Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi (TQS al-Fath [48]: 28).
Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang kebenaran mimpi Rasulullah SAW. Dalam mimpinya, beliau melihat kaum Muslimin bisa memasuki Masjid Haram dengan aman dan mengerjakan umrah hingga tuntas tanpa takut gangguan dari para musuh. Mimpi itu belum terealisasi ketika Rasulullah SAW dan kaum Muslimin menunaikan umrah pada tahun Hudaibiyyah. Sejarah membuktikan, pada tahun depannya, mimpi Rasulullah SAW menjadi kenyataan.
Kemudian ayat ini memberikan kabar gembira kepada orang-orang Mukmin dengan pertolongan terhadap Rasulullah SAW ata musuh-musuhnya dan seluruh penduduk muka bumi.
Membawa Petunjuk dan Agama
Allah SWT berfirman: Huwa al-ladzî arsala Rasûlahu bi al-hudâ wa dîn al-haqq (Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar). Dalam ayat diberitakan bahwa Dialah, Allah SWT yang mengutus rasul-Nya. Kata rasûlahu (Rasul-Nya) yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW. Beliau diutus dengan membawa al-hudâ (petunjuk) dan dîn al-haqq (agama yang benar).
Secara bahasa, al-hudâ berarti al-rasyâd wa al-dalâlah (penjelasan dan petunjuk). Menurut Abdurrahman al-Sa’di, itu adalah ilmu yang bermanfaat, menunjukkan dari kesesatan, dan menjelaskan jalan kebaikan dan keburukan. Sedangkan menurut al-Alusi, al-hudâ adalah dalil yang jelas dan hujjah yang terang atau Alquran. Petunjuk dari Allah SWT itulah yang sebenar-benar petunjuk. Bahkan satu-satunya petunjuk yang benar (lihat QS al-Baqarah [2]: 120).
Sedangkan yang dimakasud dengan dîn al-haqq (agama yang benar) adalah agama Islam. Itulah agama yang diridhai Allah SWT setelah Rasulullah SAW diutus (lihat QS Al Imran [3]: 19). Orang-orang ahli kitab juga disebut Alquran sebagai orang yang tidak beragama dengan agama yang benar (lihat QS al-Taubah [9]: 29).
Dua perkara itulah –yakni petunjuk dan Islam—yang diberikan kepada Rasulullah sebagai utusan-Nya untuk diserukan kepada seluruh manusia, tanpa terkecuali. Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Dialah yang mengutus Rasul-Nya Muhamad SAW dengan membawa keterangan yang jelas dan agama yang benar, yakni Islam. Dialah yang mengutusnya beliau sebagai penyeru makhluk-Nya kepada-Nya.”
Mengalahkan Semua Agama
Kemudian Allah SWT berfirman: Liyuzh-hirahu ‘alâ al-dîn kullihi (agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama).
Secara bahasa, kata al-zhuhr berarti salah satu anggota badan manusia. Tepatnya, punggung. Namun kata itu digunakan untuk berbagai makna. Di antaranya, kata zhahara ‘alayhi bermakna ghalabahu (mengalahkannya).
Sedangkan makna alâ al-dîni kullihi adalah dengan memberikan kekuasaan kepada kaum Muslimin atas semua pemeluk agama. Kalimat al-dîn kullihi di sini bersifat umum, mencakup seluruh agama selain Islam. Ibnu Kastir berkata, “al-dîni kullihi berarti atas pemeluk seluruh agama di muka bumi, baik Arab maupun non Arab, ahli millah atau musyrik.”
Al-Zamakhsyari juga berkata, “Yang dimaksud dengan al-dîni kullihi adalah semua jenis agama dari berbagai agama yang bermacam-macam, baik agama kaum musyrikin maupun orang-orang yang ingkar dari kalangan ahli kitab. Sungguh, Allah SWT merealisasikan itu. Maka, sesungguhnya engkau tidak akan melihat satu pun agama, kecuali bagi Islam kejayaan dan kemenangan atas agama selainnya.”
Menerangkan ayat ini, Imam al-Qurthubi berkata, “Dia meninggikan agama-Nya atas seluruh agama.” Mufassir tersebut menyebutkan bahwa ada yang berpendapat, “Agar Dia memenangkan Rasul-Nya atas semua agama. Yakni, atas agama yang telah disyariatkan-Nya dengan hujjah. Kemudian dengan tangan dan pedang, dan menasakh (menghapus berlakunya) semua agama yang lainnya.
Apabila dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka ayat ini merupakan penjelasan dan penegasan terhadap kebenaran mimpi Rasulullah SAW. Sebelumnya, Rasulullah SAW bermimpi bahwa umat Islam dapat masuk Makkah dan Masjid Haram serta menunaikan umrah hingga tuntas dengan aman dan tidak takut ancaman musuh. Beliau pun menceritakan mimpi tersebut kepada kaum Muslimin. Akan tetapi, setelah beliau bersama kaum Muslim pergi Makkah pada tahun itu, mereka dihalangi kaum kafir Quraisy sehingga tidak bisa masuk Tanah Haram. Kemudian terjadi Perjanjian Huadibiyyah yang di antara isinya Rasulullah SAW dan kaum Muslim harus pulang kembali tanpa diizinkan masuk Makkah pada tahun itu. Mereka baru bisa diperkenankan pada tahun berikutnya. Sebagian di antara mereka pun ada yang kecewa.
Kekecewaan mereka terobati ketika mendapatkan penjelasan Rasulullah SAW bahwa mimpi beliau itu tidak berarti harus terjadi pada tahun itu. Kemudian Allah SWT pun memastikan kebenaran mimpi tersebut dan peristiwa akan terjadi. Ini diberitakan dalam ayat sebelumnya: Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (TQS al-Fath [48]: 27). Juga firman-Nya dalam ayat ini: Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Dalam ayat ini bahkan bukan sekadar bisa masuk Makkah, Masjid Haram, dan menunaikan ibadah umrah, namun jauh lebih besar dari itu. Tentang ayat ini, al-Khazin berkata, “Di dalamnya terdapat penjelasan terjadinya al-fat-h (kemenangan, penaklukan) dan memasuki Makkah.”
Peristiwa yang diberitakan dalam ayat ini, yang kalahnya seluruh agama yang ada di muka bumi ini belum terjadi pada zaman Nabi SAW sebagaimana janji Allah SWT dalam ayat sebelumnya. Masuknya kaum Muslimin di Makkah, Masjid Haram, dan menunaikan umrah secara damai dan tidak takut ancaman benar-benar terjadi pada tahun sesudahnya.
Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, keadaan tersebut benar-benar terjadi setelah turunnya Isa bin Maryam yang membunuh Dajjal. Mufassir tersebut berkata, “Agar Dia dengan Islam membatalkan semua agama lainnya; hingga tidak ada agama selain Islam. Itu terus terjadi hingga Isa bin Maryam turun dan membunuh Dajjal. Ketika itu, batallah seluruh agama selain agama Allah SWT yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW; dan Dia memenangkan Islam atas semua agama.”
Kemudian ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Wakafâ biL-lâh syahîd[an] (dan cukuplah Allah sebagai saksi). Menurut al-Qurthubi, huruf al-bâ` pada frasa biL-lâh merupakan zâidah (tambahan). Sehingga, ayat ini bermakna: Kafâ biL-lâh syahîd[an] (cukuplah Allah SWT menjadi saksi). Menurut mufassir tersebut, perkara yang Allah SWT menjadi saksi adalah kenabian Rasulullah SAW. Ibnu Katsir juga berkata, “Bahwa beliau adalah utusan-Nya, dan Dia adalah penolongnya.” Tak jauh berbeda, Imam al-Qurthubi juga berkata, “Cukuplah Allah sebagai saksi terhadap Nabi-Nya SAW, dan kesaksian-Nya kepada beliau adalah menerangkan kebenaran kenabiannya dengan mukjizat.”
Ada pula yang mengatakan bahwa perkara yang Allah SWT menjadi saksi-Nya adalah kemenangan yang dijanjikan-Nya. Al-Syaukani berkata, “Cukuplah bagi Allah SWT sebagai saksi atau kemenangan yang dijanjikan kepada kaum Muslimin dan kebenaran nubuwwah Nabi SAW.”
Mengenai makna ayat ini secara keseluruhan, Ibnu Jarir berkata, “Ini adalah pemberitahuan dari Allah SWT kepada Nabi-Nya SAW dan sebagian sahabatnya yang tidak menyukai Perjanjian Hudaibiyyah bahwa Allah SWT akan menaklukkan Makkah dan negeri-negeri lain untuk menghibur mereka dari kesusahan dan kesedihan yang mereka alami karena meninggalkan Makkah sebelum mereka memasukinya dan thawaf di Baitullah.”
Demikianlah. Ayat ini memberitakan bahwa Dialah Allah SWT yang mengutus Rasulullah SWT dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Dia pula yang akan memenangkan Islam semua agama tanpa kecuali. Ini adalah berita dan janji Allah SWT. WaL-lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
- Allah SWT adalah yang mengutus Rasulullah SAW dengan membawa petunjuk dan agama yang benar.
- Islam adalah agama yang benar
- Allah SWT akan memenangkan Islam atas seluruh agama sehingga tidak ada agama kecuali Islam
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 211