Membangun Masyarakat Bertakwa

Oleh: M. Arifin (Tabayyun Center)

Dari Nu’man bin Basyir yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal bagaimana mereka saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi adalah seperti satu tubuh. Apabila ada sebagian dari tubuhnya yang sedang sakit, maka bagian tubuh yang lain turut merasakannya, sehingga membuatnya tidak bisa tidur dan demam”. (HR. Muslim)

Di dalam Shahîh Muslim bi Syarhin Nawawi terdapat penjelasan dengan sedikit uraian: “Hadits ini begitu jelasnya menggambarkan tentang kewajiban kaum Muslim menghormati hak-hak masing-masing di antara mereka, serta mendorong mereka agar dalam hidup ini saling menyayangi, saling menghargai, dan saling membantu dalam hal-hal yang tidak haram dan tidak makruh. Secara implisit hadits ini juga menjelaskan tentang bolehnya at-tasybih (penyerupaan) dan dlarbul amtsâl (membuat perumpamaan) dengan tujuan agar pengertian (maksud yang dikehendakinya) lebih mudah dipahami.

Sesungguhnya masyarakat islami adalah potret masyarakat yang harmonis, meski individu-individunya berasal dari beragam jenis dan etnis. Keharmonisan ini buah dari hukum-hukum syara’ yang mengontrol dan mengatur setiap hubungan di antara masyarakat dengan aturan yang mampu menghilangkan kezaliman dan permusuhan, serta mewujudkan keadilan.

Penjelasan dalam hal ini adalah konsep yang dulu pernah dipahami oleh Abu Bakar. Karenanya, ketika beliau diserahi untuk memimpin Khilafah, maka beliau berkata: “Saya diserahi untuk memimpin kalian, padahal saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Untuk itu, jika saya melakukan kebaikan, maka bantulah (dukung) saya. Sebaliknya, jika saya melakukan keburukan, maka luruskan (kritik) saya. Orang yang lemah di mataku adalah orang yang kuat sampai ia memperoleh haknya. Sebaliknya, orang yang kuat di mataku adalah orang yang lemah sampai ia memberikan haknya”. Dengan demikian, secara mutlak, tidak ada satupun orang yang kebal terhadap hukum syara’ di dalam prinsip Islam.

Saat itu setiap ras, bangsa, dan warna semuanya benar-benar melebur dalam wadah Khilafah Islam. Sehingga masyarakat yang individu-individunya berasal dari beragam jenis dan etnis ini menyatu dan memiliki perasaan yang sama dalam hal menentukan kapan mereka harus rela, marah, bahagia, dan sedih. Sebab, dalam melakukan aktivitas masing-masing, mereka didorong oleh keinginan untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT.

Amirul Mukminin saat itu, ketika ia menjalankan tugasnya mengurusi urusan-urusan rakyat, maka semua itu dijalankan dalam rangka untuk meraih ridha dari Allah SWT. Begitu juga dengan para tenaga pendidik, mulai dari TK/RA, Sekolah Menengah, hingga Perguruan Tinggi, maka mereka itu dalam menjalankan tugasnya didorong oleh keinginan untuk meraih ridha dari Allah SWT. Sehingga, keunikan yang ada dalam masyarakat inilah yang mencegah timbulnya permusuhan dan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum. Sebab, yang mendorong mereka melakukan semua itu adalah untuk meraih ridha dari Allah SWT bukan karena takut pada kezaliman penguasa, sanksi yang keras, atau ancaman persekusi.[]

Share artikel ini: