Oleh: Mahfud Abdullah (Direktur Indonesia Change)
Prof. Suteki dirundung ujian, pada tanggal 28 November 2018 Rektor telah mengeluarkan SK Nomor 586/UN7.P/KP/2018 menyatakan pemberhentian secara tetap dari jabatan beliau, yaitu: Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Undip dan Ketua Senat Fakultas Hukum Undip. SK tersebut berlaku mulai tanggal 1 Desember tahun 2018, namun baru diberikan kepada beliau pada tanggal 24 Mei 2019, sehingga ada jeda waktu kurang lebih 6 bulan.
Apa alasannya? Patut diduga karena kehadiran beliau menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Para Pemohon yang mengajukan judicial review atas penerbitan Perppu Ormas oleh Presiden. Menurunya, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas) sebagai tindakan represif dan abuse of power Pemerintah terhadap ormas, khususnya bagi ormas yang dianggap melawan rezim yang berkuasa.
Posisi bersebarangan dengan pemerintah inilah yang kemudian membuat beliau dinilai tidak loyal dengan pemerintah karena beliau adalah seorang Aparatur Sipil Negara (PNS) yang seharusnya tunduk pada PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri.
Dampak penerbitan SK 586 yang menyatakan bahwa Prof. Suteki terbukti melakukan pelanggaran berat disiplin pegawai namun tidak didahului oleh sidang dalam rangka pemeriksaan dugaan pelanggaran disiplin sebagaimana konsiderans SK No. 223 merupakan tuduhan keji dan menyerang NAMA BAIK beliau sehingga beliau merasa nama baik itu DICEMARKAN. Pencemaran nama baik itu bahkan telah dapat dirasakan sejak diterbitkannya SK 223 Tahun 2018 tentang Pembebasan dari tugas jabatan beliau, terbukti ada beberapa universitas yang menolak Prof. Suteki untuk menjadi pembicara seminar (Unikal Pekalongan, Unmul Banjarmasin, AKPOL, Seminar Internasional Ekonomi Islam di Banjarmasin), tidak diizinkannya (tidak ada surat tugas dari dekan) untuk bicara di beberapa forum seminar, misalnya di Medan, Padang, Riau dan Surabaya).
Inilah kenyataan hari ini. Sebuah gambaran represifitas dunia intelektual. dari sudut pandang civil society, sesungguhnya represivitas di dunia kampus termasuk ancaman. Menurut Jürgen Habermas (Three Normative Models of Democracy, 1994), institusi civil society harus memproteksi perkembangan opini publik yang otonom dalam ruang publik (public sphere) dari kolonisasi struktur birokrasi (sistem kekuasaan) maupun pasar. Justru seharusnya institusi Perguruan Tinggi lah yang melindungi kebebasan beropini di ruang publik yang dilakukan oleh orang-orang seperti Prof. Suteki.
Inilah wajah jelek dunia hukum hari ini, problem penegakan hukum itu ada pada sistem dan penegak hukumnya. Hukum di negeri ini berasal dari sistem sekuler, produk akal, bukan bersumber dari Dzat yang maha adil. Jadi mustahil, memperoleh keadilan dari hukum buatan manusia. Problem selanjutnya juga ada pada penegak hukum yang tidak taat, tidak memiliki kesadaran bahwa seluruh hidupnya akan dimintai pertanggungjawaban. Hukum yang dijalankan bukan atas dasar ketaatan, pasti menghasilkan kezaliman.
Jika rezim dan sistem kapitalisme ini tidak berganti, maka kezaliman dan represifme terhadap umat Islam rasanya sulit dihentikan. Masih ada harapan, ini butuh perjuangan.[]