Menerima Solusi Dua Negara untuk Masalah Palestina Adalah Pengkhianatan Besar Terhadap Islam dan Kaum Muslim

 Menerima Solusi Dua Negara untuk Masalah Palestina Adalah Pengkhianatan Besar Terhadap Islam dan Kaum Muslim

Masalah Palestina telah menghabiskan tenaga Barat dalam upayanya untuk memaksakan “solusi”, sejak pembentukan entitas Zionis di tanah yang diberkati, Palestina. Barat tidak dapat menanamkan entitas ini secara alami dalam tubuh umat Islam yang suci, tanpa penolakan. Meski Barat begitu mudah membuat entitas Yahudi, menjaganya, menormalisasi dengannya, melalui pengkhianatan para penguasa yang dikalungkan di leher kaum Muslim oleh kaum kafir penjajah, semisal kasus penguasa rendahan Uni Emirat Arab dan Bahrain, atau lainnya yang sedang menunggu antrean setelah “Abraham Accords” tanggal 15 September 2020. Namun Barat dan para anteknya, para penguasa pengkhianat, belum dan tidak akan pernah mampu—dengan izin Allah—untuk menormalisasi rakyat di negeri-negeri Muslim dengan entitas Yahudi.

Selain itu, ketidakmampuan Barat untuk menanamkan kanker entitas Yahudi di dalam tubuh umat, menegaskan kebuntuan yang tidak dapat diatasi. Kebuntuan terlihat jelas bagi siapa pun yang mengamati pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan panggung politik di arena internasional dan regional, terkait masalah Palestina. Ada kebingungan yang jelas hingga mencapai tingkat menggelepar. Hal ini mengungkapkan kekosongan atau ketidakmampuan untuk maju melangkah di sepanjang jalur proposal yang diusulkan dan direncanakan untuk penyelesaian masalah.

Kekacauan yang membingungkan ini terlihat bahkan selama tahun-tahun awal pemerintahan Trump saat ini. Sejak awal, pemerintahan Trump telah menyatakan tekad yang kuat untuk merumuskan solusi kreatif, menggambarkannya sebagai pemikiran out of the box untuk menyelesaikan konflik Palestina, yang dikenal dengan “Kesepakatan Abad Ini”. Selama ini, tujuan dari kesepakatan tersebut, dinanti oleh semua pihak yang terlibat dan yang ada hubungannya, apalagi implementasi praktis kesepakatan itu di lapangan, masih belum terlihat. Masalah tetap terhenti karena terhenti di bawah pemerintahan Obama sebelumnya. Memang, kebuntuan itu juga sebagian karena faktor pendukung, seperti kurangnya prioritas pemerintah AS dan kerasnya Netanyahu.

Namun, di panggung yang baru, di bawah pemerintahan Trump, adalah kurangnya koherensi dan kejelasan, karena perpecahan yang mencolok dalam pusat politik di Amerika terkait detail solusi, kapan dan bagaimananya. Pemerintahan Trump baru saja mengumumkan untuk melanjutkan penerapan solusi dua negara, kemudian ada pengakuan yang terus terang tentang keraguan yang memaksakannya, yang timbul dari hasil pemikiran out of the box yang telah lama dijanjikan.

Kegagalan akhir-akhir ini serupa dengan saat pengumuman pendirian entitas Yahudi pada tahun 1948. Pemikiran solusi di zaman modern sangat berbeda dari sikap politik yang diadopsi oleh pemerintah AS pada tahun 1950-an, seperti mengembalikan gagasan solusi satu negara, menggantikan solusi solusi dua negara. Richard Falk, Profesor Emeritus Hukum Internasional Amerika-Yahudi di Universitas Princeton dan mantan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia Palestina, menyatakan bahwa skenario Afrika Selatan adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri konflik “Israel”-Palestina. Profesor Falk lebih lanjut mengklarifikasi bahwa maksud kata-katanya terkait model Afrika Selatan adalah untuk meluncurkan perjuangan yang bertujuan mendapatkan hak-hak Palestina, baik di tanah mereka atau di “Israel”, seiring dengan kehadiran organisasi-organisasi penekan dunia melawan Tel Aviv. Sikap Falk ini mirip dengan Saeb Erekat, mantan Sekretaris Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang mengatakan pada pertengahan Februari bahwa “alternatif dari solusi dua negara adalah satu negara demokratis dengan hak yang sama untuk semua warga Kristen, Muslim dan Yahudi”. Erekat menambahkan bahwa “tidak mungkin menerima realita satu negara dengan dua sistem (negara apartheid) yang diperkuat entitas Yahudi”. Begitulah munculnya skenario politik atas masalah Palestina di mana kebuntuan dan keraguan terjadi di antara para aktor dan pengambil keputusan, serta hilangnya pandangan terhadap kompas atau identitas apa pun, baik pihak-pihak yang terlibat maupun para pelaksananya.

Sebaliknya, umat Islam dengan tegas menganggap Palestina tanah yang diberkati adalah miliknya secara eksklusif. Tidak diragukan, bahkan bagi mereka yang naif secara politik, bahwa solusi damai yang didasarkan pada perbatasan negara Palestina tahun 1967 tidak dapat dicapai. Kekuatan internasional tidak dapat mensponsori solusi kecuali dengan pengakuan atas entitas Yahudi di Palestina. Kemudian memasuki normalisasi hubungan politik dengan entitas ini, diatur oleh perjanjian internasional yang mengikat entitas Palestina yang dijanjikan, dan negara-negara saat ini di dunia Islam. Namun, ini semua ditolak mentah-mentah oleh umat. Sehingga pembenaran politik dan media tentang penerimaan dan legitimasi proposal kolonialis Barat tidak ada gunanya. Kebodohan politik juga tidak akan berhasil, apakah itu seruan untuk “menolak pengakuan tapi menerima negara” atau seruan untuk “perlunya menerima Yahudi sejalan dengan Prakarsa Perdamaian Arab 2007”. Semua pembenaran yang muncul dari keterampilan para penulis dan politisi untuk memuluskan penerimaan negara kecil dan lemah di perbatasan 1967, sama dengan khayalan politik yang mustahil dicapai. Pernyataan tentang penerimaan solusi dua negara berada di luar bahasan diskusi serius. Solusi ini sangat bertentangan dengan semua fondasi yang di atasnya dimulai perlawanan Palestina, baik sayap Islam maupun sekulernya. Solusi ini juga bertentangan dengan piagam yang mereka umumkan, di samping kuatnya ikatan aqidah umat Islam dengan tanah yang diberkati, Palestina, serta kebenciannya yang mendalam terhadap bangsa Yahudi, pembunuh para Nabi.

Upaya untuk menerima solusi dua negara adalah upaya yang tidak berhasil untuk meringankah dua periode agar melangkah dengan cepat menuju “masyarakat internasional” dan normalisasi dengan entitas Yahudi. Meski demikian, upaya-upaya tersebut wajib dilakukan di hadapan masyarakat, sebagai pertunjukan teatrikal untuk memasarkan pendekatan politik baru, di dalam negeri. Sebab para politisi Barat sangat menyadari pentingnya pernyataan domestik ini. Misalnya, setelah pertemuan dengan tokoh-tokoh Hamas di Tepi Barat, Kairo dan Damaskus, mantan presiden AS Jimmy Carter dengan percaya diri menegaskan pada 21 April 2008 bahwa “semua pemimpin Hamas akan menerima perbatasan tahun 1967”. Dengan demikian, para pemimpin ini tidak secara tegas menolak pendekatan semacam itu, dengan tindakan yang mendahului kata-kata. Sebaliknya, mereka tidak pernah berhenti membuat pernyataan tentang penerimaan negara Palestina di setiap kesempatan yang diberikan.

Tidak diragukan lagi, bahwa solusi dua negara dan pengakuan negara Yahudi, bahkan jika hanya terbatas pada desa kecil di pinggiran kota Akko, apalagi sebagian besar tanah Palestina, adalah batil baik secara politik maupun secara hukum Islam bagi umat, sekalipun solusi itu bersifat transisi atau sementara, seperti yang diklaim oleh beberapa pemimpin yang mengusung slogan-slogan Islam saat ini, seperti yang diklaim PLO pada awal tenggelamnya ke dalam rawa “pengakuan”, sambil mengumumkan prinsip “ambil dan kemudian menuntut”. Hukum Islam memberikan kepemilikan tanah yang diberkati kepada umat Islam, sehingga ini mengamanatkan pada umat untuk segera bergerak membebaskan tanah yang diberkati dan mencabut entitas Yahudi. Kepemilikan umat Islam atas tanah yang diberkati berdasarkan hukum Islam, yang menjadikan tanah Palestina sebagai tanah kharaj, sehingga jihad dan memobilisasi tentara kaum Muslim sebagai satu-satunya cara untuk membebaskan dan menyelamatkannya dari pendudukan. Ini adalah hak dari Allah subhānahu wa ta’āla, maka tanah yang diberkati yang menjadi milik umat Islam, tidak dapat dipulihkan kecuali melalui aturan hukum Islam. Palestina hanya bisa dibebaskan dengan memobilisasi tentara umat Islam sebagai pemilik hak itu dengan melaksanakan kewajiban syariah yang ada di pundaknya. Sementara metode dan mekanisme yang dibuat Barat untuk menuntut hak tidak lebih dari sebuah pintu untuk mendirikan entitas Yahudi, dan mengkonsolidasikan fondasinya melalui kesepakatan internasional.

Pendudukan Yahudi mengambil legitimasinya dari resolusi dan hukum internasional, yang menciptakan “hak” palsu untuk pendudukan di tanah yang diberkati. Legitimasi melalui pengakuan, normalisasi, pemberian “hak” untuk pendudukan berada di tanah yang diberkati, serta berhukum dengan resolusi internasional atas masalah Palestina, dan menyerukan perlindungan dari masyarakat internasional, adalah legitimasi yang dibuat berdasarkan hukum selain hukum Allah subhānahu wa ta’āla, karenanya harus ditolak mentah-mentah. Selain itu, ini adalah hukum dari mereka yang sebenarnya memberikan “hak” kepada entitas Yahudi atas tanah kami. Hukum semacam ini hanya akan mengundang murka Allah subhānahu wa ta’āla, pemborosan, pengkhianatan dan penyerahan tanah yang diberkati kepada entitas penjarah Yahudi. Apakah mungkin memperoleh hak atas tanah dari seseorang yang tidak memiliki tanah, bahkan memberikan tanah yang tidak mereka miliki kepada orang asing Yahudi yang tidak memiliki kewarganegaraan?! Mungkinkah rencana yang dibuat untuk konsolidasi entitas Yahudi, menjadi metode untuk membebaskan tanah?! Akankah orang waras berusaha mengetuk pintu Barat kolonialis, atau alat internasionalnya yang jahat, seperti Dewan Keamanan, untuk mendapatkan hak yang dirampas?! Bisakah jalan-jalan setan memberikan cara untuk mengembalikan hak dari Allah subhānahu wa ta’āla?!

Masalahnya akan lebih berbahaya daripada para pemimpin, ulama dan semua faksi Palestina. Tanpa diragukan lagi, ini lebih penting daripada kemarahan masyarakat internasional atau penerimaannya. Pawai rezim-rezim rendahan, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Otoritas Palestina, dan faksi-faksi nasionalis telah berkumpul di atas solusi dua negara, sebagai awal dari upaya politik apa pun. Seperti yang terjadi dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain yang telah melakukan normalisasi dengan entitas Yahudi melalui “Abraham Accords”. Bergegas menuju normalisasi dengan entitas Yahudi menggiring warga Palestina dan umat Islam ke jalan yang sia-sia, yang memberikan legitimasi kepada entitas Yahudi dan menjadikannya mitra yang tidak layak di tanah yang diberkati, hanya mengingkari permukiman di Tepi Barat saja, maka ini sama saja dengan menyerahkan sebagian besar tanah yang diberkati yang dirampas pada tahun 1948. Tuntutan untuk mendirikan negara pada perbatasan 1967 akan mengakui hak entitas perampas untuk tetap ada atas apa yang telah dirampasnya, dari tanah sebelum dan sesudah tahun 1967, termasuk penyerahan al-Quds dan Masjid al-Aqsa al-Syarif, mendorong orang-orang melakukan protes damai, menyerukan Palestina sebagai masalah Palestina saja, dan bukan masalah umat Islam, semua ini adalah sarana untuk mengembalikan hak-hak menurut resolusi internasional. Hal ini sama saja dengan mengabaikan hak umat untuk memobilisasi tentara guna membebaskan Palestina sepenuhnya, dan mengembalikannya ke pelukan umat. Menafikan opsi solusi militer, dan meminta nushrah dari tentara umat untuk segera memobilisasi pembebasan, adalah sikap menelantarkan masalah tanah yang diberkati, dan meninggalkannya di jalan yang hanya melegitimasi dan mengokohkan keberadaan entitas Yahudi.

Jadi, inilah saatnya bagi mereka yang tulus untuk memecah kebisuan mereka dan mendefinisikan kembali, lebih tepatnya mengkonfirmasi, dasar sebenarnya dari hubungan dengan pendudukan, yang merupakan keadaan perang permanen hingga pembebasan total. Apakah para ulama, pimpinan, dan partai tidak akan membatalkan proses normalisasi ini sebelum tidak ada waktu untuk melarikan diri?! Apakah akan terus mengubur akal di pasir tipu daya Barat di bawah slogan “menjaga prasangka baik pada pemimpin” dan “menghormati daging ulama”, yang memberikan pernyataan dan fatwa untuk mereka yang melakukan normalisasi dengan entitas Yahudi, yaitu bangsa yang melanggar perjanjian dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membunuh para Nabi?!

Menurut Islam, bahwa satu-satunya solusi yang dapat diterima untuk masalah Palestina adalah pembebasan sepenuhnya dari pendudukan, yang hanya akan terjadi dengan mobilisasi tentara Islam, termasuk tentara Pakistan untuk menolong Palestina dan rakyatnya. Tidak ada ruang untuk membicarakan skenario lain, seperti solusi satu negara atau dua negara, sebagaimana yang didiskusikan oleh musuh umat, atau mereka yang tidak memiliki identitas dan kompas, seperti para penguasa Arab dan kaum Muslim sekuler, yang telah sepenuhnya melepaskan diri dari umat Islam, dan mereka sekarang berperilaku seperti tentara bayaran yang tidak bermoral yang menjual diri mereka sendiri dengan harga berapa pun, juga menerima solusi apa pun sebagai imbalan atas perlindungan takhta dan kekayaan mereka.

Islam telah menetapkan bahwa masalah Palestina adalah masalah Islam, bukan masalah yang hanya terbatas pada Palestina atau konsensus bangsa Arab. Tanahnya adalah milik umat Islam sampai hari kiamat. Sehingga membebaskan semua tanah yang diberkati adalah wajib bagi putra-putra Islam yang mampu. Haram membiarkan satu inci tanah di bawah pendudukan, apapun keadaan atau alasannya. Umat ​​bahkan tidak perlu mempertimbangkan usulan para penjahat kafir untuk tanah yang diberkati Palestina. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman:

Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (TQS Al-Mulk [67] : 22).

Sungguh, janji pembebasan dan kemenangan akan segera turun ke Palestina, dengan izin Allah, melalui tangan tentara umat, yaitu tangan tentara Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah, yang segera tegak kembali, dengan izin Allah subhānahu wa ta’āla.

Dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (TQS Al-Isra’ [17] : 7). [Bilal Al-Muhajir]

sumber: hizb-ut-tahrir.info, 19/09/2020.

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *