Mencari “Nushrah” Ke Luar Makkah
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Bulan Syawal, tahun 10 kenabian, bertepatan dengan akhir Mei atau awal Juni 619 M, Nabi SAW keluar ke Thaif, yang jaraknya dengan Makkah sekitar 60 mil. Nabi SAW menempuhnya dengan berjalan kaki, pulang pergi. Baginda SAW hanya ditemani oleh putra angkatnya, Zaid bin Haritsah. Ketika baginda SAW melintasi kabilah di tengah jalan, maka mereka pun diseru oleh Nabi SAW agar memeluk Islam. Namun, tak satu pun dari kalangan mereka yang memenuhi seruannya.
Ketika sampai di Thaif, baginda SAW sengaja menemui tiga bersaudara, yang merupakan pemuka Tsaqif, yaitu ‘Abdu Yalail, Mas’ud, dan Habib, putra ‘Amru bin ‘Umair at-Tsaqafi. Baginda SAW duduk bersama mereka, dan mengajak mereka untuk mengimani Allah dan memberi pertolongan kepada Islam.
Salah seorang di antara mereka mengatakan, “Dia ini [maksudnya Nabi] adalah orang yang merobek baju Ka’bah.” Yang lain lagi mengatakan, “Apakah Allah tidak mendapati yang lain, selain dirimu?” Yang lain lagi mengatakan, “Demi Allah, aku tidak mau bicara denganmu selamanya. Jika kamu seorang Rasul, maka kamu lebih berbahaya untuk aku balas ucapanmu. Tetapi, kalau kamu berbohong atas nama Allah, maka tidak sepatutnya aku berbicara denganmu.” Nabi SAW pun berdiri meninggalkan mereka, seraya besabda, “Jika kamu telah lakukan apa yang telah kamu lakukan, maka sembunyilah dariku.” [Mubarakfuri, ar-Rahiq al-Makhtum, hal. 125]
Nabi SAW di sana selama 10 hari. Ada yang mengatakan, sampai 30 hari. Baginda SAW tak menyisakan seorang pun di kalangan pemuka mereka, kecuali baginda SAW datangi, dan sampaikan seruannya. Mereka berkata, “Keluarlah dari negeri kami.” Tak hanya itu, orang-orang bodoh di kalangan mereka pun diprovokasi untuk menyerangnya. Saat baginda SAW hendak meninggalkan Thaif, orang-orang bodoh dan budak-budak mereka mencela dan meneriakinya, sehingga orang-orang mengerumuninya.
Mereka berdiri dalam dua barisan, dan mulai melempari baginda SAW dengan batu. Tak hanya dengan batu, bahkan dengan kata-kata bodoh. Mereka melempari tubuhnya hingga kedua sandalnya berlumuran darah. Zaid bin Haritsah hanya bisa melindungi baginda SAW dengan tubuhnya, sehingga kepalanya terluka. Orang-orang bodoh itu terus melakukan tindakan bodohnya hingga berhasil mengusirnya sampai ke dinding ‘Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah, kira-kira jaraknya 3 mil dari Thaif. Ketika baginda SAW sampai di sana, orang-orang yang melempari Nabi SAW itu pulang.
Rasulullah SAW sampai di bawah pepohonan anggur, sembari duduk di bawah naungannya, bersandar ke dinding. Ketika baginda duduk dan merasa tenang, baginda SAW berdoa, dengan doanya yang terkenal itu, yang menggambarkan betapa hatinya dipenuhi kesedihan dan kepayahan atas kesulitan yang dihadapinya, dan menyayangkan tidak seorang pun yang bersedia mengimaninya:
“Ya Allah, kepada-Mulah hamba mengadukan lemahnya kekuatanku, minimnya daya upayaku, dan hinanya hamba-Mu ini di mata orang-orang itu. Wahai Tuhan yang Maha Pengasih, Engkaulah Tuhan orang-orang yang tertindas. Engkau Tuhan hamba, kepada siapa Engkau akan serahkan hamba-Mu ini? Kepada yang jauh, yang menyerangku? Ataukah kepada musuh yang menguasai urusanku? Andai bukan karena murka-Mu kepada hamba, hamba tak peduli. Tetapi, ampunanmu Maha Luas bagi hamba. Hamba berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dengan denganya urusan dunia dan akhirat menjadi baik dari turunnya murka-Mu kepada hamba, atau dari halalnya kemurkaan-Mu untuk hamba. Hanya untuk-Mu semuanya ini hingga Engkau ridha. Tiada daya dan upaya kecuali hanya milik-Mu.”
Saat kedua putra Rabi’ah, yaitu ‘Utbah dan Syaibah, menyaksikannya rasa kasihannya tergerak untuk memberikan pertolongan kepada baginda SAW. Mereka memanggil budaknya, yang beragama Nasrani, namanya ‘Adas. Mereka mengatakan kepadanya, “Coba ambilkan setangkai kurma ini, dan bawalah kepada pria ini.” Saat ‘Adas meletakkannya di depan Rasulullah, tangan baginda SAW meraihnya, seraya berdoa, “Bismillah.” Baru baginda SAW makan.
Gumam ‘Adas, “Ini adalah ucapan yang tak biasa dikatakan oleh penduduk di sini.” Lalu, baginda SAW bertanya kepadanya, “Dari negeri mana kamu? Agamamu apa?” ‘Adas pun menjawab, “Aku beragama Kristen, dan penduduk Ninu.” Nabi SAW menyahut, “Dari kampung seorang lelaki shalih, Yunus bin Mata?” ‘Adas balik bertanya, “Apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Mata?” Nabi SAW menjelaskan, “Beliau itu saudaraku. Beliau adalah seorang Nabi, dan aku juga Nabi.” Spontan, ‘Adas pun meraih kepala Rasulullah, kedua tangan dan kakinya, untuk diciumi.
Kedua putra Rabi’ah itu pun heran, sambil bertanya-tanya, “Ada apa dengan budakmu?” Saat ‘Adas kembali kepada mereka, mereka bertanya kepadanya, “Celaka, apa yang telah kamu lakukan ini?” ‘Adas menjawab, “Wahai Tuanku, tak ada di muka bumi ini yang lebih baik ketimbang lelaki ini. Beliau telah memberi tahu aku sesuatu yang tidak diketahui, kecuali oleh seorang Nabi.” Keduanya berkata kepadanya, “Celaka kamu ‘Adas. Jangan sekali-kali dia memalingkan kamu dari agamamu. Agamamu lebih baik ketimbang agamanya.”
Rasulullah SAW pun kembali ke Makkah, setelah meninggalkan kebun milik ‘Utbah dan Syaibah, dengan duka, kesedihan dan hati yang terluka. Ketika sampai di Qarnu al-Manazil, Allah SWT mengutus Malaikat Jibril ‘alaihissalam, dengan disertai malaikat penunggu gunung. Minta dititahkan untuk mengangkat dan menjatuhkan Gunung Akhsyabain kepada penduduk Thaif. Dalam riwayat Bukhari dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha diceritakan, saat Jibril berkata kepada baginda SAW:
“Allah SWT telah mendengar ucapan kaummu kepadamu, dan balasan mereka kepadamu. Allah SWT telah mengirimkan Malaikat Gunung agar kamu titahkan sesukamu untuk memberi pelajaran kepada mereka. Malaikat Gunung itu pun memanggilku, dan mengucapkan salam kepadaku. Lalu berkata, “Wahai Muhammad, apapun yang kamu mau. Jika kamu mau, aku akan timpakan kepada mereka Gunung Akhsyabain, pasti akan aku kerjakan.”
Gunung Akhsyabain adalah dua gunung, yaitu Gunung Makkah dan Jabal Abi Qubais. Adapun dua gunung yang berhadapan dengannya adalah Qa’iqa’an. Tetapi, Nabi SAW penyayang itu bersabda, “Tidak, justru aku berharap Allah SWT melahirkan dari keturunan mereka orang yang menyembah Allah ‘Azza wa Jalla, dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun jua.” [Bukhari, Shahih, Juz I/456; Muslim, Shahih, Juz II/109]
Rasul SAW pun sadar, dan hatinya yakin dengan pertolongan gaib yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya dari langit ketujuh. Baginda SAW pun melangkahkan kakinya ke Makkah hingga sampai di Wadi Nakhlah, lembah kebun kurma. Untuk beberapa malam baginda SAW tinggal di sana. Di Wadi Nakhlah ini ada dua tempat yang layak didiami, yaitu Sil Kabir dan Zaimah. Disebut demikian, karena pernah digenangi air dan kesuburannya.
Saat baginda SAW di sana, Allah SWT mengirimkan sejumlah jin kepada baginda SAW Mereka disebutkan oleh Allah dalam dua surat. Pertama, dalam QS al-Ahqaf: “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Alquran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Alquran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” [Lihat, QS al-Ahqaf: 29, 30 dan 31]
Kedua, QS al-Jin, mulai ayat pertama hingga lima belas. Peristiwa ini merupakan bentuk pertolongan lain yang Allah berikan kepada Nabi SAW. Ayat-ayat yang diturunkan juga mengisyaratkan keberhasilan dakwah Nabi SAW. Karena tak ada satu pun kekuatan di seluruh alam ini yang sanggup memalingkan keberhasilan dakwah baginda SAW.
Dengan isyarat dan pertolongan ini, kabut kesedihan, duka dan luka dalam hati telah tersingkap. Baginda SAW pun siap dengan rencana pertama dalam menawarkan dan menyampaikan Islam sebagai risalah abadi dari Allah dengan semangat baru. Di saat seperti itulah, Zaid bin Haritsah heran, sembari bertanya kepada baginda saw, “Bagaimana Engkau akan mendatangi mereka [Quraisy], sementara mereka telah mengusirmu?” Dengan mantap, Nabi SAW besabda, “Wahai Zaid, Allah telah menjadikan untuk apa telah kamu saksikan ini jalan keluarnya. Allah Maha Menolong agama-Nya, dan memenangkan Nabi-Nya.”
Baginda berjalan kaki dari Wadi Nakhlah itu ke Makkah, menyusuri jalan terjal bebatuan, dan pegunungan. Sesampai di dekat Makkah, baginda SAW singgah di Gua Hira’, Jabal Nur. Baginda SAW pun mengutus seorang pria dari suku Khuza’ah kepada Akhnas bin Syuraiq. Setelah peristiwa ini, baginda SAW benar-benar mendapatkan pertolongan gaib dari Allah SWT dengan peristiwa Isra’ dan Mikraj. []
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 215