Alquran memberikan penegasan, bahwa orang yang bisa memakmurkan masjid adalah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT, Hari Kiamat, dan orang-orang yang tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang hanya takut kepada Allah [QS at-Taubah: 18].
‘Abdurrazzaq menuturkan dari Ma’mar dari Abi Ishaq dari ‘Amr bin Maimun al-Audi mengatakan, “Aku mendapati para sahabat Nabi SAW mengatakan, “Sesungguhnya masjid adalah rumah Allah di bumi. Pasti, Allah akan memuliakan siapa saja yang mendatangi Allah di sana.” [Tafsir Ibn Katsir, QS at-Taubah: 18]. Karena itu, mereka pun menjaga adab dan hukum yang terkait dengan pemakmuran masjid.
Tempat Ibadah
Sebagai rumah Allah dan tempat ibadah, tentu masjid tidak boleh digunakan untuk melakukan maksiat. Meski konotasi ibadah itu sendiri harus dipahami, bukan sekadar shalat, zakat, puasa, haji dan jihad, tetapi meliputi “apa saja yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan”. Itulah konotasi ibadah, menurut Ibn Taimiyyah. Karena itu, cakupannya luas. Tidak terbatas pada lima kategori ibadah, sebagaimana yang disebutkan di atas.
Karena itu, pada zaman Nabi SAW masjid juga tidak saja digunakan untuk melakukan ibadah mahdhah, seperti shalat, dzikir, i’tikaf dan membaca Alquran, tetapi juga digunakan untuk melakukan ibadah secara umum, sebagaimana yang didefinisikan oleh Ibn Taimiyyah di atas. Di zaman Nabi SAW, masjid juga digunakan menjadi pusat pemerintahan, peradilan, musyawarah, pendidikan, bahkan latihan perang.
Selain itu, di Masjid Nabawi juga terdapat ruangan khusus untuk Ahl Shuffah, yang tidak mempunyai rumah. Letaknya di bagian depan pintu masuk. Di Shuffah inilah, sebanyak 400 orang sahabat ditampung oleh Nabi SAW. Karena itu, di zaman ‘Umar, dibangun tempat khusus, di luar masjid untuk aktivitas mubah, yang bisa mengganggu ibadah jika dilakukan di dalam masjid. Di situ, siapa saja yang ingin mengeraskan suaranya, melantunkan syair, dan perkara mubah yang lainnya diwadahi. Tempat itu disebut al-Bathiha’.
Dalam kitab al-Jami’ al-Kabir dituturkan dari Ibn Mubarak dari ‘Abdullah bin Abi Ja’far. Dia mengirim surat kepada Nabi SAW, dan bertanya, “Siapakah orang yang dikategorikan memenuhi seruan Allah dan memakmurkan masjid dengan baik?” Nabi SAW menjawab, “Orang yang tidak mengeraskan suaranya di masjid, dan tidak menyatakan kata-kata kotor.” Hadits ini dilemahkan oleh sebagian ulama’, karena mursal. Tetapi, maknanya dikuatkan oleh hadits Bukhari.
Dalam riwayat Bukhari dari as-Saib bin Yazid bertutur, “Ketika aku tidur di masjid, tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang pria, dan ternyata dia ‘Umar bin alKhatthab. Dia berkata, “Pergilah, dan bawalah kedua orang ini kepadaku.” Aku pun menghadapnya dengan membawa keduanya. Dia berkata, “Siapakah kalian?” Keduanya menjawab, “Penduduk Thaif.” ‘Umar berkata, “Kalau kalian penduduk sini, pasti aku sudah menghukum kalian berdua. Kalian mengeraskan suara kalian di masjid Rasulullah SAW.”
Karena itu, Ibn Hajar al-Haitami, dalam kitab Fatawa-nya menyatakan, menurut az-Zarkasyi, “Sunah dalam semua dzikir adalah perlahan, kecuali talbiyyah [dianjurkan keras]. Al-Azra’i berkata, “Imam as-Syafii radhiya-Llahu ‘anhu telah membawa hadits-hadits dzikir jahr kepada konteks orang yang ingin memberikan pelajaran.” Dalam kitab al-‘Ubab disebutkan, “Disunahkan berdoa dan dzikir dengan perlahan. Imam boleh mengeraskan keduanya setelah salam dengan tujuan memberi pelajaran kepada orang Mukmin. Jika mereka sudah tahu, hendaknya mereka [melafalkannya dengan lirih].”
Adzan, Mu’adzin, dan Tatacaranya
Masjid sebagai rumah Allah, dan tempat ibadah, khususnya shalat berjamaah, maka menghidupkan shalat jamaah di masjid bagian dari fardhu kifayah. Fardhu tersebut bisa ditunaikan, jika ada adzan yang dikumandangkan Mu’adzzin untuk memanggil kaum Muslim agar datang ke masjid. ‘Aisyah menuturkan, “Ketika adzan telah dikumandangkan, Nabi SAW pun bergegas memenuhi panggilanNya, dan mengacuhkan apa saja yang ada di sekitarnya. Bahkan, aku yang ada di sampingnya pun seolah tak dikenalnya.”
Adzan tidak boleh dikumandangkan dengan lagu yang bisa mengubah makna. Adzan yang dikumandangkan harus oleh Mu’adzin tetap. Jika tidak, harus seizin Mu’adzin tetap, kecuali khawatir waktunya lewat, jika harus menunggu Mu’adzin tetap. Adzan atau iqamat tidak boleh disela dengan waktu diam yang lama, kata-kata mubah atau umpatan. Adzan pun tidak boleh dikumandangkan sebelum waktunya, kecuali sebelum Fajar, yaitu setelah pertengahan malam [waktu tahajud]. Jeda antara adzan dan iqamat, dalam kitab alBahr, disebutkan sepanjang orang membaca 40 ayat al-Qur’an. Orang yang mendengarkan adzan disunahkan mengucapkan apa yang dia dengar, kecuali “Hayya ‘ala as-shalat” dan “Hayya ‘ala al-Falah”. Begitu juga disunahkan berdoa, setelah Mu’adzin selesai mengumandangkan adzan, yang dengannya Nabi SAW akan memberi syafaat kelak di akhirat. Bagi orang yang sudah di masjid setelah adzan wajib mengikuti shalat jamaah, dan tidak boleh meninggalkan masjid, kecuali ada udzur syar’i.
Mereka yang memenuhi seruan adzan pun diberi kesaksian oleh Allah. Karena itu, para ulama’ salaf mengatakan, “Jika kalian menyaksikan seseorang menghidupkan masjid, maka berbaik sangkalah kepadanya.” [Tafsir al-Qurthubi, QS atTaubah: 18]. Jika mereka yang menjawab adzan secara lisan dan berdoa saja mendapatkan syafaat dari Nabi, lalu bagaimana jika mereka memenuhi panggilannya secara nyata dengan mendirikan shalat, atau shalat berjamaah di masjid? Tentu lebih lagi.
Adzan, selain merupakan panggilan Allah kepada orang Mukmin untuk memakmurkan masjid, dan karenanya mereka yang berangkat memenuhi seruan Allah diberi kesaksian oleh Allah sebagai “orang Mukmin”, juga merupakan wujud syiar Islam. Dengannya, syiar Islam dikumandangkan, setidaknya lima kali sehari ke seluruh penjuru bumi. Dengannya pula tampak, apa yang disabdakan Nabi, “Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggiannya.” [HR adDaruquthni dan al-Baihaqi]
Meski begitu, adzan tidak boleh dikumandangkan sewaktu-waktu, kecuali waktu yang telah ditetapkan, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Sampai sekarang, di Masjid Nabawi maupun Masjid al-Haram, selain adzan untuk shalat, kedua masjid tersebut juga tidak mengumandangkan suara lain. Misalnya, bacaan Alquran, atau Shalawat Tarhim sebelum Subuh sebagaimana yang dilakukan di beberapa masjid di negeri Muslim yang lain.
Meskipun ini tidak dilarang, namun sebaiknya memperhatikan pandangan ‘Umar bin al-Khatthab dan Imam as-Syafii di atas. Karena umumnya, bacaan tersebut diputar di dalam masjid, lalu suaranya keluar. Di masjid sendiri suaranya keras, keluar juga demikian. Tujuannya baik, tetapi bisa menganggu kekhusyu’an orang yang hendak beribadah, baik di dalam masjid maupun di rumah-rumah.
Selain itu, Alquran sendiri mengajarkan, “Jika al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dengan seksama, dan diamlah.” [QS al-A’raf: 204]. Hukum mendengarkan dengan seksama [fastami’u lahu] dan diam [anshitu] ketika Alquran dibaca ini bersifat umum, baik ketika di dalam shalat, maupun di luar shalat. Konsekuensinya, ketika bacaan Alquran tersebut diperdengarkan, maka wajib mendengarkan dengan seksama, dan diam. Tetapi, yang terjadi tidak seperti itu. Justru, tampak ketika bacaan Alquran diperdengarkan, seolah tidak dihiraukan. Ini juga harus menjadi perhatian, sehingga maksud baiknya tidak menabrak perintah/larangan yang lain.
Begitulah, gambaran sekilas, bagaimana memakmurkan masjid, serta membersihkan masjid dari praktik yang bisa mengganggu pemakmurannya. Wallahu a’lam.[]
Sumber: Tabloid Media Umat | Edisi 155, 22 Syawal – 5 Dzulqaidah 1436 H/ 7 – 20 Agustus 2015