Memposisikan Pesantren Sebagai Pencetak Muslim Kaffah

Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)

Setiap muslim tentunya ingin bisa menjalankan agamanya dengan baik. Tidak terbersit sedikitpun di benak mereka untuk membenci ajaran agamanya sendiri. Bukankah Allah SWT telah memerintahkan mereka untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Al – Baqarah ayat 208.

Ikrimah menjelaskan bahwa ayat tersebut berisi seruan kepada perintah untuk beramal dengan seluruh syariat Islam, menegakkan keseluruhan hukum dan hudud Islam, bukan menelantarkan sebagian dan mengamalkan sebagiannya. Karena mengamalkan sebagian dan menelantarkan sebagian itu termasuk jejak – jejaj Syetan. Sedangkan Syetan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Jadi muslim yang kaffah itu tidak menimbang ajaran Islam berdasarkan hawa nafsunya.

Dalam kehidupan sehari – hari, seorang muslim yang kaffah mampu bersikap adil. Ia akan bersikap eksklusif terhadap urusan tsaqafah dan way of life. Baginya, Islam sudah sangat mencukupi. Sedangkan terkait urusan sarana prasarana kehidupan, sains dan teknologi, ia bersikap inklusif atau terbuka. Dalam urusan sains dan teknologi, seorang muslim akan terbuka untuk mempelajarinya walau sumbernya berasal dari orang dan bangsa kafir. Jadi bersikap adil adalah mampu menempatkan sikap eksklusif dan inklusif sesuai koridor dan batasan Islam, bukan yang lain.

Sikap adil bukanlah sikap moderat atau pertengahan sebagaimana terminologi liberalisme maupun sekulerisme. Sebuah terminologi yang ingin memformat sosok seorang muslim yang inklusif dengan standar nilai dari barat. Mereka menjadi tidak keberatan bila sebagian ajaran Islan ditelantarkan karena dipandang tidak relevan dengan jaman. Ajaran Islam tentang Khilafah dan jihad dipandang perlu untuk direvisi agar ramah dengan sekulerisme.

Pandangan moderat sedemikian agar bisa diterima kaum muslimin tentu harus dilabeli dengan nash. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan persepsi agar pandangan moderat ini islami. Ayat yang dituding mengajarkan paham moderat adalah:

والذين اذا انفقوا لم يسرفوا ولا يقتروا وكان بين ذلك قواما

Orang – orang yang apabila menginjakkan hartanya, mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir. Adalah mereka berada di tengah – tengah yakni bersikap adil.

Ayat tersebut sama sekali tidak bermakna mengajarkan sikap moderat sebagaimana yang dikehendaki oleh sekulerisme. Justru ayat tersebut menunjukkan akan sikap seorang muslim yang bertaqwa. Abdullah ibn Abbas menjelaskan ayat tersebut

هم المؤمنون لا يسرفون فينفقون في معصية الله، ولا يقترون فيمنعون حقوق الله تعالى.

Mereka adalah orang mukmin yang tidak berlebihan yakni tidak menginfakkan hartanya di jalan maksiat. Begitu pula ia tidak kikir yakni ia tidak menghalangi dari ditunaikannya hak – hak Allah.

Jadi seorang muslim tidak akan mengubah hukum – hukum Islam. Ia mempunyai standar halal dan haram dalam berbuat. Tujuan hidupnya hanya ingin meraih Ridho Alloh SWT.

Tentunya pesantren menempati posisi kunci dalam mencetak muslim yang bertaqwa. Di dalam pesantren diajarkan tsaqafah Islam tanpa kecuali. Bahkan di pesantren, tsaqafah Islam bisa dipelajari langsung dari sumber – sumber kitab mu’tabar. Dari urusan thaharah hingga daulah (negara) semuanya dikaji. Harapannya melalui wadah pesantren ini, bisa dikaji lebih mendalam mengenai ajaran Islam secara paripurna.

Di samping itu pula, keberadaan pesantren di masyarakat merupakan proses sosiologis yang panjang. Tidak bisa dibatasi oleh urusan administratif. Ketika mau mendirikan pesantren, terlebih dahulu mengurus surat ijin operasional dari pemda setempat atau dari pusat, lantas pesantren itu akan mendapat legitimasi dari kaum muslimin. Tidak semudah itu.

Kepercayaan kaum muslimin kepada sosok kyai, ustadz dan mubaligh pengasuh pesantren diperoleh dari track recordnya. Ia dikenal sebagai sosok yang bertaqwa dan berkeilmuwan dalam agama. Ia menjadi teladan kaum muslimin. Dari sini lantas kaum muslimin memberi kepercayaan padanya untuk mendidik generasi kaum muslimin tentang ilmu – ilmu keislaman. Jadi keberadaan pesantren itu dikarenakan ada legitimasi umat.

Oleh karena itu, negara tentunya berposisi bukan sebagai polisi dan hakim bagi pesantren. Negara mestinya melayani dalam pengembangan pendidikan Islam di pesantren. Negara menjadi benteng pertama dan utama bagi pesantren dari berbagai serangan pemikiran dan ideologi asing yang bisa merusak Islam. Negara menjamin generasi – generasi kaum muslimin untuk mempelajari Islam dengan paripurna dan baik. Bahkan negara mestinya mendorong agar pembelajaran pesantren mampu menyikapi setiap pemikiran dan ideologi asing yang meracuni umat dengan bersandar hanya pada Islam. Negara juga memfasilitasi agar alumni pesantren mampu memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa dan negara dengan membebaskannya dari semua bentuk penjajahan.

Kontrol negara kepada pesantren juga bersifat edukatif dan sosiologis. Maksudnya negara akan menjalankan tugasnya untuk mengedukasi masyarakat dengan ajaran Islam. Negara akan membuka kerusakan – kerusakan pandangan hidup liberal dan sekuler di masyarakat. Dengan demikian kaum muslimin akan bisa menjalankan fungsi kontrol sosial yang baik bagi negara dan termasuk bagi lembaga pendidikan, tak terkecuali pesantren.

Dengan adanya kontrol sosial dari kaum muslimin, pesantren akan benar – benar mampu mengemban amanah untuk mewujudkan sosok seorang muslim yang kaffah. Sosok seorang muslim yang merindukan agar kehidupan ini diatur dengan Syariat Allah SWT dalam wadah institusi politik Islam yakni al – Khilafah. Bukankah al – Khilafah itu dijadikan oleh Islam sebagai metode untuk menjalankan Islam secara kaffah? []

Share artikel ini: