Membangun Optimisme Bangsa

Sikap optimis sangatlah diperlukan untuk kemajuan sebuah bangsa atau negara. Negara atau bangsa yang pesimis, tidak akan pernah bangkit dari ketinggalannya, dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Ujung-ujungnya, bangsa seperti ini akan menjadi pengekor negara-negara yang menindasnya. Bahkan pasrah atas penindasan yang terjadi. Inilah cerminan negara gagal.

Melihat catatan perjalanan negeri ini, justru sikap optimisme inilah yang semakin berkurang, bahkan bisa nyaris hilang. Banyak pihak yang tidak yakin kepada rezim sekarang akan bisa membawa negeri ini bangkit. Negeri ini justru didera berbagai persoalan yang sepertinya tidak bisa diselesaikan. Dalam masalah ekonomi, utang semakin bertambah. Hampir semua pihak pesimistis utang ini bisa diselesaikan. Korupsi semakin menggurita. Apalagi setelah KPK dilemahkan dengan undang-undang. Kalau ditanya, hampir semua orang akan mengatakan, pesimistis korupsi bisa diselesaikan.

Terhadap penegakan hukum pun sama. Hukum yang dikendalikan oleh kekuatan politik berkuasa, membuat hukum tidak bisa menyelesaikan persoalan dengan adil. Hukum telah dikendalikan untuk kepentingan penguasa. Siapa yang diproses, siapa yang dibiarkan, tergantung kepentingan penguasa.

Penegakan hukum begitu tajam kalau terkait dengan pihak yang berseberangan dengan Istana, ulama yang kritis, intelektual yang membongkar bobrok penguasa. Beda halnya dengan pihak-pihak yang diduga dekat dengan Istana atau paling tidak sejalan dengan kepentingan Istana. Nyaris tidak tersentuh, prosesnya begitu lambat, atau berhenti sama sekali.

Lantas bagaimana membangun optimisme negari ini? Pertama, penting memahami apa yang menjadi penyebab masalah negeri ini hingga sulit menyelesaikan masalahnya. Kapitalisme liberal yang diadopsi negeri ini, inilah pangkal masalahnya. Korupsi tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi yang mahal, yang membuat politisi memilih jalan korupsi untuk mengembalikan modal politiknya, balas budi terhadap cukong kekuasaannya, atau untuk mempertahankan kekuasaannya.

Tak jauh berbeda dengan ekonomi liberal yang menjadi panglima dalam kebijakan ekonomi. Inilah yang telah menjerumuskan negeri ini pada keterpurukan. Utang ditutup dengan utang. Sementara kekayaan alam dijarah penguasa rakus baik dalam maupun luar negeri dengan alasan investasi dan pembangunan. Rakyat sengsara. Penguasa tak peduli. Mereka lebih mementingkan penjajah Barat daripada bangsanya sendiri. Demi rakyat, demi negara hanyalah retorika.

Kedua, bangsa ini harus tahu, apa yang justru menjadi kekuatan. Jawabannya, tidak lain adalah Islam. Kembali kepada Islam, inilah jalan optimisme untuk menyelesaikan berbagai persoalan negeri ini. Secara keimanan, ajaran Islam yang bersumber dari Allah SWT, adalah sempurna. Karena berasal dari Dzat yang Maha Sempurna. Sebagai petunjuk untuk manusia, pasti akan bisa menyelesaikan persoalan manusia. Ajaran Islam, sebagai ajaran yang rahmatan lil alamin, kalau diterapkan pasti akan memberikan kebaikan pada seluruh umat manusia.

Karena itu seruan kepada syariah Islam sebagai solusi bangsa ini, sudah seharusnya disambut positif. Kalau pun mungkin ada pertanyaan-pertanyaan krusial terkait dengan penegakan syariah Islam, seharusnya bisa dibahas secara terbuka dan objektif. Bukan sebaliknya rezim sekarang malah menutup pintu diskusi dan dialog. Syariah Islam sudah dicap sebagai perusak negeri ini. Yang memperjuangkannya dianggap penjahat. Inilah penghalang mendapatkan kebenaran Islam. Pintu dialog dan diskusi pun menjadi tertutup.

Dalam membangun optimisme, bangsa ini harus belajar dari sukses hebat penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad al Fatih. Sejak kecil, Al Fatih, sudah ditanamkan sikap optimisme dan visioner. Bahwa dialah penakluk Konstantinopel yang dijanjikan Rasulullah pasti terjadi. Dialah sebaik-baik panglima perang dengan pasukan yang terbaik pula. Yakin pada janji kemenangan dari Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah inilah yang membangun optimism Muhammad al Fatih.

Namun keyakinan dan kerinduan untuk meraih kemuliaan dalam Islam, membutuhkan amal yang sungguh-sungguh dengan mengikuti sunnatullah dan kaidah kausalitas (sebab akibat). Tidak cukup yakin, tidak cukup berdoa, namun ada ikhtiar nyata. Inilah yang dilakukan oleh Muhammad al Fatih dan kaum Muslimin sebelumnya.

Muhammad al Fatih juga menyadari, untuk meraih kemenangan Allah dibutuhkan ketaatan dan kedekatan dengan Allah SWT. Inilah jalan turunnya kemenangan dari Allah SWT. Dan dimulai dari dirinya sendiri, sang Panglima yang tidak pernah berhenti berdoa agar dirinya, pasukannya, dan umat Islam, diberikan kemenangan. Shalat tahajud menghiasi malam-malamnya. Pasukannya pun dipastikan olehnya sendiri, agar tidak berbuat maksiat, yang bisa menghalangi datangnya pertolongan Allah SWT.

Inilah jalan optimisme untuk negeri ini. Kembali kepada Islam, yakin akan janji kemenangan dari Allah SWT, berusaha dengan sungguh-sungguh, dan senantiasa membangun keterikatan dengan syariah Islam. Masih ada kabar gembira Rasulullah yang tersisa untuk kita: penaklukan Roma, kembalinya khilafah, dan peperangan melawan Yahudi. Inilah kesempatan emas generasi kita, kesempatan untuk meraih janji kemuliaan dari Allah, kesempatan menoreh sejarah dengan tinta emas. Allahu Akbar! []Farid Wadjdi

Share artikel ini:

View Comments (1)