Membongkar Rencana Internasional Merupakan Kewajiban Syariah

Menyikapi berbagai rencana internasional harus menjadi perhatian utama para pemimpin politik sejati yang diberi wewenang mengurusi urusan-urusan negara dan rakyat. Sehingga aktivitas para politisi itu tidaklah bernilai apa-apa, jika mereka tidak membongkar rencana-rencana negara musuhnya;  dan tidak ada masa depan bagi negaranya, jika mereka tidak membongkar perkatara terpenting dan harus ini.

Islam mewajibkan kaum Muslim untuk melakukan aktivitas politik terkait dengan masalah ini. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman:  “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (TQS An-Nisā’ [4] : 83).

Sementara masalah keamanan dan ketakutan itu terkait erat dengan konflik yang berlangsung antara kaum Muslim dan para musuhnya, juga terkait dengan kebutuhan untuk mengalahkan mereka, serta menghindari kegagalan dan kekalahan. Semua ini perlu dirancang, dipikirkan dan dianalisis, artinya membutuhkan kemampuan khusus yang digunakan untuk kepentingan negara dan rakyat. Imam ath-Thabari rahimahullah berkata dalam menafsiri ayat “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)” adalah orang-orang yang mencari dan menyelidikiti berita. Mereka disebut dengan orang-orang yang memiliki kecakapan agama dan akal pikiran.

Islam telah menetapkan sudut pandang tertentu yang digunakan untuk melihat dunia. Sudut pandang itu adalah akidah Islam. Begitu juga, Islam telah menetapkan sejumlah sudut pandang aktivitas yang menyangkut identifikasi musuh utama, bagaimana menghadapinya, dan cara mengalahkannya.

Sudut pandang kami adalah akidah, ideologi dan penyebaran Islam. Sedang sudut pandang lainnya, seperti nasionalisme atau patriotisme, hanyalah kemunduran politik, dan hanya mengarah pada penyerahan diri kepada kekuatan kolonial besar, seperti halnya yang terjadi saat ini di dunia Islam

Karena pandangan ideologis adalah pandangan global yang didasarkan pada landasan pemikiran politik Islam yang kokoh dan kuat, maka mencermati rencana-rencana internasional dan membongkarnya merupakan suatu keharusan bagi mereka yang mengemban akidah ini, serta mereka yang ingin mengemban dakwan Islam ke seluruh dunia. Mengingat, jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya juga wajib.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memberi kita contoh politik terbaik dalam membongkar rencana dan persekongkolan internasional, serta mencegah dan menggagalkannya. Misalnya, ketika datang berita tentang rencana kaum Quraisy untuk bersekutu dengan orang-orang Yahudi Khaibar guna menyerang Madinah dan melenyapkan Islam, maka beliau segera memulai tindakan politik, di mana pertama-tama beliau lakukan adalah memastikan berita tersebut melalui para mata-mata dan intelijen militer. Kemudian beliau membuat rencana politik dalam menghadapi rencana kaum Quraisy dan menggagalkannya. Beliau mengambil kebijakan perdamaian dan negosiasi dengan kaum Quraisy sebagai target politik sementara, dan beliau menerima ketentuan-ketentuan kaum Quraisy meskipun terkesan tidak adil, dan ditentang para sahabat senior. Beliau bersama kaum Quraisy menandatangani perjanjian Hudaybiyah, sehingga kemudian itu menjadi pintu kemenangan yang nyata, dan mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menghancurkan persekutuan Quraisy-Khaibar, serta memecah aliansi mereka. Hal itu dilakukan dengan memisahkan dua kekuatan besar yang saling mendukung. Dari sini, yang kemudian dilakukan pertama adalah mengisolasi Khaibar dan menghancurkannya, serta melemahkan kaum Quraisy dan mengisolasinya, sebagai pintu masuk serta persiapan untuk melenyapkannya.

Saat ini pun, negara-negara besar—seperti halnya rutinitas setiap waktu—tidak pernah berhenti atau sepi dari membuat rencana yang melemahkan lawan-lawannya, mempertahankan kepentingannya, memperluas pengaruhnya, dan meneruskan agendanya melalui sekutu, antek dan bonekanya. Misalnya, penarikan Amerika yang terkesan mendadak dari Suriah, adalah rencana politik yang dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan, di antaranya:

1 – Menancapkan pilar rezim Bashar al-Assad, dan kemudian penyerahan sejumlah daerah penghasil minyak dan gas di sebelah timur Eufrat agar dapat memperoleh dana yang diperlukan supaya negaranya berdiri di atas kakinya, sehingga Amerika melakukan pengeluaran minimum untuk kebutuhan pentingnya, seolah-olah Amerika yang mengambil kendali atas kekayaan Eufrat Timur, dan mengusir pasukan oposisi, maka dengannya Amerika bisa bertahan sebentar sampai rezim menguat, dan kemudian Amerika menyerahkan kembali kepadanya.

2 – Menempatkan wilayah utara Suriah di bawah kendali Turki agar terus memainkan peran sebagai perwira dan mengontrol faksi-faksi oposisi, dan mencegah mereka dari menyerang pasukan rezim, serta menjaga mereka di penjara besar di bawah kendali Turki, dan kadang-kadang mengancamnya dengan pasukan Rusia, serta memaksa mereka untuk mematuhi perjanjian yang dibuat antara negara-negara (penjamin), yaitu Rusia, Turki dan Iran, juga mengintimidasi mereka agar tidak keluar dari perjanjian itu.

3 – Menggunakan isu Kurdi dan ISIS sebagai taktik politik yang akan digunakan ketika diperlukan untuk menancapkan visinya, memanipulasi anteknya, dan mengangkat dirinya sebagai penguasa atas para pemain lokal dan internasional di Suriah.

4 – Melemahkan peran yang dimainkan oleh Perancis dan Inggris setelah penarikannya.

5 – Menggunakan isu oposisi Suriah yang berada di ketiak Turki dalam sejumlah negosiasi masa depan guna menuntut pengusiran Rusia dari Suriah, dan pembubaran sebagian besar pangkalannya.

6 – Mendukung Iran dan milisinya untuk terus memberikan bantuan yang diperlukan kepada rezim Bashar, dan untuk meminimalkan peran entitas Yahudi di Suriah.

Inilah tujuan terpenting Amerika di Suriah, berdasarkan keputusan Trump untuk menarik pasukan Amerika dari Suriah dalam beberapa bulan mendatang. Tujuan-tujuan ini tidak akan tercapai tanpa kerja sama Rusia, Iran, Turki dan Arab Saudi dengan Amerika. Amerika tidak memiliki kekuatan di luar perbatasannya, kecuali dari kekuatan para antek dan sekutunya.

Negara-negara ini telah bersekongkol melawan para pejuang revolusi, dan membeli banyak pengkhianat pemimpinnya, yang pada gilirannya, mereka menyerahkan daerah-daerah yang dibebaskan kepada rezim di atas sepiring emas. Sebenarnya, rezim itu tidak memiliki kekuatan apapun, juga para pendukungnya dari Rusia dan Iran tidak dapat memperluas pengaruh sang tiran Bashar al-Assad ke wilayah-wilayah yang dibebaskan kecuali melalui kerjasama para pemimpin faksi-faksi yang menjual perjuangan kaum revolusioner dengan murah. Jadi, yang sangat membantu rezim bukanlah Rusia, Iran atau milisi-milisinya, melainkan para pemimpin faksi yang menerima menjadi alat murah di tangan Arab Saudi, Turki, Yordania dan lainnya.

Oleh karena itu, perlu bagi mereka yang menginginkan perubahan untuk mengadopsi proyek besar Islam dengan jelas, juga harus memutus semua hubungan para pejuang revolusi dengan Turki dan Arab Saudi, serta negara-negara tetangga yang berkonspirasi melawan para pejuang revolusi dalam memerangi rezim tiran Bashar. Bahkan mereka sama sekali tidak boleh mundur dari dasar-dasar perubahan yang sebenarnya, dan yang terpenting adalah rencana para pejuang revolusi untuk menumbangkan rezim dengan semua pilar-pilarnya, serta semua institusi dan simbol-simbolnya, yang kemudian mendirikan negara Islam di atas puing-puing reruntuhannya. [Abu Hamzah al-Khatwani]

Sumber: alraiah.net, 6/2/2019.

Share artikel ini: