Membongkar Kengawuran Penggunaan Kaidah “Ma La Yatimmu Al-Wajib illa bihi Fahuwa Wajib” untuk Melegalisasi Industri Miras

 Membongkar Kengawuran Penggunaan Kaidah “Ma La Yatimmu Al-Wajib illa bihi Fahuwa Wajib” untuk Melegalisasi Industri Miras

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

A. Pengantar

Islam dengan tegas telah mengharamkan minuman keras (khamr). Sebagaimana dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ۝ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ﴾ 

“Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undian adalah perbuatan kotor dari perbuatan syaitan. Karena itu, jauhilah supaya kamu bahagia. Syaitan itu hanya bermaksud untuk menciptakan permusuhan dan kebencian di antara kamu, disebabkan oleh khamr dan judi, serta menghalangi kamu ingat kepada Allah dan sembahyang. Apakah kamu tidak mau berhenti?” [Q.s. al-Maidah: 90-91]

Larangan di atas begitu tegas, dan kuat. Karena itu, Allah mengaitkan keharamannya dengan keharaman judi, mengundi nasib, dan berhala. Tidak sampai di situ, Allah dengan tegas menyebutnya, “Najis” dan merupakan “Perbuatan Syaitan”. Menunjukkan, bahwa ini bukan merupakan najis biasa, tetapi najis yang membahayakan kehidupan manusia. Karena itu, perintahnya tegas, “Jauhilah” supaya “Kamu bahagia”. Artinya, “Jika kamu tidak menjauhinya”, maka “kamu tidak akan pernah tenteram dan bahagia”.

Bahkan, Allah menegaskan, “Syaitan itu hanya bermaksud untuk menciptakan permusuhan dan kebencian di antara kamu, disebabkan oleh khamr dan judi” Penjelasan ini untuk menguatkan pesan di balik larangan tersebut, yaitu dampak buruk dari khamr dan judi, berupa permusuhan dan kebencian antara sesama.

Tidak sampai di situ, Nabi bahkan menyebut khamr sebagai induk segala kejahatan dan tindakan kriminal:

اَلْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ  فَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ تُقْبَلْ صَلاَتُهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، فَإِنْ مَاتَ وَهِيَ فِي بَطْنِهِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً [رواه الطبراني في المعجم الأوسط]

“Khamr adalah induk kejahatan, maka siapa saja yang meminumnya, shalatnya tidak akan diterima selama 40 hari. Jika dia mati di perutnya ada khamr, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [Hr. At-Thabrani]

Begitu kerasnya keharaman khamr ini, sampai Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat, bukan hanya peminumnya, tetapi sepuluh pihak yang terkait:

لَعَنَ اللهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقَيْهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا  وَالمَحْمُوْلَةَ إِلَيْهِ وَآكِلَ ثَمَنَها [صححه الألباني في صحيح الجامع، رقم: 5091]

 “Allah melaknat terhadap khamr, dan peminumnya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memerasnya, yang meminta diperaskan, yang membawa, yang minta dibawakan kepadanya, dan yang memakan harganya.” [Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Jami’ as-Shahih, no 5091]

 Dalam riwayat lain dinyatakan:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالمَحْمُوْلَةَ إِلَيْهِ وَسَاقَيْهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالمُشْتَرِيَ لَهَا وَالمُشْتَرَاةَ لَهُ [رواه الترمذي من حديث أنس]

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat terhadap khamr ini sepuluh golongan orang: (1) yang memerasnya; (2) yang minta diperaskan; (3) yang meminumnya; (4) yang membawanya; (5) yang minta dihantarkannya; (6) yang menuangkannya; (7) yang menjualnya; (8) yang memakan harganya; (9) yang membelinya; (10) yang minta dibelikannya.” [Hr. Tarmizi dari Anas]

Inilah ketentuan hukum tentang kekharaman khamr. Jelas sekali, khamr haram bukan hanya bagi yang meminumnya, tetapi juga yang memeras anggur sehingga menjadi khamer. Juga orang yang minta diperaskan, ini untuk produsen khamr. Orang yang meminumnya (konsumen). Orang yang membawanya, mulai dari ekspedisi, sopir hingga pramusaji. Orang yang minta dihantarkannya (pemesan), bisa untuk dirinya sendiri, maupun orang lain. Orang yang menuangkannya, termasuk bar tender hingga pramusaji.  Penjualnya, baik distributor, pendagang eceran hingga kaki lima. Orang yang memakan harganya, bisa retribusi, pajak hingga hasil investasinya. Orang yang membelinya, dan yang minta dibelikan.[1]

B. Memperkosa Kaidah Ushul

Sayangnya, meski begitu jelas keharaman khamr di dalam nash-nash syariat yang telah dijelaskan di atas, tetapi ada orang yang sanggup menjual agamanya, dengan memperkosa kaidah ushul fiqih untuk melegalkan induk kejahatan ini. Di antaranya adalah:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Suatu kewajiban itu tidak akan bisa diwujudkan dengan sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun menjadi wajib.” [2]

Ada yang menyatakan, Investasi miras itu sesuai dengan ushul fiqih, “Ma La Yatimmu al-Wajib illa bihi Fahuwa Wajib” (suatu unsur yang mengantarkan pada kewajiban adalah wajib). Maksudnya, menegakkan kemaslahatan adalah kewajiban. Namun kemaslahatan hanya bisa tegak, jika ada penegakan tertib sosial. Karena itu, tertib sosial menjadi sesuatu yang wajib ditegakkan,”

Kesalahan logikanya sebenarnya mudah dipatahkan. Jika “Menegakkan kemaslahatan adalah kewajiban.” Mengapa kemaslahatan itu justru ditegakkan dengan menghalalkan khamr yang jelas merusak? Karena, “tertib sosial” yang ditegakkan di sini adalah menghalalkan produksi, distribusi dan konsumsi khamr yang jelas haram, dan merusak. Bahkan, wilayah Papua sendiri yang diklaim sebagai tempat diizinkannya pendirian pabrik untuk meproduksi, distribusi dan konsumsi khamer saja menolak keras Perpres ini. Dari penarikan kesimpulannya sendiri sudah paradoks. Coba renungkan, di mana logikanya, menegakkan kemasalhatan dengan cara merusak?

Mengenai bagaimana kaidah ushul ini digunakan, harus didudukkan dengan tepat. “Suatu kewajiban itu tidak akan bisa diwujudkan dengan sempurna, kecuali dengan sesuatu.” itu ada dua kategori: Pertama, kewajibannya disyaratkan dengan sesuatu tadi. Kedua, kewajiban yang tidak disyaratkan dengan sesuatu, atau kewajiban tersebut bersifat mutlak.

Mengenai kewajiban yang pertama, ketika kewajibannya disyaratkan dengan sesuatu, maka tidak ada perbedaan pendapat, bahwa diwujudkannya syarat itu bukan merupakan kewajiban. Tetapi, syarat itu wajib, karena adanya dalil yang menyatakan kewajibannya. Contoh, shalat hukumnya wajib. Untuk bisa menunaikan kewajiban shalat, disyaratkan harus suci. Jika shalat ditunaikan dalam keadaan tidak suci, maka shalatnya tidak sah. Tetapi, wajibnya bersuci tidak ditarik dari dalil wajibnya shalat, tetapi karena suci dinyatakan wajib oleh dalil lain, yaitu dalil wajibnya bersuci.[3]

Allah berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ﴾

 “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak menunaikan shalat, maka basuhlah wajah kalian, dan tangan kalian hingga ke siku-siku. Usaplah kepala kalian, dan [basuhlah] kaki kalian hingga ke mata kaki.” [Q.S. al-Maidah: 6]

Ini adalah dalil yang menetapkan kewajiban bersuci, yaitu wudhu sebelum shalat. Wudhu sebagai syarat wajibnya shalat dinyatakan oleh nash, yaitu Q.s. al-Maidah: 6, bukan oleh konsekuensi hukum [dalâlah iltizâm] wajibnya shalat, yang tidak bisa ditunaikan, kecuali dalam keadaan suci, sehingga status wudhu ini menjadi wajib. Karena itu, kaidah, “Ma La Yatimmu al-Wajibu Illa bihi Fahuwa Wajib” tidak bisa digunakan dalam konteks ini.

Kedua, kewajiban yang tidak disyaratkan dengan sesuatu, atau kewajiban tersebut bersifat mutlak. Dalam konteks ini, syarat yang dibutuhkan agar kewajiban yang dinyatakan secara mutlak itu bisa ditunaikan dengan sempurna, menjadi bagian dari hukum kewajiban tersebut.

Misalnya, kewajiban membasuh muka, tangan dan kaki saat berwudhu, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:

﴿فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ﴾

“Basuhlah wajah kalian, dan tangan kalian hingga ke siku-siku. Usaplah kepala kalian, dan [basuhlah] kaki kalian hingga ke mata kaki.” [Q.s. al-Maidah: 6]

Kewajiban tersebut tidak bisa dilakukan dengan sempurna, kecuali dengan melebihkan bagian muka hingga kepala saat membasuh wajah; lengan di atas siku, saat membasuh tangan sampai siku; dan betis di atas mata kaki, saat membasuh kaki, maka bagian-bagian tadi juga menjadi wajib dibasuh. Dalam konteks inilah, kaidah:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Suatu kewajiban itu tidak akan bisa diwujudkan dengan sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun menjadi wajib.” [4]

ini bisa diterapkan. Mengapa? Karena konteks penerapan kaidah ini adalah bagian dari dalâlatu al-iltizâm [konsekuensi hukum].[5] Karena itu, Imam al-Isnawi [w. 772 H] menyatakan:

[لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ]: قَالَ الرَّابِعَةُ: وُجُوْبُ الشَّيْءِ مُطْلَقًا يُوْجِبُ وُجُوْبَ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ، وَكَانَ مَقْدُوْرًا.

“[Kewajiban itu tidak akan bisa diwujudkan dengan sempurna, kecuali dengan sesuatu]: Berkata [Imam al-Baidhawi], yang keempat: Wajibnya sesuatu secara mutlak [tidak disertai syarat] itu meniscayakan wajibnya, “Sesuatu yang bisa menyempurnakan kewajiban”, dan ia bisa diwujudkan.” [6]

Begitulah, semua perkara yang menjadikan sebuah kewajiban itu hanya bisa sempurna dengannya, dan ia bukan merupakan syarat bagi kewajiban itu, maka statusnya menjadi wajib. Ini semuanya terkait dengan perkara yang bisa dilakukan [maqdûr li al-mukallaf].[7]

Dengan kata lain, kaidah ushul ini bisa digunakan dalam konteks dalâlatu al-iltizâm. Dalam konteks, kemaslahatan, yang dikatakan wajib diwujudkan, maka kemaslahatan itu harus dinyatakan oleh dalil, yang bersifat mutlak, baru kalau ia tidak bisa diwujudkan, kecuali dengan mengharuskan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib. Jika tidak ada dalil yang menyatakannya, maka tidak bisa ditarik dalâlatu al-iltizâm-nya.

Di sisi lain, kalau pun konteks kewajiban itu terkait dengan adanya aturan, masalahnya apakah aturan itu menyalahi syariat atau tidak? Jika menyalahi syariat, maka dengan sendirinya bertentangan dengan kaidah, “Ma La Yatimmu al-Wajib ill bih Fahuwa Wajib”.

 

C. Status Hukum Industri dan Investasi Miras 

Mengenai status hukum industri miras, sebagaimana hadits yang telah dinyatakan di atas sudah jelas, hukumnya haram. Dalam konteks ini, bisa dijelaskan dari tiga aspek:

Pertama, aspek barangnya. Khamr jelas haram. Dalil sebagaimana Q.s. al-Maidah: 90-91, dan sejumlah hadits di atas.

Kedua, aspek perbuatan yang terkait dengan khamr. Dalam hal ini, ada sepuluh perbuatan yang dinyatakan haram, terkait dengan khamr ini. Sebagaimana sabda Nabi:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالمَحْمُوْلَةَ إِلَيْهِ وَسَاقَيْهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالمُشْتَرِيَ لَهَا وَالمُشْتَرَاةَ لَهُ [رواه الترمذي من حديث أنس]

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat terhadap khamr ini sepuluh golongan orang: (1) yang memerasnya; (2) yang minta diperaskan; (3) yang meminumnya; (4) yang membawanya; (5) yang minta dihantarkannya; (6) yang menuangkannya; (7) yang menjualnya; (8) yang memakan harganya; (9) yang membelinya; (10) yang minta dibelikannya.” [HR. Tirmizi dari Anas]

Di dalamnya, termasuk keharaman investasi, serta mendapatkan keuntungan dari produksi, distribusi dan konsumsi khamr.

Ketiga, terkait dengan industri [pabrik]-nya. Hukumnya dalam hal ini juga haram, karena hukum industri [pabrik] mengikuti hukum barang yang diproduksi. Sebagaimana dalam kaidah fiqih:

اَلمَصْنَعُ يَأْخُذُ حُكْمَ المَادَّةِ الَّتِيْ يَصْنَعُهَا

“Pabrik [industri] itu mengambil hukum barang yang diproduksinya.”

 

D. Kesimpulan 

Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa:

  1. Khamr jelas diharamkan di dalam Islam. Tidak hanya haram, tetapi juga membahayakan kehidupan individu, masyarakat dan negara. Bahkan, Nabi Muhammad Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama menyebutnya sebagai induk dari segala kejahatan.
  2. Keharaman khamr tidak hanya terbatas pada peminumnya, tetapi meliputi sembilan golongan yang lainnya. Termasuk, industri dan investasi di sana. Karena itu, haram hukumnya menjadikan khamr sebagai sumber pendapatan baik bagi individu, masyarakat maupun negara.
  3. Menggunakan kaidah, “Ma La Yatimmu al-Wajib ill bih Fahuwa Wajib” untuk melegalisasi keharaman khamr jelas salah besar. Bahkan, bisa dianggap memperkosa kaidah.

 

Catatan kaki:

[1]     Hr. at-Tirmidzi dari Anas.

[2]     Al-‘Allamah Saifu ad-Din al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. II, 1402 H, Juz I/110-112.

[3]     Al-‘Allamah Saifu ad-Din al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. II, 1402 H, Juz I/110-112; al-‘Allamah az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/225.

[4]     Al-‘Allamah Saifu ad-Din al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. II, 1402 H, Juz I/110-112.

[5]     Al-‘Allamah ‘Atha’ bin Khalil, Taisîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 1421 H/2000 M, hal. 43.

[6]     Al-‘Allamah Jamal ad-Din ‘Abdu ar-Rahim bin al-Hasan al-Isnawi, Nihâyatu as-Sûl fî Syarh Minhâj al-Wushûl Ilâ ‘Ilm al-Ushûl li al-Qâdhi Nâshiru ad-Dîn al-Baidhâwi, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 1420 H/1999 M, Juz I/101.

[7]     Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyu ad-Din an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 1426 H/2005 M, Juz III/42-43.

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *