Memaknai Kemerdekaan
Oleh: Lalang Darma Bakti (Aliansi Jurnalis Muslim Indonesia)
73 tahun Indonesia merdeka, setiap tanggal 17 Agustus menjadi hari libur nasional. Pemerintahpun kembali merilis logo resmi peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-73 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2018, terinspirasi dari kata ‘kerja’ dan ‘energi’. Kata ‘kerja’ berarti adanya pergerakan/aktif, kemudian kata ‘energi’ berarti tenaga atau daya untuk bekerja.
Kemerdekaan telah diperingati setiap tahun sebagai acara seremonial, dan kemerdekaan merupakan sesuatu yang dicita-citakan setiap manusia, karena kemerdekaan adalah hak segala manusi sehgga penjajahan diatas dunia harus dihapuskan. Hari kemerdekaan yang selalu diperingati setiap tahun tidak memberikan kesan yang sangat berarti untuk kemerdekaan Indonesia. Peringatan kemerdekaan kemarin hanya berupa seremonial belaka. Sebuah candu yang memberikan persepsi kalau kita sudah merdeka dan patut disyukuri. Padahal, semua peringatan ini akan sia-sia belaka karena kita belum merdeka secara penuh. Seremonial tahunan ini hanya memalingkan kita dari kondisi kita yang sedang terjajah.
Sangat disayangkan, kemerdekaan seolah dipahami oleh bangsa ini semata-mata sebagai keterbebasan negeri ini dari penjajahan secara fisik. Akibatnya, penjajahan non-fisik (yakni penjajahan pemikiran/ideologi, politik, ekonomi, sistem sosial dan budaya) yang berakar pada Kapitalisme global sering tidak disadari sebagai bentuk penjajahan. Padahal penjajahan non-fisik—dalam wujud dominasi Kapitalisme global—ini jauh lebih berbahaya daripada penjajahan fisik. Mungkin, ini karena penjahan fisik lebih banyak memakan korban jiwa sehingga kesannya lebih tragis dan dramatis. Sebaliknya, penjajahan non-fisik, karena tidak secara langsung memakan korban jiwa, kesannya tidak setragis dan sedramatis penjajahan fisik. Padahal jika kita renungkan, penjajahan non fisik dalam wujud dominasi Kapitalisme global ini juga telah menimbulkan penderitaan yang luar biasa bagi bangsa ini khususnya, dan umat manusia di dunia umumnya; selain memakan korban jiwa yang terbunuh secara pelan-pelan.
Secara jujur harus kita akui, Kapitalisme global saat ini—yang merupakan salah satu ideologi transnasional—bukan hanya merupakan ancaman, namun benar-benar telah merusak dan mengobok-obok Indonesia. Kejahatan ideologi ini sudah dimulai sejak masa penjajahan fisik dulu. Kini, melalui perangkat institusi internasional seperti Bank Dunia, IMF, Pasar Bebas, penjajahan dalam bentuk lain terhadap Indonesia terus berlanjut. Akibatnya, meski Indonesia sangat kaya, penduduknya terpaksa harus hidup dalam kemiskinan. Kekayaan berupa emas, migas, dan barang tambang lainnya yang semestinya bisa dinikmati oleh rakyat malah dihisap oleh negara penjajah melalui perusahaan kaki tangannya di negeri ini.
Secara politik, Indonesia juga tidak luput dari cengkeraman hegemoni global negara-negara adidaya. Indonesia saat ini tunduk pada negara Barat (AS dan sekutunya) dalam apa yang mereka sebut perang global melawan terorisme. Bukan hanya itu, atas nama HAM, Demokrasi, dan Pluralisme, negara penjajah juga terus melakukan intervensi yang mendorong disintegrasi. Buahnya yang nyata adalah lepasnya Timor Timur. Bukan tidak mungkin, Papua, juga Aceh dan Maluku bakal menyusul. Tanda-tanda ke arah sana sangat nyata.
Penjajahan gaya baru sama berbahayanya dengan penjajahan gaya lama. Bahkan boleh jadi lebih berbahaya. Sebabnya, dengan penjajahan gaya baru, pihak terjajah sering tak merasa sedang dijajah. Contohnya adalah bangsa ini. Bangsa ini setiap tahun tetap antusias merayakan hari kemerdekaannya. Namun demikian, pada saat yang sama bangsa ini seolah tak pernah menyadari bahwa kekayaan mereka terus dikuasai dan dieksploitasi—bahkan dengan sangat liar—oleh bangsa lain lewat perusahaan-perusahaan mereka. Tambang emas, minyak, gas dan banyak sumberdaya alam lainnya di negeri ini telah lama dikuasai dan diekploitasi oleh PT Freeport, Exxon Mobile, Newmont, dan banyak perusahaan asing lainnya. Ironisnya, semua itu dilegalkan oleh undang-undang. Mengapa bisa terjadi? Karena banyak keputusan politik di negeri ini—terutama dalam bentuk undang-undang—terus berada dalam kontrol pihak asing. Di antaranya melalui IMF dan Bank Dunia, dua lembaga internasional yang menjadi alat penjajahan global. Maka bangsa dan negeri ini sebetulnya belum benar-benar merdeka secara hakiki. Belum benar-benar terbebas dari penjajahan. Secara fisik kita memang merdeka. Namun demikian secara pemikiran, ekonomi, politik, budaya, dll sejatinya kita masih terjajah.
Mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah SWT, itulah misi utama Islam. Itu pula arti kemerdekaan hakiki. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan hakiki terwujud saat manusia terbebas dari segala bentuk penghambaan dan perbudakan oleh sesama manusia. Dengan kata lain Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman, perbudakan dan penghambaan oleh manusia lainnya.
Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada sesama manusia sekaligus mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah SWT. Islam datang untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat penerapan aturan buatan manusia menuju kelapangan dunia (rahmatan lil alamin). Islam juga datang untuk membebaskan manusia dari kezaliman agama-agama dan sistem-sistem selain Islam menuju keadilan Islam. Semua itu akan menjadi nyata jika umat manusia mengembalikan hak penetapan aturan hukum hanya kepada Allah SWT dan Rasul saw. Caranya dengan memberlakukan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.[]