Banyak perubahan sejarah bangsa dilakukan lewat ekstra parlemen. Suatu metode perubahan yang banyak ditempuh para tokoh dunia, yang juga ternyata juga dilakukan oleh Sultan Suriansyah, saat membawa masuk ajaran Islam ke tanah Banjar.
Ingat peristiwa 1998, saat tumbangnya Rezim Orde Baru? Atau yang paling bersejarah, penaklukan Makkah, saat berakhirnya era Jahiliah?
Adakah perubahan besar tersebut ditempuh melalui perubahan dari dalam pemerintahan yang berkuasa?
Tentunya tidak. Setidaknya hal inilah yang diyakini Pimpinan Majlis Darul Ma’arif Banjarmasin, Wahyudi Ibnu Yusuf, saat menjadi penanggap utama, di diskusi Bedah Buku Sultan Suriansyah, Pioner Dakwah di Tanah Banjar, karya sejarawan Banjar, Ahmad Barjie, di Gedung Yayasan Tahfizul Quran Ummul Qura, Komplek Bumi Indah III, Jalan Bumi Mas Raya, Banjarmasin, Minggu (10/02/19).
Wahyudi mengistilahkan peristiwa tersebut, dengan sebutan gerakan extra parlemen.
Diskusi yang digelar Forum Komunikasi Majlis Taklim Banjarmasin ini agak merembet kepada sejarah perubahan bangsa, saat dialog bersama peserta acara, yang ternyata juga dihadiri dua calon anggota legislatif, jelang Pemilihan Umum 2019.
Wahyudi menitipkan pesan, agar apabila terpilih nanti, para caleg bisa ikut memperjuangkan Islam di parlemen, dengan mendukung hadirnya kebijakan-kebijakan peraturan Islam untuk masyarakat.
“Meski diyakini, parlemen bukan tempat untuk perubahan fundamental,” sambung Wahyudi.
Perubahan mendasar yang digaungkan Wahyudi, adalah perubahan ke arah Islam, yang sudah menjadi tuntutan seorang muslim untuk melakukannya.
“Totalitas, ‘Udkhulu fissilmi kaffah’, masuk Islam secara keseluruhan,” ujar Wahyudi saat menyitir Quran surah al Baqarah ayat 208.
Semuanya tersebut menurut Wahyudi, hanya bisa dilakukan lewat extra parlemen, karena akan ada resistensi (penolakan), apabila dilakukan dengan masuk ke dalam sistem pemerintahan yang ada.
Saat diwawancarai terpisah, Ahmad Barjie mengakui, bahwa masuknya Islam ke pulau Kalimantan, dan berdirinya Kesultanan Banjar, telah ditempuh dari luar jalur kekuatan lama.
“Ya seperti Nabi, yang membangun kekuatan di Madinah, dan kembali lagi ke Mekkah untuk dikuasai,” ujar Barjie.
Begitu pula sejarah yang ditempuh Sultan pertama Kesultanan Banjar, Sultan Suriansyah, yang sebelum masuk Islam bernama Pangeran Samudera.
Barjie menceritakan, pada awalnya, Pangeran Samudera memang diwasiatkan oleh kakeknya, yakni Maharaja Sukarama, untuk memimpin Kerajaan Daha. Namun pada perjalanannya, hak tersebut malah direbut sang paman, Pangeran Tumenggung. Dan pada akhirnya, kembali diserahkan ke Pangeran Samudera, usai mendapat bantuan bala tentara dari Kerajaan Demak, dengan syarat, Pangeran Samudera bersedia masuk Islam.
Bersama Islam, perlahan Kesultanan Banjar meraih kejayaan, dengan memperluas dakwah hingga hampir seluruh pulau Kalimatan, seiring dengan kemakmuran rakyat kala itu, yang diyakini Barjie juga merupakan bagian dari Kekhilafahan Utsmaniyah, yang berpusat di Turki.
Sehingga kondisi Indonesia sekarang, yang dianggap semrawut dan menyulitkan masyarakat, dinilai perlu dirubah secara totalitas ke arah Islam, untuk kembali jaya seperti masa silam.
“Kita sebagai generasi sekarang, harus juga melihat generasi-generasi pendahulu, seperti Sultan Suriansyah, yang dapat membawa banua jadi aman sentosa dan makmur, karena beliau ini menerapkan konsep hukum dari Allah,” ujar Baringin Sakti Nasution, salah satu peserta diskusi, yang juga caleg Partai Gerakan Indonesia Raya, Daerah Pemilihan (Dapil) Banjarmasin Selatan, yang juga Humas Front Pembela Islam Kalimantan Selatan.
Sementara itu, caleg satunya, dari Partai Golongan Karya, Dapil Banjarmasin Utara, Sukhrowardi, mengakui ada keseimbangan tata kelola sumber daya alam, semasa kepemimpinan Sultan Suriansyah, yang ia harapkan bisa diterapkan pemerintahan masa kini.
“Kepemimpinan Sultan Suriansyah, menyiratkan pesan kepada kita semua, akan tata kelola pemerintahan yang baik, baik untuk keseimbangan alam, hingga untuk perekonomian rakyat, yang hari ini sudah tidak diterapkan lagi,” urai Sukrowardi, saat diwawancarai usai acara.
Turut hadir dalam kegiatan ini, para tokoh agama, tokoh masyarakat, aktivis, mahasiswa, dan lainnya.[]