Peringatan di Balik QS. Al-Nisâ’ [4]: 141 Atas Isu Bantuan Asing dalam Pemberantasan Terorisme
Allah ‘Azza wa Jalla melarang memberikan jalan apapun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman dalam firman-Nya:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Ayat yang agung ini ialah dalil larangan memberikan jalan apapun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman, huruf lan berfaidah li al-ta’bîd (untuk menunjukkan selama-lamanya) dalam ilmu ushul merupakan penguat indikasi atas larangan yang tegas (qarînah jâzimah); menjadikan kaum kafir menguasai orang-orang beriman secara mutlak, apapun bentuk jalan yang menyampaikan pada penguasaan tersebut, mengingat kata sabil[an] diungkapkan dengan lafal nakirah (tanpa alif lam) yang maknanya mubham (tidak spesifik), dalam ilmu balaghah ia berfaidah “ta’mim” (umum).
Maka relevan jika para ulama pun menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil keharaman menjadikan kaum kafir sebagai penguasa (Khalifah), dan relevan pula dijadikan dalil keharaman memberikan jalan kepada kaum kafir dalam permasalahan pemberantasan terorisme, relevansinya dengan program deradikalisasi yang seringkali salah alamat, akhirnya menyasar kaum Muslim di balik stigma “muslim fundamentalis” atau “muslim radikal”.
Keharaman tersebut semakin jelas ketika mengkaji pesan-pesan agung al-Qur’an yang melarang keras menjadikan kaum kafir sebagai bithanah, awliya’, dsb. Maka tidak ada yang menjustifikasi kerja sama dengan kaum kafir dalam isu pemberantasan terorisme, kecuali didasarkan pada al-hawa (hawa nafsu) belaka!
Bagaimana bisa? Pada saat yang sama, kaum kafir tersebut terlibat dalam kejahatan atas darah dan kehormatan kaum Muslim di Suriah, Palestina, Irak, Afghanistan. Afala ya’qilun?
Penjelasan Ilmiah:
Pertama, Memahami Kata Lan (لن), Yaj’alu (يجعل) & Al-Mu’minîn (المؤمنين) dalam QS. Al-Nisâ’ [4]: 141
Kata lan, sebagaimana diungkapkan Imam al-Jauhari (w. 393 H) merupakan kata penafian untuk kata kerja yang akan datang (حرفٌ لنفي الاستقبال)[1], atau kata penafian untuk hal yang akan terjadi di masa mendatang (حرف نفي لما يأتي) sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Faris (w. 395 H)[2] yang bermakna ”tidak akan pernah” yakni li ta’bîd (selama-lamanya), perinciannya bisa dirujuk dalam kamus-kamus arab.[3] Dan dalam ayat yang agung di atas, kata lan berada di depan kata kerja “yaj’alu” yang bisa dimaknai tidak akan pernah menjadikan.
Namun faidah dari penafian kata lan ini lebih kuat maknanya daripada kata laa, hal itu sebagaimana penjelasan para ulama pakar bahasa. Imam Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H) dalam Kitab al-’Ain menyatakan:
أَلا تَرى أَنَّهَا تُشبه فِي المَعْنى (لَا) وَلكنهَا أَوْكد
“Bukankah engkau melihat bahwa kata lan menyerupai kata “la” dalam pemaknaannya, akan tetapi kata lan lebih kuat maknanya.”[4]
Penjelasan ini pun dinukil oleh Imam al-Azhari dalam Tahdzîb al-Lughah.[5]
Kata kerja yaj’alu (يجعل) dalam ayat ini, yakni adanya kondisi berupa jalan peluang (وَأَنْ يَكُونَ حَالًا مِنْ سَبِيلٍ), sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abul Baqa’ al-’Akbariy (w. 616 H).[6] Maka tepat memaknainya bahwa Allah tidak akan pernah memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.
Ada kata al-mu’minîn dalam ayat ini, maka maksudnya adalah orang beriman mencakup kaum laki-laki maupun kaum perempuannya. Hal itu sebagaimana penjelasan Imam Abu Bakr al-Jashshash (w. 370 H) dalam tafsirnya:
فإن قيل إنما قال عَلَى الْمُؤْمِنِينَ فَلَا تَدْخُلُ النِّسَاءُ فِيهِ قِيلَ لَهُ إطْلَاقُ لَفْظِ التَّذْكِيرِ يَشْتَمِلُ عَلَى الْمُؤَنَّثِ وَالْمُذَكَّرِ
”Maka jika dikatakan bahwa lafal al-mu’minin tidak termasuk kaum perempuan di dalamnya, maka dijawab bahwa penyebutan lafadz tadzkir (jenis laki-laki) mencakup pula mu’annats (jenis perempuan) dan mudzakkar (jenis laki-laki).”[7]
Al-Jashshash menukil contoh-contoh ayat, salah satunya:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
”Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditetapkan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 103)[8]
Kedua, Faidah Ayat Ini dalam Pendalilan Berbagai Hukum Islam
Wajah penafsiran ayat ini, sebagaimana dirinci oleh Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), umum dalam setiap perkara (yang berkaitan-pen.) kecuali apa-apa yang dikhususkan oleh dalil tertentu [9]
Para ulama semisal Imam Bahraq al-Yamani (w. 930 H), Imam Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H) menjadikan ayat ini dalil sebagai syarat penguasa dalam Islam, yaitu wajib seorang muslim, tidak boleh orang kafir. Dan kekhilafahan merupakan sebesar-besarnya jalan kekuasaan.[10] Pada ulama pun banyak yang menjadikan ayat ini sebagai dalil keharaman menjual budak muslim kepada orang kafir dimana hal tersebut menyebabkan penguasaan dan penghinaan orang kafir atasnya, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam kitab tafsirnya.[11]
Catatan Kaki:
[1] Abu Nashr al-Jauhari al-Farabi, Al-Shihâh Tâj al-Lughah wa Shihaah al-’Arabiyyah, Beirut: Dâr al-’Ilm li al-Malâyin, cet. IV, 1407 H, juz VI, hlm. 2197.
[2] Ahmad bin Faris al-Razi, Majmal al-Lughah, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. II, 1406 H, juz I, hlm. 790.
[3] Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il, Al-Muhkam wa al-Muhith al-A’zham, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1421 H, juz X, hlm. 361.
[4] Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb Al-’Ain, Dâr wa Maktabah al-Hilâl, juz VIII, hlm. 350.
[5] Abu Manshur al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. I, 2001, juz XV, hlm. 239.
[6] Abu al-Baqa’ al-‘Akbariy, Al-Tibyân fi I’râb al-Qur’ân, ‘Isa al-Baabiy al-Halbiy wa Syirkahu, juz I, hlm. 399.
[7] Ahmad bin ‘Ali al-Razi al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, 1405 H, juz III, hlm. 279.
[8] Ibid.
[9] Muhammad bin ’Umar bin al-Hasan al-Razi, Mafâtih al-Ghayb, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. III, 1420 H, juz XI, hlm. 248.
[10] ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa al-Nihal, Kairo: Maktabah al-Khanji, t.t., juz IV, hlm. 128; Muhammad bin ‘Umar al-Syafi’i (Bahraq al-Yamani), Al-Husam al-Maslul ‘ala Muntaqhishi Ashhab al-Rasul, Mesir: Mathba’ah al-Madani, 1386 H, hlm. 54.
[11] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Dar Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz II, hlm. 437. Lihat pula tinjauan mengenai masalah ini dalam: Ahmad bin ‘Ali Abu Bakar al-Razi al-Jashshash al-Hanafi, Ahkam al-Qur’an, juz III, hlm. 279.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
#KhilafahAjaranIslam
#TerorismeBukanIslam
#IslamRahmatanLilAlamin
? Irfan Abu Naveed Al-Atsari
▫Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Daerah Jawa Barat
▫Penulis buku kajian tafsir & balaghah “Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama’ah”
▫Pengasuh Majelis Baitul Ummah Cianjur