Meneriakkan Khilafah, Salahkah? (Tanggapan atas Polemik Tentang Ide Khilafah)

Oleh : Achmad Fathoni | Direktur el-Harokah Research Center

Pengasuh Pondok Pesanten Tebuireng, Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) mengajak kepada ulama’ pesantren untuk merangkul mantan kader-kader Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kader-kader HTI tidak punya tempat lagi untuk berekspresi dan menuangkan gagasan, pasca organisasi tersebut dibubarkan oleh pemerintah. Gus Sholah juga mengatakan, mantan kader-kader HTI sudah tidak perlu lagi berteriak-teriak mendirikan negara khilafah. Karena menurutnya, HTI tidak akan bisa mendirikan khilafah di Indonesia. “Jadi tidak perlu teriak-teriak, sudahlah. Pemerintah sudah membubarkannya, kita anggap baik, tapi kan tidak selesai,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam Halaqah Nasional Ulama’ Pesantren dan Cendekiawan, Gerakan Dakwah Aswaja Bela di Pondok Pesantren Al-Hikam, Beji, Depok, Kamis (26/10). Menurut Gus Sholah, kader-kader HTI harus mendapat pembinaan dari semua pihak, bukan justru disudutkan. Karena, sejatinya kader-kader HTI itu juga merupakan rakyat Indonesia, sehingga ke depannya mereka sadar bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman suku maupun agama. “Bagaimana kita membina orang-orang HTI yang banyak jumlahnya dan kebanyakan itu dari perguruan tinggi non-agama. Ini harus kita rangkul, jangan kita sudutkan, ayo kita rangkul harus kita sadarkan mereka,” ucap tokoh NU yang telah lama dikenal sebagai sosok yang idealis ini.  Sebelumnya juga diberitakan bahwa Gus Sholah tidak yakin HTI bisa membangun negara khilafah di Indonesia. Karena, menurut dia, untuk mendirikan khilafah di Indonesia membutuhkan kekuatan yang sangat besar. “Saya tidak yakin HTI itu bisa bikin negara Khilafah Islamiyyah, apa yang dia punya? Dia gak punya apa-apa kok. Sama Banser aja kalah HTI. Bagaimana bisa mendirikan negara,” katanya di Halaqah Nasional Ulama’ Pesantren tersebut (http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/10/27/oygmxu354-gus-sholah-ajak-tokoh-nu-rangkul-kader-hti).

Menyikapi pemberitaan tersebut, sebenarnya bisa dibuat simpel saja yaitu pakai teori makna kebalikan, artinya jika ada seseorang memberikan larangan “Jangan teriak khilafah”, maka maksud sebenarnya adalah “Teriakkan Terus Khilafah”. Jika itu yang dimaksudkan dalam pemberitaan tersebut, tentu perlu diapresiasi positif dan patut disyukuri oleh publik. Namun karena pemberitaan itu sudah tersebar luas melalui media sosial, maka tentunya masih ada hal yang perlu disoroti oleh publik secara proporsional. Pasalnya dalam pemberitaan tersebut ada pernyataan yang kurang objektif, ada pernyataan yang kontradiktif, dan ada pula pernyataan yang agak tendensius. Bahkan ada yang bersifat agitasi terhadap HTI. Memangnya apa kesalahan HTI kepada negara dan bangsa ini hingga harus dibubarkan oleh pemerintah. Itu hal yang harusnya juga menjadi perhatian pihak yang “anti HTI”. Pernahkah HTI melakukan tindakan separatis kepada negeri ini?, jawabannya tentu tidak pernah. Bahkan tahun 1999 lalu HTI-lah satu-satunya Ormas yang dengan tegas menolak lepasnya Timor-timur dari pangkuan Indonesia. Sementara organisasi separatis seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang jelas-jelas telah melakukan tindakan makar, menyerang dan membunuh anggota TNI dan Polri yang sedang bertugas di sana, sampai sekarang dibiarkan saja, sepertinya rezim ini tutup mata dan merestui terhadap “kejahatan” mereka. Pernahkah HTI melakukan tindakan korupsi, hingga merugikan uang negara? Jawabannya tentu tidak pernah. Sementara publik menyaksikan banyak koruptor yang sudah jelas-jelas merugikan negara dan bangsa ini, rezim saat ini malah melindungi dan membebaskan dari jerat hukum. Itu beberapa fakta yang luput dari perhatian pihak-pihak yang “anti HTI”. Pernahkah HTI menjual aset negara ke asing, pernahkah HTI bekerja sama dengan partai komunis, pernahkah HTI mengundang penjajah asing dan aseng ke negeri ini?. Bahkan masih banyak persoalan-persoalan besar yang menerpa negeri ini, yang semuanya bukan ulah HTI. Harusnya pihak-pihak yang “anti HTI” bisa lebih objektif melihat semuanya itu.

Sementara ada juga pernyataan yang kontradiktif, sebagian pihak menyarankan agar merangkul mantan kader-kader HTI. Padahal mereka selama ini bersikap nyinyir terhadap HTI dan gagasan khilafah yang disuarakan HTI. Mereka tidak pernah berinisiatif mengajak dialog terhadap HTI. Sebagian malah menolak ketika dulu ada upaya pihak HTI ingin bersinergi dan membangun ukhuwah dengan mereka. Kalaupun ada perbedaan pandangan terhadap ide khilafah, harusnya tidak boleh dijadikan alasan memusuhi dan menegasikan HTI.  Yang terhangat, mereka seakan bertepuk tangan ketika Ormas HTI dibubarkan dengan semena-mena oleh rezim diktator saat ini. Penegakan HAM yang sering mereka gembar-gemborkan, nyaris tak terdengar ketika HTI mengalami persekusi, pembunuhan karakter, dan pengebirian hak-hak konstitusinya oleh rezim. Beginikah cara merangkul dan ber-ukhuwah dengan sesama elemen umat Islam?. Padahal Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Ulama’ Pendiri NU, pernah mengingatkan bahwa umat Islam harus menjauhkan sikap fanatik buta terhadap kelompok. Sebagaimana yang pernah beliau sampaikan saat merespon adanya benih-benih “ketegangan” di tengah-tengah elemen umat Islam di masa itu. Ketika muncul pertentangan sesama tokoh Islam akibat perbedaan pendapat tentang madzhab, beliau menulis surat terbuka bertajuk Al-Mawaizh yang dibacakan pada Muktamar NU ke XI di Banjarmasin tahun 1935, lalu disebarluaskan kepada seluruh ulama’ di Indonesia. Isinya adalah anjuran untuk ishlah, meninggalkan fanatisme buta dan mengesampingkan perbedaan pendapat dalam hal-hal yang tidak prinsip guna menghindari perpecahan yang merugikan umat Islam sendiri. Menurut beliau, bila umat Islam pecah, maka yang diuntungkan adalah orang lain, terutama kaum penjajah, yang ingin menancapkan kukunya di bumi pertiwi (Sumber: KH. M. Hasyim Asy’ari Figur Ulama’ dan Pejuang Sejati, Penerbit: Pustaka Warisan Islam, tahun 2007)

Sebagian pihak juga mengeluarkan pernyataan yang agak tendensius, “Mantan kader-kader HTI sudah tidak perlu lagi berteriak-teriak mendirikan negara khilafah”. Hanya Karena menurutnya, HTI tidak akan bisa mendirikan khilafah di Indonesia. Lalu pertanyaannya, apa salahnya khilafah terhadap negeri dan bangsa ini, sehingga HTI dilarang meneriakkan ide khilafah?. Bukankah khilafah itu bagian dari ajaran Islam, yang telah diabadikan dan tertulis dengan rapi dalam kitab-kitab mu’tabar (terkenal) yang ditulis oleh para ulama’ salaf (terdahulu) maupun ulama’ khalaf (kontemporer). Bahkan dalam buku Fikih Islam, yang ditulis ulama’ dari Indonesia yaitu Prof. Sulaiman Rasjid, yang menjadi buku rujukan di Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) dan Madrasah ‘Aliyah (setingkat SMA), pada lembar-lembar terakhir tertulis bab Khilafah (hal. 465 – 476). Apalagi dalam kitab pesantren yang level tinggi yaitu kitab al-Fiqhu al-Islamiy wa ‘adilatuhu juz VIII halaman 273, yang ditulis Syaikh Wahbah Zuhaili, dijelaskan dengan gamblang bahwa mayoritas umat Islam dari kalangan ahlus sunnah, syiah, murji’ah, mu’tazilah berpendapat bahwa al-khilafah atau al-Imamah adalah perkara wajib, suatu kefardhuan yang pasti”. Dan tentu masih ada ribuan lagi kitab para ulama’ yang lain yang menjelaskan tentang khilafah. Sehingga merupakan pekerjaan yang sia-sia bagi pihak “anti khilafah” jika mau melarang HTI meneriakkan khilafah. Karena ide khilafah bukanlah “hak paten” milik HTI, tetapi merupakan milik kaum muslimin seluruhnya hingga hari kiamat.

Pernyataan pihak “anti khilafah” bahwa mereka tidak yakin HTI itu bisa bikin negara Khilafah Islamiyyah, karena HTI tidak punya apa-apa. Sama Banser aja kalah. Tentu pernyataan itu merupakan pernyataan yang agitatif dan kurang bijak, yang tidak sepatutnya disampaikan oleh tokoh kharismatik, yang menjadi panutan umat Islam di negeri ini. Bukankah khilafah itulah yang dulu bisa mewujudkan persatuan dan keadilan bagi semua umat manusia. Yang saat ini dituduhkan rezim bahwa khilafah itulah yang memecah belah negara. Padahal ulama’ pendahulu kita yaitu KH. Wahid Hasyim pernah mengkritik pernyataan Presiden Sukarno yang bernada negatif terhadap syariat Islam. Hal itu terjadi pada Januari 1953, saat kunjungan kerjanya di Amuntai, Kalimantan Selatan, Presiden Sukarno menyatakan, “Jika negara berdasarkan Islam, akan terjadi separatisme di sejumlah daerah yang mayoritas penduduknya non-muslim”. Pernyataan tendensius itu segera mendapat tanggapan keras dari KH. Wahid Hasyim (yang saat itu menjabat menteri Agama RI), dengan menulis, “Pernyataan Sukarno tersebut menurut pandangan hukum Islam adalah perbuatan mungkar yang tidak dibenarkan syariat Islam. Dan wajib tiap-tiap orang muslimin menyatakan ingkar atau tidak setuju” (sumber: Biografi KH. Wahid Hasyim, penerbit: Mizan, tahun 2011).

Secara faktual apapun organisasinya, termasuk Ormas HTI tidak akan bisa menegakkan kembali khilafah sendirian. Dalam sejarah, Rasulullah SAW juga tidak bisa menegakkan daulah Islamiyah pertama sendirian di Madinah. Namun Rasulullah SAW berjuang secara bersama-sama dengan para shahabat Muhajirin. Dan pada akhirnya Allah SWT menurunkan nashrullah (pertolongan) melalui pihak yang mempunyai kekuasaan di Madinah, yaitu suku ‘Aus dan khazraj, yang dikenal dengan shahabat Anshar, untuk mengangkat Rasulullah SAW sebagai Rais Ad-daulah (kepala negara) dan menyerahkan kekuasaan dan kepemimpinan kepada beliau. Dalam konteks sekarang, HTI itu berkiprah hanya dalam ranah dakwah fikriyah (pemikiran), yaitu sekedar menyampaikan dan menggugah kesadaran umat Islam bahwa ada ajaran Islam yang sangat penting, yang dilupakan umat Islam yaitu khilafah Islamiyah. Sementara yang punya kewajiban menerapkan dalam aspek institusi negara adalah para pejabat negara yang beragama Islam, yang sekarang memegang kekuasaan negara (bukanlah HTI yang memang tidak memegang kekuasaan negara dan tidak punya kewenangan dalam mengatur negara). Oleh karena itu HTI tidak pernah bosan meneriakkan khilafah kepada siapapun, baik rakyat maupun pejabat, sampai Allah SWT membukakan hati dan pikiran para pemegang kekuasaan agar mau mengambil dan menerapkan khilafah dalam tataran aplikasi (penerapan riil) dalam sistem kenegaraan. Yang pasti setelah khilafah tegak untuk yang kedua kalinya nanti (tentu dengan izin Allah SWT), maka tidak akan pernah ada polemik tentang khilafah baik antara yang pro maupun yang kontra. Karena tegaknya kembali khilafah kedua itu merupakan janji Allah SWT dan bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah SAW.

Memang jika ditanya, punya apa HTI untuk bekal dalam mendakwahkan khilafah? Tentu jawabannya HTI punya keyakinan bahwa khilafah akan tegak di masa mendatang, sebagaimana janji Allah SWT dan bisyarah Rasulullah SAW. Selain itu HTI punya tsaqafah yang digali dari khasanah keislaman yang diwariskan oleh para ulama’ tentang syariat Islam yang kaffah (sempurna) yang terkodifikasi dalam kitab mutabannat (kitab resmi yang diterbitkan HTI), yang dikaji dalam halqah-halqah oleh para aktivisnya untuk bekal ketika harus menyampaikan kepada masyarakat luas. Itulah bekal yang dipunyai oleh HTI. Oleh karena itu, seharusnya elemen umat Islam yang lain bahu-membahu dalam mendakwahkan syariat Islam secara kaffah, termasuk di dalamnya khilafah Islamiyah. Publik berharap dengan semakin menguatnya opini tentang khilafah dan urgensitasnya dalam membangun peradaban Islam ke depan, umat Islam menjadi semakin faham dan bisa mendorong para pemimpin-pemimpin muslim di negeri-negeri Islam untuk menerapkan khilafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang dengannya cita-cita mulia kita bersama yaitu terwujudnya negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan segera terwujud di tengah-tengah umat Islam secara keseluruhan. Wallahu a’lam.[]

 

 

 

Share artikel ini: