Memaknai Hijrah Rasulullah SAW.
[Buletin Kaffah_No. 055_26 Dzulhijjah 1439 H-7 September 2018 M]
Umat Muslim di seluruh dunia akan segera memasuki tahun baru Islam 1440 Hijrah. Di Tanah Air, ghirah keislaman menyambut pergantian tahun baru Islam belakangan semakin meningkat. Sejumlah kegiatan seremonial seperti pawai dan tablig akbar biasa diadakan. Ada harapan dan keinginan dari segenap umat bahwa pergantian tahun baru Hijrah ini dapat memberikan kehidupan yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Namun demikian, yang sangat penting bagi kita adalah memetik makna sesungguhnya dari peristiwa hijrah Nabi saw. dan para sahabat kala itu, dari Makkah ke Madinah, yang terjadi 14 abad silam.
Hijrah Bâthinah
Hijrah secara bahasa berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan lain (Lisân al-Arab, V/250; Al-Qâmûs al-Muhith, I/637). Menurut Rawas Qalah Ji dalam Mujam Lughah al-Fuqahâ, secara tradisi, hijrah bermakna: keluar atau berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain untuk menetap di situ.
Belakangan, kata hijrah di Tanah Air menjadi popular. Kata ini disematkan untuk perubahan pribadi dari kondisi kemaksiatan menuju kondisi islami. Pribadi Muslim yang ugal-ugalan, tidak peduli halal dan haram, menjadi individu yang dekat dengan Allah SWT. Dari bisnis yang berlumur riba menuju muamalah yang halal. Dari Muslimah yang belum menutup aurat menjadi sosok yang tak lepas dari jilbab. Masyarakat sering menamakan hal tersebut sebagai fenomena hijrah.
Dengan mengutip penjelasan sejumlah ulama, pengertian hijrah seperti di atas ada benarnya. Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, juga al-Alqami yang dikutip di dalam Awn al-Mabûd, menjelaskan bahwa hijrah itu ada dua macam: zhâhirah (lahir) dan bâthinah (batin). Hijrah batin adalah meninggalkan apa saja yang diperintahkan oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan (nafsu al-ammârah bi as-sû) dan seruan setan.
Seorang Muslim yang bertobat kepada Allah SWT, bersungguh-sungguh menaati segala aturan-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pribadi bisa disebut tengah melakukan hijrah. Hal ini sebagaimana penjelasan Nabi saw. saat beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berhijrah (muhâjir) itu?” Beliau menjawab:
مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Dialah orang yang meninggalkan perkara yang telah Allah larang atas dirinya (HR Ahmad).
Hijrah batin ini, yakni meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan, adalah perkara yang wajib bagi setiap Muslim. Siapa saja yang mengharapkan ridha Allah SWT sudah seharusnya meninggalkan kemungkaran menuju penghambaan kepada-Nya. Meninggalkan muamalah ribawi, budaya suap-menyuap, menipu, berbisnis barang yang haram semisal minuman keras, membuka aurat, membela LGBT, berbuat zalim terhadap sesama Muslim, mempersekusi dakwah, dll. Lalu beralih pada perilaku islami. Giat beribadah, mencari rezeki yang halal, menutup aurat, beramar makruf nahi mungkar, dsb. Allah SWT berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan surga seluas langit dan bumi yang disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa (TQS Ali Imran [3]: 133).
Hijrah Zhâhirah
Adapun hijrah zhâhirah (batin) yang diterangkan oleh Ibnu Hajar adalah lari menyelamatkan agama dari fitnah (al-firâr bi ad-dîn min al-fitan). Hal ini senada dengan penjelasan al-Jurjani dalam At-Tarifât. Menurut al-Jurjani, hijrah adalah meninggalkan negeri yang berada di tengah kaum kafir dan berpindah ke Dâr al-Islâm.
Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Fath al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî menjelaskan, asal dari hijrah adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan kebaikan. Hijrah secara mutlak dalam as-Sunnah ditransformasikan ke makna: meninggalkan negeri syirik (kufur) menuju Dâr al-Islâm. Jika demikian maka asal hijrah adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah larang berupa kemaksiatan, termasuk di dalamnya meninggalkan negeri syirik, untuk tinggal di Dâr al-Islâm.
Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Hijrah lahir inilah yang menjadi peristiwa besar dalam sejarah umat. Pada saat Nabi saw. dan para sahabat berhijrah ke Madinah, Islam dapat ditegakkan secara kâffah, bahkan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hukum-hukum Islam baru dapat dilaksanakan dengan paripurna setelah hijrah Nabi saw. dan kaum Muslim; mulai dari hukum ibadah, sosial, ekonomi hingga pemerintahan.
Madinah menjadi pusat pemerintahan kaum Muslim yang pertama. Di sana Rasulullah saw. dan selanjutnya Khulafa ar-Rasyidin mengatur urusan umat Muslim baik untuk urusan dalam maupun luar negeri. Nabi saw. mengirim delegasi ke sejumlah negeri seperti ke Mesir, Persia dan Romawi untuk mengajak mereka memeluk agama Islam dan tunduk pada kekuasaan beliau. Beliau juga mengirim pasukan ke berbagai medan peperangan, baik yang dipimpin langsung oleh beliau maupun diserahkan pada para sahabat. Berdasarkan riwayat Ibnu Hajar al-Asqalani, jumlah peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah saw. (ghazwah) mencapai 29 kali, sedangkan Ibnu Hisyam dalam kitab Sirahnya menyebutkan 27 kali. Pada masa Khulafa ar-Rasyidin luas kekuasaan kaum Muslim empat kali lebih luas dibandingkan Prancis dan Jerman, meliputi Jazirah Arab, Persia hingga wilayah Syam dan Palestina serta sebagian Afrika.
Begitu pentingnya arti hijrah maka penetapan awal kalender Hijrah pun diawali dari peristiwa hijrah tersebut.
Muhâsabah Hijrah
Sayang, hijrah lahir ini justru belum terealisasi, bahkan diabaikan begitu saja. Umat sudah merasa puas dengan perbaikan pribadi dan urusan ibadah mahdhah semata. Belum ada ikhtiar keras untuk menyelamatkan agama dari fitnah. Padahal berbagai tuduhan sudah dilontarkan pada agama ini dan orang-orang yang berusaha menegakkan ketaatan kepada-Nya. Tudingan radikalisme, anti-kebhinekaan, pemecah persatuan negeri, dll terus digaungkan pada agama. Bahkan berbagai tindakan persekusi terus dilakukan kepada para mubalig dan ulama hanya karena mereka ingin menyelamatkan negeri dengan petunjuk agama Allah SWT.
Semangat penegakan syariah Islam dan ajaran Khilafah Islam justru dianggap sebagai ajaran yang akan merusak negeri. Padahal syariah dan Khilafah adalah bagian integral dari Islam dan telah disepakati sebagai sebuah kewajiban oleh para ulama Ahlus Sunnah.
Sebaliknya, sistem politik demokrasi yang sudah banyak mengebiri ajaran Islam dan tak ada dasar pembahasannya di kalangan ulama Ahlus Sunnah justru dipuja-puja. Seolah-olah demokrasi adalah solusi terbaik bagi bangsa. Padahal dalam demokrasi berbagai penyimpangan kekuasaan, seperti korupsi, makin menjadi-jadi. Seperti diberitakan dari Malang, dari 45 anggota DPRD Kota Malang ternyata 41-nya adalah tersangka korupsi pembahasan APBN-P Pemkot Malang.
Sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalisme yang kini diterapkan di Tanah Air juga telah membuat negeri ini makin terpuruk. Nilai rupiah terhadap dolar terus anjlok hingga telah menembus Rp 15 ribu perdolar. Melemahnya nilai rupiah membuat utang Pemerintah RI melonjak. Kementerian Keuangan mencatat pembayaran bunga utang pada semester pertama tahun ini melonjak tercatat sebesar Rp 120,61 triliun atau separuh dari pagu tahun ini Rp 238,61 triliun.
Ironinya, di tengah krisis ekonomi yang terus mencekik, Pemerintah justru menyumbang dana untuk acara tahunan IMF dan Bank Dunia yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober nanti, di Bali. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, Pemerintah menyiapkan anggaran sekitar Rp 1 triliun.
Semangat neoliberalisme yang telah meminggirkan kepentingan rakyat juga tercermin dari kebijakan pemerintah yang malah mengimpor beras, gula dan garam pada saat jumlah produksi dalam negeri tengah berlimpah. Kebijakan ini jelas hanya menguntungkan para importir sekaligus memiskinkan petani dan pengrajin gula dan garam lokal.
Hijrah untuk Berubah
Inilah kondisi kegelapan yang tengah menyelimuti negeri. Kondisi ini nyaris tak jauh berbeda dengan kondisi saat Nabi saw. dan para sahabat berada di Makkah. Keadaan jahiliah melanda setiap aspek kehidupan sampai kemudian Allah SWT memberikan pertolongan dengan tegaknya Islam di Madinah. Allah SWT mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya petunjuk.
Karena itu momentum Tahun Baru Hijrah hendaknya tidak dijadikan rutinitas seremonial belaka, melainkan harus diambil maknanya. Maknanya, perubahan harus dilakukan. Caranya dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah sebagai aturan kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara, sekaligus meninggalkan aturan hidup jahiliah, sebagaimana yang berlaku saat ini. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman). Adapun orang-orang kafir, pelindung-pelindung mereka ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya (TQS al-Baqarah [2]: 257). []