Mendirikan Negara Seperti Nabi SAW, Haramkah?

Oleh : KH.M. Shiddiq Al Jawi

 

Pendahuluan

Makalah ini bertujuan mengkritik pendapat Mahfud MD yang mengatakan bahwa haram hukumnya mendirikan negara seperti Nabi SAW, atau dapat ditafsirkan, bahwa negara yang dia maksudkan adalah negara Khilafah.

Terlebih dahulu akan dipaparkan beberapa argumen Mahfud MD, kemudian akan diberikan 6 (enam) poin kritik terhadap argumen-argumen yang mendasari pendapat Mahfud MD tersebut. 

Argumen Mahfud MD

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berceramah Tarawih di Masjid UGM pada hari Ahad malam tanggal 3 April 2022, dengan tema ‘Titik Temu Nasionalis-Islam dan Nasionalis-Sekuler dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’.

Pada kesempatan itu, Mahfud MD menyebut haram hukumnya mendirikan sebuah negara layaknya pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Mahfud MD mengatakan,”Kita enggak bisa dan dilarang membentuk negara seperti yang dibentuk oleh nabi, enggak boleh. Haram hukumnya.“ (Lihat: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220404083349-20-779786/mahfud-md-haram-mendirikan-negara-seperti-nabi).

Argumen Mahfud MD, sebagaimana ucapannya secara langsung,”Karena negara yang dibentuk oleh nabi sumber hukumnya Allah dan nabi. Kalau ada apa-apa ini hukumnya turun dari Allah, ada peristiwa sesuatu nabi yang memutuskan ini hukumnya. Nah sekarang nggak ada lagi nabi. Oleh sebab itu sistem yang sekarang dibentuk nggak boleh seperti nabi.”

Mahfud MD juga menambahkan,”Kalau ada hal baru, misalnya masalah perdagangan orang, masalah terorisme, ITE, itu enggak ada dulu.”

Mahfud MD melanjutkan lagi,“Sekarang kalau ada siapa yang buat, tanya ke nabi, nabi enggak ada, Allah, Allah enggak nurunkan lagi wahyu. Lalu siapa? Bentuk sistem negara menurut kebutuhan kita.“ (Lihat : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220404083349-20-779786/mahfud-md-haram-mendirikan-negara-seperti-nabi).

Dari kutipan berita di atas, argumen-argumen Mahfud MD yang mengharamkan mendirikan negara ala Nabi SAW (baca : Khilafah), paling tidak terdapat 3 (tiga) argumen sebagai berikut :

Pertama, karena sekarang wahyu tidak turun lagi kepada kita.

Kedua, karena sekarang jika ada hal-hal baru, tidak bisa dicari lagi solusinya dari wahyu, karena wahyu sudah tidak turun lagi.

Ketiga, karena jika seseorang menjadi kepala negara dari negara seperti nabi, berarti dia otomatis telah menabikan dirinya, yaitu mengklaim dirinya menjadi nabi yang mendapat wahyu dari langit, padahal tak ada lagi nabi, dan tak ada wahyu lagi.

Bertolak dari tiga argumen tersebut, menurut Mahfud MD, haram hukumnya kita umat Islam mendirikan negara seperti Nabi. Demikianlah intisari argumen Mahfud MD, yang menggurui umat Islam untuk anti ajaran Islam (Khilafah).

Pendapat tersebut batil dan hanya sebuah kebohongan. Karena meskipun setelah Nabi SAW meninggal tidak ada wahyu lagi yang turun dan tidak akan ada nabi lagi, namun kenyataan ini sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk mengharamkan mendirikan negara ala Nabi SAW.

Kritik Terhadap Argumen Mahfud MD

Terdapat paling tidak 6 (enam) poin kritik yang dapat diberikan terhadap argumen-argumen Mahfud MD. Penjelasan poin-poin kritik diuraikan satu persatu sebagai berikut;

Kritik Pertama

Perlu diketahui bahwa Nabi SAW mempunyai dua kedudukan; yaitu kedudukan sebagai nabi dan kedudukan sebagai pemimpin. Syekh Abdul Qadim Zallum berkata :

فَكَانَ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ النُّبوَّةِ والرِّسالَةِ وَكَانَ فِي نَفْسِ الوَقْتِ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ رِئاسَةِ المُسْلِمِينَ فِي إِقامَةِ أَحْكامِ الإِسْلامِ

”Nabi SAW itu dahulu memegang kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah), dan pada waktu yang sama Nabi SAW memegang kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) bagi kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Islam.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fî Al-Islâm, hlm. 116-117).

Nah, ketika Nabi SAW wafat, kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) berhenti, jadi wahyu dan nabi tak akan ada lagi. Namun kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) sebagai kepala negara, tetap berlanjut dengan dilanjutkan oleh para khalifah.

Jadi, ketika para khalifah itu menggantikan Nabi SAW, mereka hanyalah meneruskan kedudukan kedua Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai pemimpin, bukan meneruskan kedudukan pertama Nabi SAW sebagai nabi untuk menerima wahyu, karena wahyu tidak turun lagi.

Dalam sebuah hadits shahih, Nabi SAW bersabda :

كَانَتْ بَنُو إسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأنْبِيَاءُ، كُلَّما هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وإنَّه لا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ

”Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…” (HR Muslim, no 1842).

Hadits Nabi SAW tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa :

Pertama,  tidak ada lagi nabi lagi setelah Nabi SAW meninggal. Ini artinya, kedudukan pertama bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) dengan mendapat wahyu langsung dari Allah, telah berakhir dengan wafatnya Nabi SAW.

Kedua, akan ada khalifah-khalifah setelah wafatnya Nabi SAW. Ini artinya, kedudukan kedua bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah), tidaklah berakhir, melainkan digantikan dan diteruskan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi SAW.

Jadi, ketika Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq menggantikan kedudukan Nabi SAW, beliau hanyalah meneruskan kedudukan kedua Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai pemimpin, bukan meneruskan kedudukan pertama Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai nabi untuk menerima wahyu secara langsung dari Allah, karena wahyu tidak akan turun lagi setelah wafatnya Nabi SAW.

Dengan demikian, jelaslah bahwa meski setelah Nabi SAW meninggal tidak ada wahyu lagi yang turun dan tidak akan ada nabi lagi, namun kenyataan ini tidak dapat menjadi alasan untuk mengharamkan mendirikan negara ala Nabi SAW.

Bahkan Nabi SAW sendiri memerintahkan untuk mengikuti sunnah (metode/tharîqah dalam i’tiqâd dan ‘amal) dari beliau dan sunnah dari Khulafa’ur Rasyidin, termasuk sunnah menjalankan negara ala Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda :

فعَلَيْكُمْ بسنَّتِي وسنَّةِ الخلَفَاءِ الراشدينَ المهديينَ عضُّوا عليها بالنواجِذِ

”Maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnah-ku, dan juga sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi gerahammu…” (HR Tirmidzi no. 2676; hadits shahih).

Jadi, salahnya di mana jika umat Islam meneruskan atau mendirikan negara ala Nabi SAW? Bagaimana mungkin mendirikan negara ala Nabi SAW dikatakan haram?

Kritik Kedua

Memang benar bahwa setelah Nabi SAW meninggal dunia, wahyu tidak diturunkan lagi, tetapi tak berarti kita kehilangan bimbingan wahyu, karena wahyu kini sudah terbukukan dalam Al Qur`an dan As Sunnah.

Memang benar, setelah Nabi SAW wafat, wahyu terputus, sesuai hadits sbb :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرِّسالَةَ وَ النُّبوَّةُ قَدْ انْقَطَعَتْ ، فَلَا رَسولَ بَعْدِي وَ لَا نَبيَّ .رواه الترمذي رقم 2272

Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada rasul dan nabi lagi setelah aku.” (HR Tirmidzi, no. 2272).

Namun apakah setelah Nabi SAW meninggal, wahyu yang telah turun kepada Nabi SAW lalu lenyap tidak berbekas, sehingga umat Islam kehilangan bimbingan wahyu? Jelas tidak.

Hal itu karena wahyu sudah terbukukan atau ter-kodifikasi dalam bentuk Al Qur`an dan As Sunnah. Itulah sekarang wahyu yang menjadi pembimbing kita, bukan wahyu seperti yang diturunkan secara langsung oleh Allah melalui malaikat Jibril AS kepada Nabi SAW.

Rasulullah SAW sendiri sudah pernah berpesan kepada umat Islam, apa yang menjadi pedoman umat setelah Nabi SAW meninggal (setelah wahyu langit terputus).

Perhatikan hadits berikut :

عَنْ عبد الله بن عبَّاس رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَرَكَتْ فِيكُمْ أَيُّهَا النّاسُ ، مَا إِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ ، فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا : كِتابُ اللَّهِ ، وَسُنَّةُ نَبيِّهِ. رواه الحاكم في المستدرك ووالبيهقي في دلائل النبوة (5/449) حديث صحيح

Dari Abdullah bin Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda,”Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kamu, wahai manusia, apa-apa yang jika kamu berpegang teguh dengannya, kamu tak akan pernah tersesat selama-lamanya; yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Al Hakim & Baihaqi).

Jadi, umat Islam saat ini, kalau ingin mencari bimbingan wahyu Allah, tidak usah repot-repot menunggu Malaikat Jibril AS turun dari langit membawa wahyu, tapi cukup merujuk kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits. Tidak perlu pula seseorang mengangkat diri sendiri sebagai nabi jika dia menjadi Khalifah, yang jelas merupakan sebuah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan dalam Islam.

Hal itu dikarenakan setelah Nabi SAW meninggal, wahyu yang pernah diturunkan kepada Nabi SAW tidaklah lenyap, melainkan masih dapat diakses umat Islam sampai Hari Kiamat, yaitu wahyu dalam bentuk Al-Qur`an dan As-Sunnah yang sudah terbukukan.

Maka dengan demikian, gugurlah argumen Mahfud MD yang mengharamkan Khilafah dengan argumen setelah Nabi SAW wafat wahyu tidak turun lagi.

Kritik Ketiga

Memang benar banyak hal-hal baru (kontemporer) yang terjadi setelah Nabi SAW meninggal dunia, sementara wahyu tidak diturunkan lagi, tetapi tak berarti kita tidak bisa memberikan solusi untuk menjawab hal-hal baru itu berdasarkan wahyu Allah.

Mengapa demikian? Karena walau wahyu tidak turun lagi melalui Malaikat Jibril AS yang turun dari langit, tetapi dengan IJTIHAD yang dilakukan oleh para mujtahid, dengan merujuk kepada wahyu yang terbukukan, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah, hal-hal baru itu dapat dijawab melalui IJTIHAD para mujtahid tersebut.

Rasulullah SAW sendirilah yang mensyariatkan IJTIHAD untuk menjawab hal-hal baru.

Jadi, untuk mengatasi hal-hal baru, umat Islam tidak usah repot-repot menunggu turunnya malaikat Jibril AS yang membawa wahyu, tapi cukup ber-IJTIHAD. Tidak perlu pula seseorang yang menjadi Khalifah, menabikan diri supaya mendapat wahyu langsung dari Allah. Ya, cukup ber-IJTIHAD, tidak ada yang lain.

Rasulullah SAW telah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal RA yang diutus oleh Rasulullah SAW ke Yaman :

كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ ، قَالَ : أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ ، قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ ؟ ، قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ ؟ قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِي ، وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ ، وَقَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ ، رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ. رواه أبو داود

“Bagaimana kamu memutuskan jika datang kepadamu suatu perkara peradilan?” Muadz menjawab,”Dengan Kitabullah.” Nabi SAW bertanya,”Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan di dalam Kitabullah?” Muadz menjawab,”Dengan sunnah Rasulullah.” Nabi SAW bertanya,”Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan di dalam Sunnah Rasulullah ?” Muadz menjawab,”Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan lalai.” Maka Rasulullah SAW menepuk dada Muadz seraya bersabda,”Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah untuk sesuatu yang membuat ridho Rasulullah.” (HR Abu Dawud, no. 3172).

Kritik Keempat

Pendapat bahwa Khilafah itu haram hukumnya, justru bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW untuk mengikuti bentuk pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin, yaitu Khilafah.

Rasulullah SAW telah bersabda :

وَأَنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيرى اخْتِلافاً كثِيرا. فَعَلَيْكُمْ بسُنَّتي وَسُنَّةِ الْخُلُفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عضُّوا عَلَيْهَا بالنَّواجِذِ،

”…sesungguhnya barangsiapa yang hidup di antara kamu dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku, dan juga sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi gerahammu…” (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi,  no. 2676; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,  no. 42; Ahmad, Musnad Ahmad,  no. 17184; Al Hakim, Al Mustadrak,  1/176, hadis sahih)

Syekh Abdullah Ad-Dumaiji menjelaskan hadits tersebut dengan berkata :

وَهَذَا الحَديثُ يَدُلُّ عَلَى وُجوبِ الِاقْتِداءِ بِسُنَّةِ الخُلَفاءِ الرَّاشِدِينَ ، وَمِن سُنَّتِهِمْ نَصْبُ الخَليفَةِ كَمَا تَواتَرَ عَنْ الصَّحابَةِ رِضْوانُ اللَّهِ عَلَيْهُمْ أَنَّهُمْ بايَعوا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِالْخِلَافَةِ بَعْدَ وَفاةِ النَّبيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ ، فَهَذَا الحَديثُ يَدُلُّ عَلَى وُجوبِ نَصْبِ الخَليفَةِ

“Hadis ini menunjukkan wajibnya meneladani sunnah (metode/thariqah dalam i’tiqad dan ‘amal) Khulafaur Rasyidin. Di antara sunnah mereka, adalah mengangkat seorang khalifah (mendirikan negara ala Nabi), sebagaimana diriwayatkan secara mutawatir bahwa para shahabat telah membaiat Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Maka, hadis ini menunjukkan wajibnya mengangkat seorang khalifah bagi kaum muslimin.” (Abdullah Ad-Dumaiji, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 51-52).

Kritik Kelima

Andaikata benar haram hukumnya Khilafah dengan dalih wahyu sudah tidak turun lagi, niscaya yang pertama kali melakukan perbuatan haram itu justru para shahabat Nabi Muhammad SAW.

Hal itu dikarenakan para shahabatlah yang mengangkat Abu Bakar Shiddiq RA, sebagai Khalifah dalam negara Khilafah yang meneruskan negara Islam (Al-Daulah Al-Islamiyyah) yang telah dirintis dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Dengan demikian, orang yang mengatakan Khilafah hukumnya haram, secara tak langsung telah menuduh para shahabat Nabi Muhammad SAW melakukan dosa dan keharaman.

Jadi, orang yang mengatakan Khilafah hukumnya haram, sebenarnya telah menuduh Khalifah Abu Bakar Shiddiq melakukan keharaman, telah menuduh pula Khalifah Umar bin Khaththab melakukan keharaman, telah menuduh pula Utsman bin Affan melakukan keharaman, dan telah menuduh juga Khalifah Ali bin Abi Thalib melakukan keharaman yang sama.

Jelas pendapat bahwa Khilafah hukumnya haram, akan berkonsekuensi sangat serius, karena berarti telah menuduh Khalifah yang empat itu sebagai manusia-manusia fasik pelaku dosa dan keharaman. Subhanallah, hadza buhtanun ‘azhiem.

Kami tidak mengatakan Mahfud MD telah memfasikkan para Khalifah itu, tapi pendapat Mahfud MD yang mengharamkan Khilafah, dapat berkonsekuensi serius akan membuka  peluang adanya tuduhan bahwa Khalifah-Khalifah yang sudah dijamin surga oleh Nabi SAW itu, telah berbuat dosa dan keharaman lantaran menjalankan sistem Khilafah yang dicontohkan Nabi SAW.

Mari kita semua ingat sabda Rassulullah SAW yang mengharamkan caci maki atau celaan kepada para shahabat Nabi SAW yang mulia dan terhormat :

لا تَسُبُّوا أصْحابِي، لا تَسُبُّوا أصْحابِي، فَوالذي نَفْسِي بيَدِهِ لو أنَّ أحَدَكُمْ أنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما أدْرَكَ مُدَّ أحَدِهِمْ، ولا نَصِيفَهُ. رواه مسلم 2540

 

”Janganlah kamu mencaci maki para shahabatku, janganlah kamu mencaci maki para shahabatku, karena demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, andaikata salah seorang dari kamu menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, maka pahalanya tidak akan sampai setara dengan pahala satu mud, atau bahkan setengah mud, dari [infak] salah satu dari mereka.” (HR Muslim, Shahih Muslim, nomor 2540). (Ketr. 1 mud = takaran 544 gram gandum).

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu, dari segala bentuk perkataan yang dapat digolongkan sebagai caci maki atau penistaan kepada para shahabat Nabi SAW yang mulia dan terhormat!

Kritik Keenam

Pendapat yang mengharamkan Khilafah, sangat bertentangan dengan pendapat para ulama yang terpercaya di kalangan umat Islam, yang justru mewajibkan Khilafah.

Para imam yang empat dalam lingkup Sunni, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, telah mewajibkan Khilafah (Imamah). Bahkan kelompok (firqah) di luar Sunni, seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, dan Murji`ah, semuanya mengatakan bahwa Khilafah itu wajib hukumnya. Yang berpendapat selain itu, misalnya yang mengatakan Khilafah tidak wajib, pendapatnya sudah dianggap syadz (menyimpang, nyeleneh), yang sesat dan menyesatkan.

Syeikh Abdurrahman Al Jaziri  (w. 1360 H) menjelaskan pendapat imam mazhab yang empat seputar Imamah (Khilafah) :

إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّهُ لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ شَعَائِرَ الدِّيْنِ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُوْمِيْنَ مِنَ الظَّالِمِيْنَ وَعَلىَ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ وَقْتٍ وَاحِدٍ فِيْ جَمِيْعِ الدُّنْيَا إِمَامَانِ لاَ مُتَّفِقَانِ وَلاَ مُفْتَرِقَانِ. (الفقه على المذاهب الأربعة ج 5 ص 416.)

”Telah sepakat para Imam [yang empat] bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz V hlm. 416).

Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) menjelaskan pendapat-pendapat di luar Ahlus Sunnah, yaitu firqah Murji`ah, Syi’ah, dan Khawarij, yang juga sepakat akan wajibnya Imamah (Khilafah) :

إتَّفَقَ جَمِيْعُ أهْلِ السُنَّةِ وَجَمِيْعُ الْمُرْجِئَةِ وَجَمِيْعُ الشِيْعَةِ وَجَمِيْعُ الْخَوَارِجِ عَلَى وُجُوْبِ اْلإمَامَةِ…( الفصل في الملل والأهواء والنحل لابن حزم 4/87).

”Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syi’ah, dan semua Khawarij atas wajibnya Imamah (Khilafah)…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al-Milal wal-Ahwa` wa An-Nihal,  Juz 4. hlm. 87).

Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) menjelaskan bahwa pendapat yang menolak wajibnya Khilafah, merupakan pendapat orang yang tuli (bodoh) dari syariat Islam. Kata Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya :

وَلاَ خِلَافَ فِيْ وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ الْأُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ، إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ الْأَصَمِّ، حَيْثُ كَانَ عَنِ الشَّرِيْعَةِ أَصَمُّ. وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ وَاتَّبَعَهُ عَلىَ رَأْيِهِ وَمَذْهَبِهِ. (الجامع لأحكام القرآن 1/264)

”Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya hal itu (mengangkat Khalifah) di antara umat dan para imam [mazhab], kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Asham, yang dia itu memang ‘asham’ (tuli) dari Syariat. Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikutinya dalam pendapat dan mazhabnya.” (Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, Juz 1 hlm. 264).

Kesimpulan

Berdasarkan kritik-kritik di atas, pendapat yang mengharamkan negara ala Nabi SAW jelas merupakan kebatilan dan kebohongan.

Firman Allah SWT :

وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ

”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ”Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah akan beruntung.” (QS An Nahl [16] : 116). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 13 Ramadhan 1443 (14 April 2022)

 

  1. Shiddiq Al-Jawi

 

Share artikel ini: