS dan membebaskan mata uang dunia lainnya dari tirani.
China telah melakukan sejumlah langkah penting ke arah ini sebagai bagian dari strateginya yang terkoordinasi. Tindakan itu termasuk gerakan untuk memperkuat mata uang Yuan China dan mengubahnya menjadi mata uang global; melakukan akumulasi aset emas untuk mendukungnya; pengembangan dan pengenalan mata uang digital baru; menciptakan “petroyuan” sebagai media perdagangan minyak; mendirikan Bank Investasi Infrastruktur Asia, dengan keanggotaan 82 negara dan modal awal yang setara dengan $ 100 miliar dolar sebagai alternatif potensial bagi Bank Dunia dan IMF; dan inisiatif pengembangan infrastruktur global Silk Road yang menghubungkan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Namun China tidak ingin menghancurkan dolar dan pengaruhnya secara total atau melalui pukulan. Bukan karena tidak mampu melakukannya, tetapi karena China memiliki cadangan besar-besaran yang didominasi dolar dan investasinya sendiri, senilai sekitar tiga triliun dolar, sebagian besar dalam bentuk obligasi negara AS.
Strategi China ini ditujukan untuk mengurangi nilai dolar dan melemahkan dominasi dan pengaruhnya terhadap ekonomi dunia. Inilah salah satu sumber utama ketegangan tinggi yang saat ini terjadi antara AS dan China, yang telah membuat banyak pengamat memperkirakan bahwa perang dingin yang sedang berkecamuk di antara kedua belah pihak beresiko berubah menjadi perang yang panas, terutama menjelang perang. Pemilihan presiden AS.
Negara Arab
Nilai dolar AS bisa saja runtuh dalam satu atau dua tahun mendatang karena ketidakseimbangan struktural dalam ekonomi AS yang diperparah oleh pandemi coronavirus, salah urus manajemen yang spektakuler dari krisis ini, dan penurunan kepemimpinan global AS yang lebih luas. Steven Rich, mantan ekonom senior di bank Morgan Stanley, baru-baru ini memprediksi dollar akan turun 35% terhadap mata uang utama lainnya.
Sayangnya, hal ini akan berdampak buruk pada banyak negara Arab, terutama negara-negara penghasil minyak Teluk yang mematok mata uang mereka ke dolar AS dan menginvestasikan sebagian besar cadangan mereka – atau sisa cadangannya – dalam aset yang didominasi dolar. Hal ini berbeda dengan negara-negara Maghribi yang lebih cerdik (Maroko, Aljazair, Tunisia, Mauritania dan Libya) yang mata uangnya dipatok ke beberapa mata uang keras dan yang perdagangan luar negerinya sebagian besar terkait dengan Eropa.
Kami tidak bisa tidak mendukung upaya yang dipimpin oleh China dan Rusia ini untuk menjatuhkan dolar dan mengakhiri penyalahgunaan atas posisi dominan dollar berulang kali oleh pemerintah AS. Dollar telah menjadi senjata untuk membuat penduduk kelaparan, menghancurkan ekonomi dan menundukkan pemerintahan di banyak negara – dari Suriah, Lebanon hingga Iran, Turki dan Venezuela – yang menentang kebijakan AS dan mencoba bertindak independen darinya, terutama yang berkaitan dengan Israel.
Hegemoni global AS – secara ekonomi, politik, dan militer – untungnya sedang berkurang. Keamanan global dan tatanan keuangan baru, tidak terelakkan lagi, sedang meningkat dan miliaran orang di seluruh dunia memiliki alasan yang baik untuk menyambutnya dan berharap bahwa waktu yang lebih baik akan datang.[] Riza
Sumber
—
Kembali Ke Dinar dan Dirham
Dolar Amerika, yang menjadi sarana AS untuk mengeruk kekayaan dari negara-negara lain dalam rangka menyambung nyawa negara adidaya tersebut, telah mengakibatkan kekacauan sistem moneter global. Akibatnya, perekonomian negara-negara lain, termasuk negara-negara muslim, mengalami berbagai persoalan serius. Meskipun dolar Amerika tersebut telah menyebabkan berbagai krisis, terutama sejak dihapuskannya sistem Bretton Woods tahun 1971, namun hingga saat ini mata uang tersebut tetap dominan. Beberapa mata uang yang relatif kuat, seperti euro, pound sterling, yen, dan renminbi hingga saat ini belum bisa mengalahkan pamor mata uang tersebut. Demikian pula, mata uang yang berbasis crypto currency, meskipun mengalami lonjakan permintaan, masih sangat kecil peluangnya untuk menggantikan peran dollar AS.
Kendati demikian, mata uang apapun yang berlaku di dunia ini, selama masih bertumpu pada standar mata uang kertas atau mata uang elektronik yang tidak memiliki sandaran komoditas yang memiliki nilai intrinsik (fiat money), maka kekacauan moneter global akan terus terjadi meskipun jika dollar AS mendapatkan persaingan dengan mata uang kuat lainnya. Pasalnya, standar mata tersebut memiliki celah untuk dicetak sesuai dengan kepentingan politik dan ekonomi negara yang menerbitkannya. Contohnya adalah kebijakan bank-bank sentral yang mencetak mata uang secara besar-besaran, melalui kebijakan quantitative easing, untuk membantu pemerintah membiayai Pandemi Covid-19. Akibatnya, nilai mata uang terus mengalami penurunan nilai secara persisten. Perannya sebagai alat penyimpan nilai (store of value) yang stabil dalam jangka panjang tidak lagi efektif. Sebab itu, ketika nilai dolar Amerika semakin merosot, terutama ketika the Fed terus membanjiri pasar global dengan pelonggaran moneter (easy money policy), sementara aset-aset finansial juga dianggap berisiko, maka para investor memburu emas sebagai sarana untuk menyimpan kekayaan mereka. Harga emas terus mengalami tren peningkatan, berbanding terbalik dengan dollar AS yang nilainya terus merosot. Fakta ini menjelaskan bahwa emas menjadi alat penyimpan kekayaan yang lebih hakiki dibandingkan dengan mata uang kertas, termasuk dolar.
Oleh karena itu, sejak awal Islam telah menetapkan bahwa standar emas dan perak atau dinar dan dirham harus menjadi standar moneter suatu negara. Hal ini karena secara hukum, uang tersebut telah diadopsi sebagai standar moneter oleh Nabi Muhammad SAW dan kemudian diteruskan para Khulafaur Rasyidin dan kekhilafahan setelahnya. Selain itu, sejumlah hukum-hukum Islam dikaitkan dengan emas dan perak, seperti pada zakat, hudud, perkawinan, dan hukum pertukaran mata uang (sharf). Dengan demikian, uang yang dikeluarkan oleh negara adalah emas dan perak ataupun mata uang substitusi, seperti tembaga, perunggu, atau kertas yang ditopang oleh emas dan perak.
Dengan demikian, nilai nominal uang ditentukan oleh harga riil komoditas itu sendiri (intrinsic value), tidak seperti mata uang kertas saat ini, yang nilainya ditopang oleh kepercayaan terhadap pemerintah, yang sifatnya pasang surut. Standar moneter tersebut juga membatasi pemerintah untuk mencetak uang melebihi cadangan emas dan perak yang dimilikinya. Dengan demikian, mata uang yang beredar akan terhindar dari inflasi yang diakibatkan penambahan jumlah uang melebihi jumlah barang dan jasa yang tersedia. Jumlah uang beredar hanya akan bertambah sejalan dengan peningkatan cadangan emas dan perak negara tersebut. Karena itu, tidak mengherankan, ketika standar emas ini digunakan, seperti pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, tingkat inflasi di berbagai negara sangat rendah. Daya beli emas sepanjang sejarahnya sangat stabil, jauh dibandingkan dengan daya beli mata uang kertas yang terus merosot. Di samping itu, fluktuasi kurs pertukaran antara mata uang relatif stabil dalam jangka panjang, mengikuti harga emas dan perak yang menjadi sandarannya. Dengan begitu, kekhawatiran yang tinggi mengenai risiko selisih kurs tidak terjadi, seperti yang terjadi pada standar mata uang kertas saat ini. Kestabilan tersebut membuat kegiatan perdagangan dan investasi menjadi lebih efisien sehingga kegiatan ekonomi dapat tumbuh lebih tinggi secara berkelanjutan.
Peningkatan cadangan emas dan perak yang secara historis meningkat relatif stabil sejalan dengan peningkatan kebutuhan uang juga akan membuat nilai emas dan perak tetap terjaga.
Meskipun jika jumlah barang dan jasa meningkat lebih tinggi, maka jumlah emas dan perak yang tersedia akan mampu menjalankan fungsinya sebagai uang. Adapun kekhawatiran para penentang standar emas bahwa standar tersebut menyebabkan penurunan harga barang dan jasa atau deflasi sehingga dapat mendorong resesi dapat dihindari. Ada banyak argumen yang menyanggah hal tersebut. Sebagai contoh, penurunan harga barang dan jasa akibat meningkatnya produktivitas dan kreativitas, sebagaimana saat ini, pada kenyataannya tetap mendorong kegiatan produksi barang dan jasa. Apalagi, sebagaimana yang telah diatur di dalam Islam, biaya produksi, seperti biaya gaji, sewa, dan sebagainya telah ditetapkan dalam bentuk kontrak yang dapat direvisi sesuai kesepakatan. Meskipun jika nominal upah dapat direvisi ke bawah ketika nilai uang menguat, namun para pekerja tidak perlu merasa rugi sebab secara riil pendapatan mereka tetap.
Dengan demikian, tidak akan dijumpai kekakuan upah atau sewa yang membebani dunia usaha yang akan menggiring pada resesi. Fakta sejarah yang menunjukkan harga relatif stabil pada masa standar emas sudah cukup untuk membantah hipotesis tersebut.
Namun, untuk mengakhiri dominasi dolar Amerika saat ini, perlu ada upaya untuk mewujudkan suatu negara yang bersedia mengadopsi standar emas dan perak dan sekaligus mendorong negara-negara lain untuk meninggalkan mata uang kertas termasuk dolar Amerika dan mengadopsi standard emas dan perak. Kondisi tersebut dapat diwujudkan jika umat Islam di negeri-negeri Islam bersatu untuk mewujudkan pemerintahan yang menerapkan Islam secara menyeluruh dalam naungan Khilafah Islam. Institusi tersebut tidak hanya mampu menerapkan standar emas dan perak, namun juga berpotensi besar menggusur dominasi dollar Amerika sekaligus dominasi politik negara tersebut di muka bumi ini. Wallahu a’lam bisshawab.[]Ishaq