Oleh: Ahmad Khozinudin SH | Ketua LBH PELITA UMAT
Meskipun SK BHP HTI telah di cabut oleh Pemerintah melalui Keputusan Nomor AHU-30.AH.01.08, tanggal 19 Juli 2017, dikuatkan oleh Putusan PTUN Jakarta nomor 211/G/2017/PTUN.JKT dan akhirnya dikuatkan kembali melalui keputusan PTTUN di tingkat banding, namun diskursus tentang khilafah tidak otomatis hilang dari benak publik. Setidaknya, baru baru ini berlangsung sebuah diskusi bertajuk “Membedah Agenda Politik PKI dan Khilafah” di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 13 Oktober 2018 yang hangat membicarakan khilafah.
Mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zein masih mempertanyakan alasan pemerintah membubarkan Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut Pak Kivlan, cita-cita Khilafah Islamiyah yang didengungkan oleh HTI bukan bertujuan untuk mengganti ideologi Pancasila.
“Konsep Khilafah HTI adalah konsep yang ditujukan agar mereka bisa menjalankan syariat Islam bagi kehidupan mereka sehari-hari,” ungkapnya dalam diskusi tersebut. Pak Kivlan Zein juga menegaskan HTI tidak dibubarkan, hanya SK pencatatan BHP nya saja yang dicabut sepihak oleh Kemenkumham.
Penulis telah mengurai argumentasi hukum secara gamblang bahwa HTI tidak dibubarkan, bukan ormas terlarang dan tidak ada satupun amar putusan pengadilan yang menyatakan khilafah sebagai ajaran terlarang. Konstruksi kesimpulan hukum ini dibangun berdasarkan beberapa argumen :
Pertama, tidak ada satupun amar putusan pengadilan baik di tingkat pertama (PTUN Jakarta) atau di tingkat Banding (PTTUN) yang memuat redaksi HTI dibubarkan, HTI ormas terlarang, atau bahkan ajaran khilafah disebut sebagai paham terlarang.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara baik pada tingkat Pertama maupun Banding, hanya menyebut Mencabut Keputusan Menteri Hukum Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tanggal 02 Juli tahun 2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, berkedudukan di Jakarta Selatan.
Artinya HTI demi hukum sejak keputusan PTUN tingkat pertama dan dikuatkan di PTTUN pada tingkat banding tidak memiliki legal standing sebagai ormas berbadan hukum yang berbentuk perkumpulan. Keseluruhan hak dan kewajiban, tugas fungsi dan kewenangan HTI sebagai ormas berbadan hukum tidak dapat difungsikan pasca pengumuman keputusan. Hanya saja, putusan ini belum berkekuatan hukum tetap. Juru Bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto menegaskan mengambil upaya hukum Kasasi.
Kedua, putusan hukum yang diberlakukan terhadap HTI adalah putusan administrasi berdasarkan beshicking yang dikeluarkan oleh pejabat TUN. Selayaknya putusan administrasi, putusan TUN dibatasi pada substansi perintah ataupun pernyataan yang sifatnya administrasi. Penegasan tentang dibubarkannya suatu ormas atau menyatakannya sebagai organisasi terlarang, adalah serangkaian tindakan mencabut hak konstitusional warga negara yang telah dijamin konstitusi. Tindakan ini, bukan dan tidak termasuk kewenangan peradilan administrasi, tetapi menjadi substansi perkara yang menjadi wewenang peradilan umum.
Dalam ketentuan pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 disebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Bahkan dalam ketentuan pasal 28 UUD 1945 ditegaskan: “kemerdekaan berserikat dan berkumpul , mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”.
Substansi pernyataan pembubaran atau pelarangan suatu organisasi atau paham tertentu, harus berdasarkan putusan atau produk regeling (pengaturan) yang dikeluarkan secara resmi oleh negara melalui suatu produk hukum.
Kasus HTI berbeda jauh dengan kasus Partai Komunisme Indonesia (PKI). PKI telah resmi dibubarkan oleh Pemerintah berdasarkan TAP MPRS RI No. : XXV/MPRS/1966, TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DI SELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME.
Dalam TAP MPRS No. XXV/1966, jelas menyebut PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tidak sebatas itu, dalam ketentuan pasal 2 ditegaskan pula larangan mengembangkan ajaran atau paham komunisme, atheisme, marxisme dan leninisme yang menjadi atribut ideologi PKI.
Ketiga, dalam UU ormas asli maupun pasca perubahan melalui Perppu Ormas No. 2 tahun 2017, pengaturan jenis dan klasifikasi ormas diberi kebebasan memilih untuk menjadi ormas berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Berbadan hukum Perkumpulan atau Yayasan, menjadi Ormas tidak berbadan hukum yang terdaftar atau tidak terdaftar (vide pasal 10 UU ormas, UU No. 16 tahun 2017 tentang penetapan Perppu No. 2 tahun 2017 tentang perubahan UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan).
Ormas yang berbadan hukum baik berbentuk perkumpulan atau yayasan berada di bawah naungan kemenkumham. Sedangkan ormas yang tidak berbadan hukum, baik terdaftar maupun tidak terdaftar berada di bawah naungan Kemendagri.
Ditengah masyarakat, terdapat banyak sekali ormas yang tidak terdaftar, melakukan serangkaian aktivitas konstitusi berupa berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat, yang dilindungi oleh konstitusi. Tidak ada satupun syarat yang dimuat dalam konstitusi, yang mewajibkan ormas harus berbadan hukum sebagai syarat eksistensi dan melakukan aktivitas konstitusi berupa aktivitas berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat.
Karena itu, pencabutan SK BHP HTI tidak otomatis mencabut hak konstitusi HTI untuk tetap eksis dan melaksanakan aktivitas berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat, sebagai sebuah ormas yang tidak berbadan hukum (karena BHP telah dicabut). Hanya saja, HTI memang kehilangan hak administrasi berupa keseluruhan hak dan wewenang terkait status ormas berbadan hukum perkumpulan.
HTI misalnya, tidak bisa melakukan transaksi perdata sebagai entitas badan hukum (Recht Persoon) untuk melakukan transaksi perdata, menerima bantuan dana hibah dari negara, memperoleh fasilitas dan layanan administrasi dari negara dan yang sejenisnya. Adapun aktivitas dakwah yang telah dijamin konstitusi, tidak bisa dirampas atau dicabut baik terhadap individu anggota maupun entitas ormas HTI yang saat ini tidak lagi berbadan hukum.
Keempat, khilafah adalah ajaran Islam. Ketika negara melarang ajaran Islam, sama saja negara telah melanggar konstitusi berupa kebebasan beragama serta beribadat sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang dianut. Berdakwah dan menyampaikan ajaran Islam khilafah, adalah bagian dari ibadat penting umat Islam sebagai, termasuk dakwah amar makruf nahi munkar.
Lagipula, hingga saat ini tidak ada satupun amar putusan juga produk hukum lain di luar putusan pengadilan administrasi yang menyebut khilafah sebagai paham atau ajaran terlarang. Khilafah adalah bagian dari Islam, sah dan legal untuk terus didiskusikan sebagai bagian dari penunaian kewajiban dakwah Islam.
Kesimpulannya, khilafah adalah ajaran Islam yang saat ini didakwahkan oleh HTI. Menurut Pak Kivlan Zein, HTI hanya menjalankan perintah Tuhan. Bagaimana mungkin aktivitas menjalankan perintah Tuhan dipersoalkan ?
Menyandingkan khilafah sebagai ancaman, dan disetarakan dengan PKI yang sudah jelas melakukan kudeta, membunuh rakyat sipil, membantai para jenderal adalah kesimpulan yang sangat ngawur. Khilafah adalah solusi yang ditawarkan bagi negeri ini, bukan ancaman.
Ada baiknya negara dan pihak-pihak yang masih menuding khilafah ajaran Islam sebagai ancaman negara untuk berdiskusi dengan HTI. Penulis khawatir, klaim sepihak dan asal tuding ini selain tidak sesuai dengan fakta, justru akan menjauhkan negeri ini dari solusi tuntas untuk mengatasi berbagai problema yang mendera, yang terbukti secara nyata telah gagal dijawab oleh sistem sekulerisme demokrasi.
Bangsa ini justru harus waspada dengan potensi ancaman kebangkitan neo PKI yang saat ini kian marak. Selain terbukti telah melakukan pemberontakan, PKI mengusung ajaran atau paham atheisme yang jelas bertentangan dengan akidah Islam dan sila ketuhanan yang maha esa. [].