Oleh: dr. M. Amin
Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya kepada kita semua:
]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا[
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (TQS al-Ahzab [33]: 21)
Ayat ini memerintahkan kita semua untuk meneladani Rasul saw. Yakni meneladani seluruh teladan yang ada pada diri Rasul saw dalam semua aspek. Kita tidak boleh membatasi peneladanan kita hanya pada aspek-aspek pribadi Beliau saw saja. Kita tidak boleh meneladani Nabi saw itu terbatas pada aspek-aspek tertentu, misalkan aspek akhlak, aspek pribadi, dll, seraya mengabaikan teladan yang beliau berikan dalam aspek-aspek lainnya, khususnya aspek syariah atau hukum dan sistem. Sebab jika pembatasan itu dilakukan, maka yang demikian itu adalah bentuk pengkerdilan terhadap teladan Rasulullah saw., dan bukan memuliakan dan mengagungkan (takriman wa ta’zhiman) Beliau saw.
Kita tidak boleh terjebak, baik disadari atau tidak, pada peneladanan Rasul saw menurut cara pandang sekulerisme. Sekulerisme memisahkan agama dari negara, kehidupan, urusan publik dan pengaturan urusan masyarakat. Sekulerisme membatasi agama hanya berperan dalam aspek ibadah ritual, moral dan individual dan keluarga (nikah, talak, rujuk dan warisan).
Kita tidak boleh terjebak meneladani Nabi saw dengan kerangka sekulerisme itu. Karena itu, kita tidak boleh hanya meneladani Nabi saw pada aspek-aspek personal, moral dan ibadah mahdhah, dan sejenisnya, sembari mengabaikan teladan beliau dalam menerapkan hukum-hukum syariah, menyelesaikan berbagai perkara dan perselisihan yang terjadi di masyarakat dengan hukum Islam dan menegakkan kekuasaan dan sistem yang menerapkan syariah itu.
Allah SWT memerintahkan agar kita mengambil apa saja Nabi saw bawa dan meninggalkan apa saja yang beliau larang. Allah SWT berfirman:
] … وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7)
Allah SWT mensyaratkan kecintaan manusia kepadaNya dengan ittiba kepada Rasulullah SAW. Ittiba adalah mengikuti. Tanpa ittiba kepada Rasulullah cinta manusia kepadaNya tak terbukti, alias cinta palsu, cinta imitasi.
Tata cara shalat lima waktu, puasa ramadlan, membaca Al-Qur’an, zakat, hajji Rasulullah Muhammad SAW kita ikuti dengan patuh. Hukumnya wajib, bukan haram, meski kita mungkin sulit bisa shalat khusu’ sebagaimana beliau. Meski mungkin kita sulit bisa ikhlas seikhlas beliau. Tetapi tetap wajib mengikuti beliau, agar Allah SWT balas mencintai dan mengampuni dosa-dosa kita.
Tak mungkin kita mengatakan haram hukumnya mengikuti tata cara shalat, zakat, dan haji Rasulullah gegara kita sulit khusu’ dan ikhlas.
Demikian pula sistem pemerintahan beliau SAW. Khalifah Abu Bakar Shiddiq, Umar, Utsman, dan Ali mengikuti sistem pemerintahan beliau. Dimana peran legislatif, eksekutif, dan yudikatif terkumpul dalam satu figur seorang khalifah, persis sebagaimana Rasulullah melakukannya. Sistem ini dikenal sebagai sistem Kekhilafahan Islam atau khilafah ala minhajin nubuwah.
Sistem ini dilanjutkan oleh para Khalifah sesudah Khulafa’ur Rasyidin.
Jadi mensuriteladani Rasulullah Muhammad SAW dalam sistem pemerintahan wajib sebagaimana mengikuti tata cara shalat, puasa, zakat, dan haji.
Semoga kita semua dapat menjadikan beliau SAW sebagai teladan yang baik, Uswatun Hasanah.
Tentu kita semua memiliki kecintaan yang tinggi kepada Rasul saw. Tentu kita semua ingin mengikuti dan meneladani Rasul saw sebagai bukti kecintaan kita itu. Selama ini pun kita telah berusaha keras untuk meneladani Rasul saw dalam aspek ibadah, akhlak, aspek pribadi juga dalam masalah keluarga dan sebagai muamalah yang kita lakukan.
Maka saatnya segera kita sempurnakan peneladanan kita itu dengan meneladani Rasul saw khususnya dalam aspek politik dalam dan luar negeri, pemerintahan, pidana dan sanksi, sosial, perekonomian, pendidikan dan berbagai urusan publik lainnya. Hal itu adalah dengan jalan segera menerapkan syariah islamiyah untuk mengatur semua urusan di masyarakat. Tentu saja hal itu hanya bisa kita realisasikan dalam bingkai sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Itulah bukti hakiki kecintaan, penghormatan dan pengagungan kita kepada Rasul saw, sekaligus merupakan bukti kebenaran keimanan kita.[]