Oleh: Fika Komara
Transformasi “Campursari” Politik China
Terjadinya Perang Candu antara Cina dan Inggris pada tahun 1839-1842 serta dengan semakin cepatnya penetrasi teknologi, budaya, ekonomi, dan politik Barat, mengakibatkan pola tradisional China yang bertahan selama berabad-abad lamanya mulai goyah. Setelah Perang Candu merupakan masa perlawanan terhadap Barat dalam sejarah Cina. Kemenangan Inggris memaksa Cina mengakui superioritas militer Asing. Hal ini merupakan pertama kalinya dalam sepanjang sejarah Cina, di mana Cina dipaksa untuk menandatangani perjanjian tidak seimbang. Perjanjian Nanjing merupakan titik balik dalam hubungan Cina dengan Barat. Menjelang akhir abad ke-19, wilayah-wilayah Cina jatuh ke dalam kekuasaan negara-negara Barat, seperti Hongkong dan Weihaiwei ke tangan Inggris, Qingdao ke tangan Jerman, Makao ke tangan Portugal, Guangzhouwan ke tangan Prancis, dan Dalian ke tangan Rusia. Jepang pun ikut memperoleh keuntungan ekonomi, politik, dan teritorial di Cina, karena memperoleh wilayah pinggiran, seperti Korea dan Taiwan. Kenyataan-kenyataan demikian merupakan perubahan yang mendasar bagi tatanan Cina tradisional. Mereka dipaksa melakukan perjanjian dengan Barat untuk mengakui eksistensi sekaligus penetrasi negara-negara Barat ke wilayah Cina secara lebih luas dan leluasa.
Pengalaman sejarah seperti yang dikemukakan di atas memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap kesadaran para pemimpin Cina modern (Pasca-Revolusi 1911). Kesadaran ini tidak hanya di kalangan pemimpin Komunis, tetapi juga di kalangan pemimpin Cina Nasionalis (Guomingdan). Kebangkitan Cina sebagai salah satu kekuatan yang dianggap akan menggantikan dominasi Amerika dan Rusia tentu tidak lepas dari kebijakan strategis bangsa Cina sendiri dalam menyikapi kecenderungan yang ada. Orang sering heran mengapa Cina menjadi negara komunis. Kalau diingat bahwa ideologi komunisme adalah ideologi yang paling modern pada waktu itu, dan bahwa komunisme adalah produk negara Barat, bisa dimengerti mengapa intelektual Cina begitu bergairah memeluknya. Berdirinya Partai Komunis Cina (PKC) pada tahun 1921 harus dipahami sebagai strategi. Starategi untuk mengalahkan Barat dengan alat Barat (Wibowo, 2004: 217). Ini berarti bahwa Cina tidak “malumalu” untuk mengubah kebijakan ataupun ideologinya untuk mencapai keinginannya.
Perubahan kebijakan luar negeri Cina juga selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhannya. Kemampuan para pemimpin bangsa Cina yang selalu tanggap dalam menyikapi perubahan internasional sangat berpengaruh kepada kebijakan luar negerinya. Tetapi hal yang paling dominan dalam perubahan politik luar negerinya adalah keadaan dalam negerinya yang sangat mempengaruhi tingkah lakunya di dunia internasional. (Hallang, 2007)
Tiongkok yang selama ribuan tahun berbentuk monarki absolut kemudian berevolusi menjadi negara republik modern pada tahun 1911. Negara yang dipelopori oleh Dr. Sun Yat Sen ini hanya berkembang selama tiga puluhan tahun dan kemudian muncullah revolusi Komunisme dan berdirilah Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949. Secara umum, Tiongkok telah mengalami beberapa kali pergantian sistem politik. Perkembangan politik ini juga telah membawa arti dan budaya politik di Tiongkok. Dalam perjalanan kekuasaan, PKC di Tiongkok tidak berarti tidak ada perubahan, ia juga mengalami pasang surut dan perebutan kekuasaan. Hanya saja, dalam perkembangannya, masyarakat Tiongkok, para cendekiawan, para politikus, dan juga elit partai belajar terus dari pengalaman dan melakukan beberapa perubahan. Terutama, Reformasi Ekonomi pada tahun 1978. Di situlah sebenarnya yang menjadi tonggak kebangkitan ekonomi Tiongkok dan sekaligus menandai proses adaptasi PKC terhadap perkembangan ekonomi dunia.
Tiongkok pada dasarnya telah berubah sama sekali. Garis politiknya yang ‘campur sari’ tapi adaptif terhadap perkembangan global telah membuat Tiongkok tidak lagi seperti negara komunis yang nampak pada masa Mao Ze Dong berkuasa. Tiongkok telah memiliki wajah baru yang berbeda. Tiongkok telah muncul menjadi satu kekuatan dunia namun dengan sistem politik Komunis khas Tiongkok namun mengadopsi ekonomi Kapitalis, juga ada pengaruh dari filsafat Konfusianisme yang dipegang masyarakat Tiongkok selama ribuan tahun dan masih berpengaruh besar dalam konteks politik. (Hakam, 2018) Singkat cerita adalah berpuncak pada awal kepemimpinan Xi Jinping tahun 2012 lalu, dimana telah terjadi beberapa perubahan penting dalam pendekatan Cina untuk pembuatan kebijakan luar negeri dan hubungan internasional secara geopolitik. The New Silk Road atau Jalur Sutra baru merupakan kebijakan yang diluncurkan oleh Cina pada tahun 2013 di bawah pemerintahan Presiden Xi Jinping.
Hidupnya kembali mimpi China: pengokohan atas Kapitalisme Timur dan State Capitalism ala Tiongkok
Xi Jinping menguraikan apa yang disebut “Impian China” 29 November 2012, pada pertemuan politik formal besar (di museum nasional), yang menyatukan para anggota dari semua biro politik dan komite yang berdiri. Menurut pemahaman publik tentang konsep ini, itu mencakup dua tujuan utama: menggandakan pendapatan per kapita dari sekitar USD 600 menjadi 1.200 pada sekitar 2020, yang akan membawa Tiongkok ke dalam klub negara-negara maju saat merayakan seratus tahun Partai Komunis China dalam kekuasaan; dan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu pada pertengahan abad ini, saat Tiongkok merayakan peringatan 100 tahun sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Mimpi China ini telah melahirkannya sebagai kekuatan kapitalis baru, hanya saja dengan model China yakni state-capitalist ala China, yang cukup kontras dengan market-capitalist ala Amerika.
Dalam kerangka pikir inilah Xi Jinping dan Li Keqiang telah secara resmi mengumumkan rencana “Jalan Sutra” Belt and Road (OBOR) pada 2013 yang menyasar negara-negara tetangga yang kemudian sering disebut sebagai Marshall Plan versi Cina, dimana Marshal Plann adalah inisiatif Presiden AS (nama diambil dari Sekretaris Negara AS saat itu: George Marshall) pasca Perang Dunia II untuk membangun kembali dan memulihkan ekonomi Eropa Barat yang hancur akibat perang, ini memiliki kemiripan dengan OBOR karena sama-sama merupakan proyek mercusuar raksasa di aspek ekonomi yang berkaitan dengan ekspansi pembangunan infrastruktur.
Marshall Plan terjadi pada awal kebangkitan AS sebagai negara adikuasa kala itu, lantas apakah inisiatif OBOR ini juga pertanda China sedang menuju proses yang sama? Yang jelas OBOR merupakan mega proyek terbesar dalam sejarah umat manusia dilihat dari besarnya dana yang dikucurkan dan juga negara yang berpartisipasi. Bahkan 10 kali lebih besar daripada Marshall Plan.
Cina berupaya untuk kembali menghidupkan jalur sutra lama dan memperkenalkannya pada dunia internasional dengan nama The New Silk Road: One Belt, One Road. Tujuan Cina dalam memperbarui jalur sutra ini adalah untuk membangun kerjasama dengan berbagai negara yang ada di Asia, Afrika, dan Eropa dengan pembangunan berbagai infrastruktur untuk memperlancar jalur perdagangan antar tiga benua tersebut. Dengan demikian China dengan state capitalism nya telah berperan menjadi kontraktor raksasa global yang membangun jaringan infrastruktur lintas benua.
Kapitalisme mengajarkan perdagangan bebas dan pasar terbuka tetapi, pada kenyataannya, slogan-slogan ini menyembunyikan kecenderungan merkantilisme yang diekspresikan secara internasional dalam bentuk agenda imperialis yang rakus. Di mana prinsip-prinsip ekonomi Islam menjamin kemakmuran sejati bagi semua orang, Kapitalisme memastikan bahwa semua manfaat diperoleh negara yang dominan, karena kekayaan dengan cepat habis dari wilayah kolonial. Inggris di India, misalnya, mengembangkan infrastruktur rel dan kanal yang luas, tetapi konsekuensinya adalah ekstraksi yang rakus dari kekayaan India yang mengakibatkan pemiskinan besar-besaran di kawasan ekonomi terkemuka dunia dalam satu abad.
The New Silk Road ini mengusung semboyan One Belt, One Road (OBOR) mencakup dua konsep yaitu Silk Road Economic Belt dan The 21st Century Maritime Silk Road. Keduanya adalah strategi Cina dalam kerjasama ekonomi melalui rute-rute yang sudah ditentukan. Konsep Silk Road Economic Belt akan melalui jalur darat sedangkan The 21st Century Maritime Silk Road melalui jalur laut. Istilah OBOR kemudian diperhalus oleh pemerintahan Cina menjadi Belt and Road Initiative (BRI) lantaran khawatir kata ‘one’ bisa disalahartikan.
[Bersambung]
Sumber Bacaan
Andi Hallang, 2007, Pola Perubahan Kebijakan Luar Negeri Cina, Jurnal LITE Vol.3, diakses 21 Juni 2019
Saiful Hakam, 2018, Tiongkok Yang Adaptif: Politik Komunis, Ekonomi Kapitalis, Kolom Peneliti LIPI, diakses 21 Juni 2019
Simon Shen, 2016, How China’s ‘Belt and Road’ Compares to the Marshall Plan, the Diplomat, diakses 21 Juni 2019
Wang Yizhou, 2014, China’s New Foreign Policy: Transformations and Challenges Reflected in Changing Discourse, The Asan Forum, diakses 21 Juni 2019
Sumber: imune.id