Mengaitkan Khilafah dengan Terorisme adalah Framing dan Usaha Jahat

Mediaumat.news – Mengaitkan perjuangan menegakkan khilafah tanpa kekerasan (la unfiyah) seperti yang dilakukan Hizbut Tahrir dengan tindakan terorisme oleh pemerintah dinilai sebagai  framing dan usaha yang jahat.

“Jadi ini menurut saya adalah framing jahat, usaha yang jahat sebagaimana jahatnya Zaino Baran yang menyebutkan Hizbut Tahrir sebagai penghantar (belt conveyor) terorisme,” ujar Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto kepada mediaumat.news, Senin (26/3/2018) di Jakarta.

Framing tersebut dilakukan pemerintah dengan mengaitkan dua orang yang dituding pemerintah sebagai teroris yakni Bahrun Naim dan Fahri (Febriansyah).

Ismail mengakui, Bahrun Naim dan Febriansyah pernah mengikuti kajian Hizbut Tahrir tapi itu sudah sangat lama. Febriansyah sejak 1998/1999 sudah tidak ikut Hizbut Tahrir lagi. Sedangkan Bahrun Naim hanya dua tahun mengaji di Hizbut Tahrir sekitar tahun 2009-2011.

“Maka seluruh kegiatan Febriansyah dan Bahrun Naim itu adalah tanggung jawab pribadi, tidak ada kaitannya dengan Hizbut Tahrir, siapapun tidak boleh lagi mengait-ngaitkan Febriansyah dan Bahrun Naim ini dengan Hizbut Tahrir,” ungkapnya.

Namun ahli terorisme dari pihak pemerintah Ansyaad Mbai di sidang PTUN mengaitkannya dengan alasan sama-sama menginginkan tegaknya khilafah.

“Mungkin betul bahwa Febriansyah dan Bahrun Naim itu memiliki pandangan bahkan cita-cita yang sama dengan Hizbut Tahrir tetapi kita tahu bahwa yang memiliki pandangan atau cita-cita yang sama dengan Hizbut Tahrir itu kan tidak berarti identik dengan Hizbut Tahrir karena cita-cita Hizbut Tahrir itu sesungguhnya cita-cita umat Islam. Dan umat Islam itu sangat banyak, tergabung dalam berbagai kelompok. Itu, tidak berarti mereka yang mempunyai cita-cita menginginkan khilafah tegak itu otomatis bisa dianggap bagian dari Hizbut Tahrir,” ungkap Ismail.

Di kesempatan yang sama dalam sidang, Ismail bertanya pada Mbai secara langsung, “Kalau mereka yang terlibat terorisme tersebut menginginkan khilafah, apakah semua orang yang menginginkan khilafah itu lantas bisa diartikan sebagai terorisme?”

“Mbai tidak mau menjawab. Semestinya dia menjawab: ‘Tidak!” Itu artinya, dia secara sengaja telah melakukan framing!” tegas Ismail.

Karena yang memiliki pemahaman tentang khilafah itu bukan hanya Hizbut Tahrir tetapi banyak kelompok dan kelompok-kelompok tersebut juga tidak semuanya terlibat tindak terorisme. Jadi, ini ada ketidakjujuran. Ketidakjujuran itu pasti karena adanya motivasi. Apa motivasinya? Motivasinya itu melakukan generalisasi atau pengaitan antara Hizbut Tahrir dengan terorisme.

“Kita sudah bantah pada kesempatan itu juga oleh saksi dan ahli kita bahwa Hizbut Tahrir itu non kekerasan, tidak pernah terlibat dengan kekerasan dan tidak pernah menganjurkan kekerasan,” beber Ismail.

Dalam faktanya juga, setiap kali ada pemboman, misal Bom Bali I, Bom Bali II, Kedubes Australia dan lainnya Hizbut Tahrir selalu mengeluarkan pers rilis pernyataan resmi yang isinya mengutuk. Itu fakta, fakta yang terjadi jauh sebelum persidangan PTUN, jauh sebelum heboh Fahri ataupun Bahrun Naim.

“Jadi fakta itu menunjukkan bahwa posisi kita itu sangat jelas berkenaan dengan terorisme, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di dunia,” bebernya.

Katakanlah sekarang ini banyak tertangkap koruptor yang sebagiannya alumni UI, UGM dan ITB.  “Nah, kalau pakai logika tersebut berarti kampus-kampus negeri tersebut sebagai belt conveyor lahirnya koruptor. Coba, jadi kacau kan?” ujar Ismail.

Contoh lain, ada polisi yang desersi kemudian menembak orang, membunuh, merampok. Oh berarti kepolisian ini telah menjadi  belt conveyor lahirnya perampok? Jadi rusak semuanya. Jelas ini cara berpikir yang keliru. “Menurut saya majelis hakim dan publik itu tidak mudah dikelabui begitu saja,” ungkapnya.

Menyerang Islam

Ismail menyimpulkan jadi pemerintah itu ingin mengaitkan antara khilafah dengan terorisme. Dengan kata lain pemerintah ingin mengatakan bahwa khilafah itu bahaya sekali. Jadi orang yang menginginkan khilafah itu one step (satu langkah) menuju terorisme. Maka usaha membendung kesadaran akan kewajiban menegakkan khilafah, membubarkan organisasi yang mendakwahkannya itu sangat tepat. Kira-kira begitu tujuannya.

“Ini kan suatu generalisasi yang dilakukan oleh Ansyaad Mbai, yang dulu sebenarnya dia telah menolak melakukan generalisasi tetapi kini malah melakukan,” keluhnya.

Kalau begitu caranya, lanjut Ismail, berarti khilafah itu dianggap sebagai ajaran yang buruk karena dianggap mendorong tindakan terorisme. Nah, kalau terorisme mereka artikan sebagai jihad, maka jihad juga dianggap sebagai pemicu terorisme. Berarti khilafah dan jihad itu sebagai pangkal terorisme. Kan begitu kesimpulan ngawurnya.

“Jadi sebenarnya ini bukan hanya serangan terhadap Hizbut Tahrir tetapi juga serangan terhadap Islam,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

Share artikel ini: