Memimpin Untuk Melayani
Oleh: Dede Wahyudin (Tabayyun Center)
Pada dasarnya, kepemimpinan di dalam Islam merupakan jabatan yang berfungsi untuk pengaturan urusan rakyat. Seorang pemimpin adalah pengatur bagi urusan rakyatnya dengan aturan-aturan Allah SWT. Selama pengaturan urusan rakyat tersebut berjalan sesuai dengan aturan Allah, maka ia layak memegang jabatan pemimpin. Sebaliknya, jika ia telah berkhianat dan mengatur urusan rakyat dengan aturan kufur, maka pemimpin semacam ini tidak wajib untuk ditaati.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan, “Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun, pernah aku mendengarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw. Yang bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah.” Para sahabat bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.” [HR. Imam Muslim]
Tatkala menjelaskan hadits yang berbunyi, “Imam adalah penjaga, dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya”, Imam Badrudin al-Aini, menyatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa urusan dan kepentingan rakyat menjadi tanggung jawab seorang Imam (Khalifah). Tugas seorang Imam dalam hal ini adalah memikul urusan rakyat dengan memenuhi semua hak mereka.” (Imam Badruddin Al-Aini, Umdah al-Qari, Syarh Shahih al-Bukhari, jld. XXIV, hal. 221.)
Walhasil, seorang pemimpin harus selalu menyadari bahwa kekuasaan yang digenggamnya tidak boleh diperuntukkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, misalnya untuk memperkaya diri, mendzalimi, maupun untuk mengkhianati rakyatnya. Namun, kekuasaan itu ia gunakan untuk mengatur urusan rakyat sesuai dengan aturan-aturan Allah SWT.
Kepemimpinan di dalam Islam bersifat manusiawi. Artinya, seorang pemimpin bukanlah orang yang bebas dari dosa dan kesalahan. Ia bisa salah dan lupa, alias tidak ma’shum (terbebas dari dosa). Untuk itu, syarat kepemimpinan di dalam Islam bukanlah kema’shuman akan tetapi keadilan. Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak harus ma’shum (bahkan tidak boleh meyakini ada pemimpin yang ma’shum), akan tetapi cukup memiliki sifat adil.
Adil adalah orang yang terkenal konsisten dalam menjalankan agamanya (bertaqwa dan menjaga kehormatan). Orang yang fasiq —lawan dari sifat adil—tidak boleh menjadi seorang pemimpin atau penguasa. Allah SWT berfirman:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Hendaknya menjadi saksi dua orang yang adil dari kamu sekalian.” (TQS. ath-Thalaq [65]: 2).
Seorang penguasa (Khalifah) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan para saksi. Jika saksi saja diharuskan memiliki sifat adil, lebih-lebih lagi seorang pemimpin (Khalifah). Walhasil, seorang pemimpin harus memiliki sifat adil, dan tidak harus ma’shum.
Inilah kaedah penting yang perlu diperhatikan oleh setiap pemimpin dan penguasa. Siapa saja yang memperhatikan kaedah-kaedah ini, ia akan menjadi seorang pemimpin yang berhasil dan dicintai oleh orang-orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, siapa saja yang mengabaikan kaedah-kaedah ini, dirinya tidak akan mungkin berhasil menjadi pemimpin berwibawa yang dicintai dan dipatuhi rakyatnya.[]