Mencari Keadilan…

Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik Internasional)

Israel telah melakukan banyak teror dan pelanggaran-pelanggaran terhadap darah dan kehormatan, termasuk pelanggaran terhadap Al Aqsa. Agenda demi agenda, Israel ‘mengairi tanah dengan darah’ penduduk Palestina dan terus membangun pemukiman di rumah-rumah penduduk asli. Bagi muslim, Al Quds adalah tanah yang diberkahi, dan ini adalah bagian dari Aqidah Islam. Ini adalah tanah yang merupakan tempat Isra wa Mi’raj, bumi para Nabi. Tidak ada negosiasi bahwa Umat untuk menerima pendudukan. Namun tekanan dari politisi dan media di barat, dengan cukup munafik melihat kriminalitas Israel sebagai bukan bagian dari definisi terorisme, radikalisme dan ekstremisme mereka, sebaliknya mereka melemparkan tuduhan anti-Semit bagi siapapun yang anti-Zionis.

Palestina setiap incinya adalah urusan umat Islam. Anda menyaksikan reaksi alamiah kegeraman umat Islam seluruh dunia atas pembunuhan demi pembunuhan, yang didorong atas keimanan. Lalu dunia telah menyaksikan, Presiden Trump mengatakan “Welcome my good friend” kepada Presiden Netanyahu. Wajar, selama kampanye pemilihan Trump, dia mengekspresikan pandangan yang sesuai dengan pemerintah Israel, mendukung perluasan pemukiman dan menimbulkan lebih banyak luka pada warga Palestina. Presiden AS mengabaikan keadaan orang-orang Palestina. Tentu pelecehan dan penindasan rakyat Palestina selama bertahun-tahun, adalah situasi yang tidak dapat dipertahankan.

Beberapa orang berpendapat bahwa retorika yang digunakan untuk melawan “Israel” di Timur Tengah adalah bukti anti-Semitisme, namun anehnya retorika semacam itu selalu hadir dalam konteks konflik dan penjajahan. Orang-orang Yahudi yang melarikan diri dari penganiayaan di Eropa diizinkan untuk tinggal di wilayah yang dulunya adalah tanah suci yang dilindungi oleh daulah Khilafah. Namun, pembentukan “tanah air” dengan merampas dan menempati tanah orang lain secara illegal – bukan hanya tidak adil , namun tidak dapat diterima dari perspektif Syariah Islam.

Israel didirikan melalui kekerasan dan teror, pembersihan etnik 700.000 orang Palestina dan pembentukan sebuah negara ‘apartheid’ yang militeristik brutal yang tidak manusiawi, memenjarakan dan membunuh pria, wanita dan anak-anak. Hampir tidak mungkin untuk memahami setiap bangsa bisa mengenali Israel sebagai bangsa yang mengenal perdamaian setelah kebrutalan dan ketidakadilan semacam ini. dan Islam tidak bisa mentolerir tindakan kriminal ini. Israel dalam benak publik selamanya dianggap sebagai entitas tidak sah – sama seperti orang Eropa tidak menerima invasi Hitler ke Prancis dan Cekoslowakia, dan Inggris tidak menerima pendudukan Falklands, atau Indonesia ketika dijajah Jepang dan Belanda.

Tidak aneh reaksi barat telah mendukung sepenuhnya narasi Israel terhadap warga Palestina, yang lebih disorot adalah reaksi penguasa Muslim: kutukan tapi sedikit di jalan tindakan. Penguasa di negeri muslim saat ini kehilangan tindakan tegas yang akan mengakhiri pelanggaran-pelanggaran Israel. Ketika publik di seluruh dunia semakin mengambil langkah untuk memboikot Israel, namun rezim Arab secara aktif berusaha untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.

Memang, Recep Tayyip Erdogan, pemimpin Turki, menyatakan kebiadaban Zionis-Israel di Gaza, setara dengan kebiadaban Hitler Nazi.  “Mereka (Israel) mengutuk Hitler siang dan malam, tapi kebiadaban mereka sekarang ini bahkan telah melampaui aksi barbar Hitler,” katanya saat berkampanye untuk pemilihan presiden di Kota Ordu, kawasan sekitar Laut Mati, pertengahan Juli 2014, seperti dikutip media Turki, Hurriyet. Namun, apa artinya kecaman dan kutukan, ketika tidak ada aksi yang bisa dilakukan, untuk sekedar memberi tekanan diplomatik seperti mengusir duta besar Israel atau tekanan ekonomi seperti memotong hubungan perdagangan, khususnya dari Mesir maupun Turki.

Palestina membutuhkan perlindungan nyata, yang akan membawa keadilan riil ke wilayah tersebut, membebaskan tanah yang diduduki, melepaskan belenggu kolonialisme, mengakhiri penindasan dan membangun sistem di atas dunia Muslim yang akan memungkinkan Muslim, Yahudi, Kristen dan lainnya untuk hidup bersama. Maka Sejarah dan aturan Islam berkaitan dengan kewarganegaraan adalah sebuah bukti akan hal ini.

Hanya kepemimpinan Islam yang tulus, yang benar-benar akan membebaskan Palestina, kembali kepada perlindungan, kehormatan dan martabat umat Islam, dan memberikan kedamaian dan stabilitas bagi semua orang di wilayah ini, baik Muslim, Yahudi dan Kristen, dan lainnya. []

 

Share artikel ini: