Mempolitisasi Khutbah Jum’at

Ditulis oleh: KH. Rokhmat S. Labib

Bawaslu sedang menyusun materi khotbah menjelang masa kampanye Pilkada 2018. Demikianlah berita yang beredar di banyak media massa.

Jika ini benar terjadi, maka patut dipertanyakan. Bukankah selama ini rezim sekuler sangat keras dan sering menggemborkan keharusan pemisahan tegas antara agama dengan politik. “Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik,” kata Jokowi dalam pidatonya beberapa waktu yang lalu.

Dan, memang begitulah prinsip dasar ideologi sekular: Memisahkan agama dari urusan politik. Agama boleh ada, tetapi tidak boleh keluar dari wilayah privat, seperti ibadah, keluarga, moral, dan semacamnya. Agama tidak boleh ikut mengatur wilayah publik, termasuk urusan politik dan negara. Siapa pun yang mencoba melakukannya, akan harus bersiap menghadapi tuduhan dan stigma negatif, seperti radikal, intoleran, mempolitisasi agama, dan lain-lain.

Jika demikian prinsip dasar yang dianut negara ini, mengapa kali ini Bawaslu justru melanggarnya? Bukankah, ikut campur dalam pembuatan materi khutbah Jumat adalah bentuk intervensi politik ke dalam wilayah agama?
Jika selama ini agama tidak boleh mengatur urusan politik, mengapa Bawaslu justru mau mengatur urusan agama dengan alasan politik. Tindakan ini tidak saja dapat mereduksi Islam, namun lebih dari itu, merusak Islam.

Mengapa demikian?

Islam adalah din kamil syamil (agama yang sempurna dan menyeluruh). Diturunkan Allah Swt untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Termasuk dalam urusan politik dan negara. Allah Swt berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS al-Nahl [16]: 89).
Menjelaskan ayat ini, Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh Allah Swt telah menjelaskan kepada kita dalam al-Quran semua ilmu dan segala sesuatu.”

Ibnu Katsir juga mengukuhkan penjelasan Ibnu Mas’ud ini. Menurutnya, al-Quran mecakup semua ilmu yang bermanfaat, berupa berita tentang perkara yang telah terjadi dan yang akan terjadi, semua yang halal dan yang haram, semua yang diperlukan oleh manusia, urusan dunia, agama, kehidupan, dan tempat kembali mereka (akhirat).

Maka, prinsip sekularisme yang membatasi Islam hanya untuk mengatur kehidupan privat dan menolaknya untuk mengatur urusan politik dan kehidupan lainnya merupakan tindakan mereduksi ajaran Islam. Padahal, Allah Swt telah memerintahkan umat Islam untuk menjalankan Islam secara kaffah (keseluruhan) sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (QS al-Baqarah [2]: 208).

Menjelaskan ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya berkata, “Kerjakanlah syariah Islam secara keseluruhan, wahai orang-orang Mukmin! Dan masuklah kalian dalam membenarkannya, baik dengan ucapan maupun perbuatan, dan tinggalkanlah jalan-jalan syetan beserta jejak-jejaknya. Sebab, syetan adalah musuh yang nyata bagi kalian.”

Dengan demikian pemisahan Islam dari politik adalah prinsip yang membonsai dan mereduksi Islam.
Lebih parah lagi ketika Islam tidak hanya ditolak untuk urusan politik, namun harus tunduk kepada kepentingan politik.

Coba pehatikan materi khutbah yang diberitakan sedang disusun oleh Bawaslu. Di antara materinya adalah tentang politisasi SARA. Kita sudah bisa membayangkan arah materi tersebut. Menjadi semakin jelas arahnya ketika diterangkan bahwa materi itu perlu disampaikan agar kejadian Pilkada DKI tidak terulang lagi.
Kita tahu bahwa dalam Pilkada DKI yang lalu ada tema besar yang mengemuka, yakni haramnya pemimpin kafir.
Jika dikembalikan kepada Islam, sesungguhnya tema itu bukanlah tema yang bermasalah. Sebab, itu adalah hukum syara’ yang didasarkan pada dalil yang amat banyak, kuat, dan jelas; sehingga, para ulama mu’tabar tidak berbeda tentang hal ini. Ibnu Hazm al-Andalusi dalam Marâtib al-Ijmâ’, misalnya, mengatakan:

ﻭﺍﺗَّﻔَﻘُﻮﺍ ﺃﻥ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻻ ﺗَﺠُﻮﺯ ﻻﻣﺮﺃﺓٍ، ﻭﻻ ﻟﻜﺎﻓﺮٍ، ﻭﻻ ﻟﺼﺒِﻲٍّ ﻟﻢ ﻳَﺒﻠُﻎ، ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳُﻌْﻘَﺪ ﻟﻤَﺠﻨﻮ

Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada perempuan, nonmuslim, anak kecil yang belum baligh (dewasa), dan juga tidak boleh diserahkan kepada orang gila ”.

Oleh karena itu, jika tema itu dijadikan sebagai materi, khutbah itu semestinya tidak boleh dianggap masalah dan dipermasalahkan. Sebab, khutbah Jumat adalah forum untuk menyampaikan pesan dan pelajaran dari ajaran Islam. Selama yang disampaikan beraal dari ajaran, semestinya tidak boleh dipermasalahkan.

Demikian juga tema tentang hukum haramnya pemimpin kafir. Itu adalah ajaran Islam. Maka, melarang menyampaikan tema tersebut berarti telah membonsai dan mereduksi Islam. Apalagi itu merupakan tema yang sangat penting karena menyangkut kehidupan dan nasib kaum Muslimin.

Karena itu adalash ajaran Islam, maka menuduhnya sebagai politisasai SARA dan intoleran sama halnya dengan menghina dan merendahkan Islam. Inilah ujaran kebencian yang patut dipermasalahkan!

Persoalannya menjadi lebih parah ketika dengan alasan untuk menjaga ketenangan dan ketenteraman, lalu dalam khutbah Jumat mengubah ketentuan hukum syara’ tersebut. Misalnya, mengatakan halal atau mubah mengangkat pemimpin kafir. Jika itu yang disampaikan, justru ini yang bermasalah dan wajib dipermasalahkan. Karena itu jelas-jelas bertentangan dengan nash yang qath’i. Inilah tindakan mempolitisasi agama yang harus dicela karena telah menjadikan agama untuk kepentingan politik belaka.

Ingatlah, materi utama dalam khutbah adalah perintah bertakwa. Bahkan dalam Madzhab Syafi’i, wasiat taqwa merupakan salah satu rukun dalam khutbah Jumat.

Sebagaiman kita ketahui, takwa adalah menjalankan semua perintah Allah Swt dan meninggalkan semua larangan-Nya atas dasar keimanan dan untuk mendapatkan ridha-Nya. Sehingga pesan penting dalam khutbah adalah mengajak seluruh jamaah untuk taat, tunduk, dan patuh terhadap syariah-Nya. Menjadi hamba Allah Swt yang bersikap: Sami’na wa atha’na terhadap seluruh ketetentuan-Nya. Bukan sebaliknya, sami’na wa ashaina (kami mendengar dan kami mendurhakainya), seperti sikap orang-orang Yahudi.

Saya perlu mengingatkan ancaman Rasulullah saw terhadap orang-orang yang menjadikan al-Quran sebagai makmum. Artinya, ketentuan al-Quran harus tunduk mengikuti kemauan hawa nafsunya. Beliau bersabda:

ﻣَﻦْ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺍَﻥَ ﺍَﻣَﺎﻣَﻪُ ﻗَﺎﺩَﻩُ ﺍِﻟﻲَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻭَﻣَﻦْ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺍَﻥَ خَلْفَ ظَهْرِهِ ساﻗَﻪُ ﺍِلىَ النَّارِ

Barangsiapa yang menjadikan al-Quran di depannya (sebagai imamnya), maka akan membimbingnya ke dalam surga. Dan sebaliknya, barangsiapa yang menjadikan al-Quran di belakang pudaknya, maka akan menggiringnya ke dalam neraka (HR Ibnu Hibban).

Semoga termasuk orang-orang yang menjadikan al-Quran sebagai imam, sebagai pedoman dalam hidup kita. Bukan sebaliknya, orang-orang yang lancang dan berani mengubah ketentuan al-Quran hanya untuk mengikuti kemauan hawa nafsunya. WaL-lah a’lam bi al-shawab.[]

Share artikel ini: