Oleh: Ahmad Abdurrahman al-Khaddami
Mukaddimah
Seiring meningkatnya penerimaan Umat Islam terhadap pemikiran Khilafah sebagai Sistem Pemerintahan Islam, masih ditemukan adanya penolakan atau setidaknya “keraguan” mengenai ada atau tidaknya nash (teks) yang jelas dan valid, bukan berupa opini atau tafsiran yang subjektif. Khilafah sebagai “sistem baku” sebuah pemerintahan dianggap tidak memiliki sandaran argumentatif dalam al-Quran al-Karim sebagai sumber asli (orisinal). Jika memang Khilafah sebagai Sistem Pemerintahan Islam merupakan pemikiran Islam “murni” bukan opini madzhab dan jama’ah tertentu, semestinya disebutkan secara jelas dalam al-Quran al-Karim sebagaimana shalat dan shaum; meskipun secara mujmal (global).
Nadirsyah Hosen telah membuat catatan dengan judul “Tidak Ada Istilah Khilafah dalam al-Quran” yang dimuat dalam situs NU Online (https://www.nu.or.id/post/read/104263/tidak-ada-istilah-khilafah-dalam-al-quran). Catatan serupa diajukan oleh Ahmad Sarwat dengan judul “Khilafah dalam Al-Qur’an” dalam akun facebooknya (https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2663942086956430&id=100000219936471).
Pemikiran tersebut perlu mendapat tanggapan. Pemikiran tersebut setidaknya dapat ditinjau dengan beberapa teori pemikiran Islam yang mu’tabar, yakni (1) Hadits sebagai penjelas (al-Bayan) bagi al-Quran, (2) Pemaknaan al-Quran berdasarkan Mafhum Nash, dan (3) Pengalihan makna suatu lafazh dalam al-Quran dari makna lughawi menjadi makna syar’i. Apakah penolakan atau “keraguan” tersebut dapat dibenarkan berdasarkan ketiga teori tadi ataukah tidak? Apakah terdapat teori lain yang menjadi sandaran pemikiran tersebut, yang dianggap mu’tabar dan mu’tamad, atau setidaknya termasuk mukhtalaf fihi? Ataukah sekedar sikap yang dipengaruhi Hadharah Asing semisal Liberalisme dan Pragmatisme?
A. Hadits sebagai Penjelas al-Quran
Hadits secara istilahi didefinisikan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir/diamnya beliau. Secara umum, keterkaitan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan berbagai pemikiran Islam, tercermin dalam 2 (dua) fungsi dan peranan, yaitu: pertama, menjelaskan makna-makna al-Quran yang merupakan hujjah bagi ar-Risalah; dan kedua, menetapkan suatu pemikiran yang tidak disebutkan al-Quran. Maksud menjelaskan makna-makna al-Quran adalah menerangkan ayat yang maknanya perlu dijelaskan secara terperinci (tafshîl al–mujmal), menghususkan ayat yang maknanya umum (takshîsh al-‘âm), membatasi ayat yang maknanya bersifat mutlak (taqyîd al-mutlaq), dan menetapkan pemikiran-pemikiran cabang yang asalnya ada dalam al-Quran (ilhâq al-furû’ bi al-ashl).
Dengan demikian, berhujjah dengan Hadits pada asalnya merupakan bagian dari berhujjah dengan al-Quran. Mengingkari kehujjahan Hadits berarti mengingkari bagian dari ayat al-Quran. Diantara ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut semisal:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Dan Kami menurunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Quran) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka”. (Q.S. an-Nahl : 44)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah maka ikuti saya niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian”. (Q.S. Ali Imran : 31)
Sebagian pihak “membela diri” bahwa yang diragukan ialah berbagai periwayatan Ahad yang zhanni (spekulatif), bukan menolak kehujjahan Hadits secara mutlak. Pada prinsipnya, ungkapan tersebut merupakan bentuk lain dari Inkar Sunnah, dikarenakan pada umumnya apa yang disebut sebagai Hadits merupakan periwayatan Ahad. Dapat dikatakan bahwa Hadits yang diriwayatkan secara mutawatir sangatlah sedikit, apalagi yang berupa rincian pemikiran maupun hukum. Tidak ada kalangan fuqaha manapun yang secara sengaja mengabaikan hadits. Sehingga, jika suatu hadits tidak diamalkan sebuah madzhab, bisa jadi hadits tersebut dianggap mardud, mansukh, atau marjuh, sesuai metodologi ushuliyyah yang dipilihnya. Dimungkinkan pula, hadits tersebut merupakan hadits yang di dalamnya terdapat ikhtilaf, baik dalam aspek sanad, rawi, maupun matannya, serta bisa jadi hadits tersebut belum diketahui oleh pihak yang tidak mengamalkannya.
Secara keseluruhan madzhab-madzhab Islam bersepakat dalam mengamalkan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, hanya saja dalam penerimaan sebuah periwayatan yang tidak termasuk mutawatir, maka dalam perkara ini sempat terjadi perselisihan, dikarenakan pengaruh situasi politik dan persaingan antar madzhab. Sebagai contoh, Khawarij menolak periwayatan yang berasal dari pendukung Ali radhiyallâhu ‘anhu dan Muawiyyah radhiyallâhu ‘anhu, sebagaimana Syiah membatasi diri dengan apa yang diklaim sebagai periwayatan Ahli Bait saja. Selain faktor-faktor tersebut, kehati-hatian dalam penerimaan hadits juga dipengaruhi oleh lingkungan pemikiran yang dihadapi para ulama, saat mereka mendapatkan periwayatan. Sebagai contoh, para ulama di Irak dikenal cukup ketat dalam menerima sebuah periwayatan, dikarenakan lrak merupakan tempat yang di dalamnya banyak beredar hadits-hadits palsu. Tentu hal tersebut, berbeda dengan para ulama di Hijaz yang merupakan tempat asal bagi risalah Islam, terutama Madinah sebagai tempat tinggalnya Rasulullah Saw. dan para sahabat senior. Bahkan dari kalangan Muktazilah yang dikenal dengan pemikiran ra’yu-nya tetap berhujjah dengan Hadits Ahad dalam masalah hukum sebagaimana dilakukan oleh Imam al-Qadhi Abdul Jabbar asy-Syafi’i dan Imam az-Zamakhsyari al-Hanafi.
Adapun diantara hadits yang secara sharih menjelaskan Khilafah dan Khalifah sebagai bagian dari konsepsi pemerintahan Islam ialah sebagai berikut:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu Bani Israil diurus para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para Khalifah yang banyak. Tepatilah baiat yang pertama, dan hanya itu. Dan penuhilah hak mereka karena Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka”.
Hadits ini diriwayatkan para Imam: Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan Ibn Majah dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dan shahih kualitasnya, muttafaq ‘alaih, sanadnya marfu’ muttashil, serta para rawinya merupakan rijâl-nya kitab ash-Shahîh.
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
“Akan berlangsung masa kenabian di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki, lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung masa khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kekuasaan yang zhalim selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung pemerintahan yang diktator selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian akan muncul kembali khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian.”
Hadits ini diriwayatkan para Imam: Ahmad, ath-Thayalisi, dan al-Bazzar dalam al-Musnad-nya masing-masing dari Sayyidina Hudzaifah ibn al-Yaman radhiyallâhu ‘anhu hadits ini dinilai shahih oleh Imam Zainuddin al-‘Iraqi, guru dari Imam al-Haitsami dan Syaikh al-Islam Imam Ibn Hajar dan diterima oleh Imam al-Baihaqi.
Demikian pula berbagai hadits lain yang menyebutkan Khalifah, Imam, ataupun Bai’ah. Syaikh al-Musnid al-Qadhi Yusuf ibn Isma’il an-Nabhani menjelaskan dalam karyanya, al-Ahâdîts al-Arba’în fî Wujûb Thâ’ah Amîr al-Mu`minîn, sebagai berikut:
والْإِمَامُ في جميع الاحاديث الخليفة … والبيعة معاهدة الامام على السمع والطاعة
“Imam dalam semua hadits-hadits adalah Khalifah … Bai’ah ialah perjanjian (dengan) Imam untuk mendengar dan taat”.
Hadits-hadits tersebut ditempatkan oleh para Imam: al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah pada Kitab al-Ahkam, Imam Muslim dan Imam Abu Daud pada Kitab al-Imarah, serta Imam an-Nasa`i pada Kitab al-Bai’ah.
Adapun mengenai kesatuan pemerintahan yakani kewajiban untuk mengangkat Khalifah yang satu (tunggal), maka para ahli fiqih telah bersepakat tentangnya, dikarenakan hadits-hadits mengenai hal tersebut telah jelas, diantaranya:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخِر مِنْهُمَا
“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah oleh kalian yang terakhir (dibaiat) diantara keduanya.”
Hadits ini diriwayatkan Muslim dan Abu ‘Awanah dari Sayyidina Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu ‘anhu. Statusnya shahih, sanadnya marfu’ muttashil, serta para rawinya di ketiga tingkatannya merupakan rijâl-nya kitab ash-ShahÎh, diterima an-Nawawi dan Ibn Hajar al-Asqalani, meskipun dilemahkan oleh al-Uqaili dan adz-Dzahabi; terdapat syawahid dengan berbagai jalur, yakni Ibn ‘Asakir dalam Târîkh ad-Dimasyq dari Sayyidina Ibn Abbas dan Amirul Mu’minin Sayyidina Ali radhiyallâhu ‘anhum dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Târîkh Baghdâd dari Sayyidina Anas radhiyallâhu ‘anhu, dengan lafad yang sama, serta ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dengan lafad yang semakna; semua sanadnya dianggap bermasalah, kecuali sanadnya ath-Thabrani yang para perawinya dinilai tsiqah oleh Imam al-Haitsami. Selain itu, terdapat Hadits yang diriwayatkan para Imam: Ahmad, Muslim, Abu Daud, an-Nasa`i, dan Ibn Hibban serta al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân, al-Hakim, ath-Thayalisi, Abu ‘Awanah, dan ath-Thabrani, dengan lafad yang semisal dari Sayyidina ‘Arfajah radhiyallâhu ‘anhu dengan lafad:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ
“Barangsiapa yang hendak memecah belah urusan umat ini sedangkan mereka bersatu maka bunuhlah dengan pedang siapapun dia”.
Para ulama yang menegaskan kewajiban mengenai kesatuan pemerintahan, diantaranya semisal para imam: al-Mawardi, Abu Ya’la, Ibn Abdil Barr, Ibn Hazm, al-Haramain, al-Bazdawi, an-Nawawi, al-Qurthubi, dan Ibn Katsir. (Al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, h. 29; Abu Ya’la, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, h. 25; Ibn Hazm, al-Muhlâ, IX/360; Ibn Abdil Barr, al-Istidzkâr, III/190; al-Haramain, Ghiyâts al-Umam, h. 172; al-Bazdawi, Ushûl ad-Dîn, h. 195; an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/232; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, I/273; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/222).
Dengan demikian, penolakan atau “keraguan” terhadap Khalifah dan Khilafah sebagai konsepsi pemerintahan Islam meniscayakan penolakan terhadap Hadits Ahad sebagai hujjah dalam hukum. Hal tersebut dikarenakan hadits-hadits mengenai Khalifah, Imam, dan Bai’ah merupakan hadits Shahih yang diterima kalangan muhadditisn maupun fuqaha.
Sedangkan penolakan Hadits Ahad secara mutlak pada prinsipnya merupakan bentuk lain dari Inkar Sunnah, sehingga meniscayakan adanya pengingkaran ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tahkim dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikarenakan Hadits merupkan penjelas bagi al-Quran.
Sebagian pihak menolak atau “meragukan” hadits-hadits tentang siyasah/politik berdalih dengan teori tarjih berdasarkan “kritik matan”. Namun, yang perlu diwaspadai ialah tarjih suatu matan karena dipengaruhi pemikiran dan hukum selain Islam. Terkadang seorang peneliti mengalami bias pemahaman, sekalipun kajian dan penelitiannya dilandasi keikhlasan. Terutama jika dikaitkan dengan “tafsir kontekstual” terhadap suatu nash, baik al-Quran maupun al-Hadits. Selanjutnya, makna-makna yang disimpulkan dari metodologi rusak tersebut dianggap sebagai sebab yang dapat menguatkan salah satu hadits. Tanpa disadari, pendapat yang lahir dari tarjih tersebut merupakan pendapat yang tidak syar’i, hukum yang dihasilkannya bukan hukum Islam, karena tidak berlandaskan pada wahyu, namun lahir dari hawa nafsu. Pemikiran yang “menjauhkan” politik dan pemerintahan dari pemikiran Islam jelas dipengaruhi oleh Sekularisme yang meniscayakan “pemisahan ad-Din dari negara”.
Tentu termasuk gharib dan syadz, apabila ada sebagian pihak yang mempertahankan bentuk pemerintahan selain Khilafah (misal: Republik, Kerajaan) dan membangun ikatan bagi masyarakatnya dengan selain Islam (misal: Nasionalisme, Patriotisme, Kemadzhaban). Padahal, sistem Khilafah dengan ikatan Islam-nya merupakan pemikiran yang diitinbath dari nash-nash syar’i, sedangkan konsepsi selainnya, tidaklah sedikitpun berasal dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahkan bertentangan dengannya, sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh dari Sayyidatina Ummahatul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka dia tertolak.” Wallâhu A’lâm.
B. Mafhum an-Nash dalam Pemaknaan al-Quran
Diantara ayat al-Quran yang secara sharih menyebutkan lafazh Khalifah ialah surat Q.S. al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).
Imam Ibn Jarir ath-Thabari menukil berbagai riwayat penafsiran dari Ibn Ishaq, Rabi’ ibn Anas, Ibn Zaid, Ibn Sabith, Hasan al-Bashri, Ibn Abbas, dan Ibn Mas’ud, lalu menyimpulkan sebagai berikut:
.
فكان تأويل الآية على هذه الرواية التي ذكرناها عن ابن مسعود وابن عباس: إني جاعل في الأرض خليفةً منّي يخلفني في الحكم بين خلقي. وذلك الخليفة هو آدمُ ومن قام مقامه في طاعة الله والحكم بالعدل بين خلقه.
“Maka ta`wil ayat berdasarkan riwayat yang kami sebutkan dari Ibn Mas’ud dan dan Ibn Abbas إني جاعل في الأرض خليفةً, dari-Ku dia menggantikan ‘mewakili’ dalam menetapkan hukum ‘keputusan’ diantara ciptaan-Ku. Oleh karena itu, Khalifah ialah Adam dan orang yang menempati kedudukannya dalam ketaatan pada Allah dan menetapkan hukum dengan adil diantara ciptaan-Nya”. (Ibn Jarir, Jâmi’ al-Bayân, I/449-452).
Adapun Imam al-Qurthubi menjelaskan sebagai berikut:
هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة.ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه
“Ayat ini merupakan asal/pokok dalam pengangkatan Imam dan Khalifah yang didengar dan ditaati untuk menyatukan kalimah dan menerapkan hukum-hukum Khalifah. Tiada ada perbedaan mengenai kewajiban tersebut diantara umat, tidak pula di kalangan para Imam kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Assham yang dia tuli dari Syariah, demikian pula setiap orang yang berpendapat dengan qaulnya dan mengikuti pendapat dan madzhabnya”. (al-Qurthubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, I/263).
Sedangkan Imam Ibn Katsir menjelaskan sebagai berikut:
وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
“al-Qurthubi dan yang lainnya telah ber-istidlal dengan ayat ini mengenai kewajiban pengangkatan Khalifah untuk memutuskan perselisihan diantara masyarakat, menghilangkan persengketaan, menolang yang terzalimi dari yang menzalimi, menegakkan hudud, memberikan sanksi bagi pelaku kekejian, dan yang lainnya dari berbagai urusan penting yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya Imam, Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itupun menjadi wajib.(Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/221)”.
Sebagaimana kajian fiqih, terdapat 2 (dua) pendekatan dalam menafsirkan al-Quran, yakni tafsir yang bersandar pada atsar, dikenal dengan tafsîr bi al-ma`tsûr, dan tafsir yang bersandar pada ra’yu, dikenal dengan tafsîr bi ar-ra’yi. Perbedaan pendekatan tersebut mirip dengan perbedaan diantara ahli hadits dan ahli ra’yu di kalangan fuqaha. Kedua pendekatan tersebut tidak saling bertentangan, namun saling melengkapi.
Yang perlu dipahami dari perbedaan kedua pendekatan tersebut ialah mengenai penggunaan periwayatan mauquf dan maqthu’, terutama yang di dalamnya tidak secara jelas terdapat kondisi-kondisi yang dapat dikategorikan sebagai marfû’ hukman. Selain itu, perbedaan keduanya didominasi dalam pemaknaan aspek mafhûm dan ma’qûl suatu nash. Sebagian ulama, sekalipun bersikap leluasa dalam kajian fiqih, namun mereka sangat berhati-hati dalam kajian tafsir, sedangkan ulama yang lain mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memahami tafsir suatu ayat.
Sebagai sebuah perbandingan kedua pendekatan tersebut dalam penggunaan hadits atau periwayatan, dalam penafsiran surat al-Fatihah ayat ke-7, para Imam: Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim, dan Ibn Katsir menafsirkan maghdhûbi ‘alaihim, dengan Yahudi dan adh-dhâllîn, dengan Nasrani, bersandar pada periwayatan marfu’ dan mauquf; sedangkan para Imam: al-Fakhr ar-Razi, al-Baidhawi, dan an-Nasafi lebih memperluasnya dengan pendalaman pemaknaan lafad al-Ghadhab (dimurkai) dan adh-Dhalâl (sesat), sekalipun menyebutkan penafsiran yang pertama. (Ibn Jarir, Jâmi’ al-Bayân, I/195; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/143; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, I/210; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, I/31; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, I/32).
Dengan demikian, penafsiran Imam al-Qurthubi tidak “bertentangan” dengan penukilan Imam Ibn Jarir, bahkan sesuai dengan pendapat Imam Ibn Jarir, bahkan disetujui oleh Imam Ibn Katsir. Hal tersebut dikarenakan penukilan Imam Ibn Jarir berkaitan dengan manthuq nash sedangkan penafsiran Imam al-Qurthubi menggunakan mafhum nash. Fungsi Khalîfah fil Ardhi untuk mengurus dan memakmurkan bumi akan meninscayakan keruasakan dan pertumpahahn darah jika tidak dipandu oleh wahyu Allah ‘azza wa jalla berupa hukum-hukum syariah, sedangkan penerapan hukum-hukum syariah membutuhakan keberadaan seorang Khalifah dengan sistemnya, yakni Khilafah. Dengan kata lain, ayat tersebut dimaknai berdasarakan Dalâlah Isyârah, yang dikuatkan dengan kaidah syar’i :
ما لا يتم الواجب إلاّ به فهو واجب
“Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itupun menjadi wajib”. Wallahu A’lam.
C. Lafazh Manqul dalam al-Quran
Dari aspek peristilahan (ishtilâhiyyah), terdapat teori lafazh manqul, yakni kata yang mengalami perubahan makna dari makna asalnya, baik dikarenakan nash syar’i (syar’iyyah), ataupun kesepakatan ahli (‘urfiyyah); baik yang berkaitan dengan makna sebenarnya (haqîqah) ataupun makna yang dialihkan (majâz). Yang dimaksud lafazh manqul yang syar’i ialah lafazh yang berubah maknanya sesuai penunjukkan dalil yang dikehendaki nash syar’i, bukan disesuaikan dengan peristilahan para ulama yang membahasnya, semisal kata khalîfah, khilâfah, bai’ah, islâm, îmân, dan ihsân. Sedangkan yang dimaksud lafazh manqul yang ‘urfi ialah lafazh yang berubah maknanya sesuai kesepakatan para ahli, baik yang bersifat umum, maupun bersifat khusus, semisal shahîh, hasan, dha’îf, mursal, mauqûf, musnad, munkar, matrûk, jihâlah, mastûr, tsiqah, shâlih, dan sebagainya.
Lafazh-lafazh tersebut berbeda maknanya dengan makna awalnya secara bahasa. Sebagai contoh ialah lafad khalîfah dan khilâfah. Secara bahasa berasal dari lafad khalafa, bermakna menggantikan, maka khalîfah diartikan dengan “yang menggantikan” dan khilâfah diartikan sebagai “pergantian”, yakni mashdarnya. (Imam Ibn Manzhur, Lisân al-Arab, IX/82). Berdasarkan istinbath terhadap nash – nash syar’i, para ulama mengalihkannya menjadi lafazh-lafazh yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Diantaranya semisal pendefinisian berikut:
Syaikh al-Azhar Syaikh Ibrahim ibn Muhammad al-Bajuri
(الخلافة) النيابة عن النبي صلى الله عليه وسلم في عموم مصالح المسلمين
“(Khilafah) Pengganti dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam keumuman berbagai kemashlahatan kaum muslimin”. (Ibrahim al-Bajuri, Tuhfah al-Murîd Syarh Jauhar at-Tauhîd, hlm. 85)
Sayyid ‘Ulama al-Hijaz Syaikh Nawawi Muhammad ibn Umar al-Jawi
(الخلافة) النيابة عن النبي صلى الله عليه وسلم في عموم مصالح المؤمنين
“(Khilafah) Pengganti dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam keumuman berbagai kemashlahatan kaum mu’minin”. (Nawawi al-Jawi, Tîjân ad-Durârî Syarh ‘ala Risâlah al-Bâjûrî, hlm. 15)
Dalam kedua definisi tersebut jelas bersandarkan pada hadits Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dan Sayyidina Hudzaifah ibn al-Yaman radhiyallâhu ‘anhu yang disebutkan sebelumnya mengenai peranan para Khalifah setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berkaitan dengan Khalifah dan Khilafah sebagai konsespsi pemerintahan Islam, sebagian ulama membahasnya pada kajian akidah, semisal para Imam: al-Asy’ari, al-Baqillani, al-Bazdawi, an-Nasafi, al-Baidhawi, at-Taftazani, al-Ijji, dan Ibn al-Humam, serta Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Sayyid Husain Afandi, dan Syaikh Nawawi al-Jawî; sebagian ulama membahasnya pada kajian fiqih secara umum, semisal para Imam: Ibn Hazm, Zakariya al-Anshari, Syamsuddin ar-Ramli, al-Khathib asy-Syarbini, Ibn Najim, dan al-Bahuti, serta Syaikh Ibn Abidin, Syaikh Muhammad al-Muthi’i, dan Syaikh Wahbah az-Zuhaili; sebagian ulama membahasnya pada kajian fiqih secara khusus (fiqih siyasah), semisal para Imam: al-Mawardi, al-Haramain, Abu Ya’la, Ibn Taimiyyah, dan al-Qalqasyandi, serta Sayyid al-Kattani, Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdullah ad-Dumaiji, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dan Syaikh Abdul Qadim Zallum; sebagian ulama membahasnya saat men-syarah hadits, semisal para Imam: Ibn Abdil Barr, an-Nawawi, Zainuddin al-Iraqi, dan Ibn Hajar al-Asqalani, serta Syaikh Yusuf an-Nabhani; sebagian ulama membahasnya saat menafsirkan al-Quran, semisal para Imam: al-Fakhr ar-Razi, al-Qurthubi dan Ibn Katsir; sebagian yang lain membahasnya dengan uslub yang dipilihnya, semisal para Imam: asy-Syafi’i, Ibn Khaldun, dan as-Suyuthi, serta Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Waliyullah ad-Dahlawi, Syaikh Muhammad al-Khidhir, Syaikh Mushthafa Shabari, Syaikh al-Maududi, Syaikh Hasan al-Banna, dan Syaikh Ali Bailhaj; yang dalam pembahasannya terkadang lafad khalîfah digantikan lafad imâm dan lafad khilâfah digantikan lafad imâmah, dikarenakan lafad-lafad tersebut sinonim.
Dengan demikian, pendapat yang mewajibkan ketaatan terhadap penguasa negeri Islam saat ini atau yang melarang pilihan masyarakat yang tidak ikut serta dalam pemilihan mereka, dengan menggunakan hadits-hadits kepemimpinan bukanlah pendapat yang syar’i. Selain landasannya yang dipengaruhi oleh Sekularisme, Liberalisme, dan Pragmatisme, penggunaan lafazh khalîfah yang ditujukan terhadap raja atau presiden dengan anggapan lafad tersebut dimaknai sebagai “pemimpin secara umum”, jelas merupakan kesalahan yang berat. Sebagaimana pembahasan sebelumnya secara bahasa makna khalîfah bukanlah “yang memimpin”, tapi “yang menggantikan”. Berarti argumentasi pendapat tersebut merupakan pendalilan yang memaksakan diri. Apabila lafazh khalîfah dimaknai dengan “yang memimpin”, mestilah ditujukan terhadap pemimpin yang hanya menerapkan aturan dan perundang-undangan Islam.
Jadi, pada asalnya sebagaimana shalat dan shaum, lafazh Khalifah dan Khilafah jika tidak tidak ada qarinah yang mengembalikannya kepada makna bahasa dimaknai sebagai konsepsi pemerintahan Islam, semisal Q.S. an-Nur ayat 55:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan memberikan Istikhlaf kepada mereka di bumi, sebagaimana Dia telah memberikan Istikhlaf kepada orang-orang yang sebelum mereka”. (Q.S. an-Nur:55).
Para Imam mufassirin menjadikan ayat ini sebagai dalil pembahasan Khilafah sebagai sebuah pemerintahan Islam yang menguasa Arab dan ‘Ajam, sebagaimana disebutkan para Imam: Ibn Jarir, Ibn katsir, al-Qurthubi, ar-Razi, al-Baidhawi, dan an-Nasafi. Wallahu A’lam.
Khatimah
Berdasarkan tinjauan ketiga teori sebelumnya dapat ditetapkan bahwa penolakan atau “keraguan” terhadap Khalifah dan Khilafah sebagai konsepsi pemerintahan Islam tidak ditemukan adanya kesesuaian dengan manhaj mu’tabar dan mu’tamad di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan cenderung mengakibatkan adanya penolakan terhadap nash al-Quran, setidaknya yang berkaitan dengan dalil tahkim dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang jelas, dalam alur kajian tafsir al-Quran yang mu’tabar dan mu’tamad, menjadikan Khalifah dan Khilafah sebagai konsepsi pemerintahan Islam bukanlah hal yang gharib maupun syadz. Justru, diperlukan adanya hujjah yang kokoh bagi sebagian pihak yang “menerima” konsepsi pemerintahan yang tidak diistinbath dari al-Quran dan Hadits, maupun Ijma’ dan Qiyas. Apalagi jika bersandar pada teori “kekosongan hukum” dan tafsir kontekstual, dikarenakan pengabaian suatu hukum bermuara pada “tuduhan” bahwa adanya kekurangan dalam Hukum Syariah atau hukum yang lain lebih baik dari Hukum Syariah. Wallahu A’lam.
Jawa Barat, 1 April 2019
(Penulis adalah Kontributor di Raudhah Tsaqafiyyah, Pusat Kajian Pemikiran Islam dan Turats)