Oleh: Yuana Ryan Tresna
Pada masa silam, ketika kehidupan Islam pertama di Madinah, mekanisme pasar[1] sangat dihargai.[2] Bahkan Rasulullah Saw (w. 11 H) menolak untuk membuat kebijakan penetapan harga (intervensi harga) ketika tingkat harga di Madinah pada saat itu mendadak naik. Sepanjang kenaikan terjadi karena kekuatan permintaan dan penawaran yang murni, bukan karena pasar terdistorsi,[3] maka tidak ada alasan untuk tidak menghormati harga pasar. Paling tidak, hal itu yang tersurat dalam Hadits Nabi sebagaimana yang dikeluarkan oleh Abu Daud (w. 275 H), Ibnu Majah (w. 275 H), Tirmidzi (w. 279 H), dan yang lainnya.
Teks Hadits
Anas bin Malik (w. 93 H) menuturkan bahwa pada masa Rasulullah Saw pernah terjadi kenaikan harga-harga yang tinggi. Para Shahabat lalu berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah Saw tetapkan harga demi kami!” Rasulullah Saw menjawab:
إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي َلأَرْجُوْ أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ
“Sesungguhnya Allahlah Zat Yang menetapkan harga, Yang menahan, Yang mengulurkan, dan yang Maha Pemberi rizki. Sungguh, aku berharap dapat menjumpai Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas kezhaliman yang aku lakukan dalam masalah darah dan tidak juga dalam masalah harta”.[4]
Takhrij Hadits
Berdasarkan penelusuran dengan berbagai metode takhrij hadits, hadits tersebut terdapat dalam mashadir ashliyyah-nya, yaitu Musnad al-Rabi’, Musnad Abu Ya’la, Mushanaf Abdur Razaq, Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi, Sunan al-Tirmidzi, Musnad al-Bazar, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, Shahih Ibnu Hiban, Sunan al-Baihaqi, dan Sunan al-Thabarani.
Hadits larangan penetapan harga oleh pemerintah (selanjutnya disebut larangan intervensi harga) adalah hadits muttashil karena semua thabaqah mulai shahabat sampai muddawinnya bersambung.
Dengan membandingkan matan hadits dari berbagai jalurnya, diketahui bahwa hadits tersebut diriwayatkan secara lafzhi, meski sebagiannya ada yang diriwayatkan secara ma’nawi. Demikian juga jika dicermati di antara matan-matan hadits “larangan intervensi harga” sebagaimana tercantum di atas, di dalamnya tidak terdapat tanaqudh ataupun ta’arudh.
Hadits tentang larangan intervensi harga termasuk hadits marfu’, qauli, dan haqiqi. Marfu’ artinya hadits tersebut idhafahnya disandarkan langsung pada Nabi Saw. Qauli artinya adalah hadits yang merupakan ucapan Nabi Saw. Adapun haqiqi adalah Hadits yang tanda bentuk dan idhafahnya eksplisit sabda Rasul Saw.
Kedudukan Hadits
Hadits larangan intervensi harga dapat disimpulkan secara umum merupakan hadits makbul dengan kategori shahih, karena diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, sanadnya muttashil (liqa’), matannya marfu’ (idhafah pada Nabi), tidak ada illat (penambahan pengurangan dan penggantian), dan tidak ada kejanggalan (tidak bertentangan dengan al-Qur’ân, Hadits shahih, dan akal sehat).
Adapun jika dirinci, dari jalur Anas bin Malik dari banyaknya jalur periwayatan memiliki derajat shahih berdasarkan syarat Muslim,[5] meski ada satu jalur yang melalui Hasan bin Yasar yang dinilai dha’if karena ada rawi’ yang munkar bernama Isma’il bin Muslim; dari jalur Abu Sa’id al-Khudriy berstatus Hasan, kecuali satu jalur yang matruk bernama Ali bin Ashim; dari jalur Abdullah bin Abbas tedapat dua rawi’ dalam jalur periwayatan yang berbeda yang terkategori majhul yakni Muslim bin Abi Karimah dan Muhammad bin Yazid bin Abdul Waris; dan dari jalur Wahab bin Wahab ada rawi bernama Ismail bin Abd al-Aziz yang dinilai dha’if.
Adapun adanya jalur lain dari Ali ra., sebagaimana informasi dari kitab al-Badr al-Munir fi Takhrîj al-Ahadits wa al-Atsar al-Waqi’ah fi al-Syahr al-Kabir karya Umar Ibn Ali Ibn al-Mulqan dan kitab al-Maudu’at karya Ibn al-Jauziy, penulis tidak mencantumkannya dalam rangkaian penelitian tesis ini karena penulis tidak menemukannya dalam kitab mashadir al-ashliyyah. Jadi menurut pendapat kami, hadits dari jalur Ali karamallahu wajhah bukan hanya dha’if tetapi juga tidak jelas asalnya (tidak otentik).
Syarah (Penjelasan)
Dalam Hasyiyah al-Sanadiy ‘ala Ibn Majah ditegaskan bahwa Ghala’ maksudnya adalah menilai suatu harga. Lafazh فَسَعِّرْ dengan ditasydid berarti tentukanlah harga bagi kami. Dialah Allah al-Musa’ir maksudnya adalah bahwa Allah menentukan suatu harga yang akan menjamin keadilan, tidak malah menimbulkan pertentangan seperti ketika ditetapkan oleh manusia. بِمَظْلِمَةٍ dengan lam dikasrah apa yang menuntutnya dari kezhaliman ketika kebijakan menentukan harga itu dilakukan. [6]
Dalam Tuhfah al-Ahwadziy, Mubarakfuriy memberikan penjelasan bahwa غلا السعر dengan sin yang dikasrah menjelaskan kondisi harga yang melambung tinggi, kemudian para shahabat meminta agar Rasulullah Saw. sebagai al-Sulthan menetapkan harga; karena penguasalah yang memiliki kewenangan dalam memegang urusan umat termasuk urusan pasar. Hanya saja Rasul menegaskan bahwa Allah-lah yang berwenang dalam menentukan harga pasar, bukan yang lainnya. Demikian Rasul menjelaskan sampai pada penjelasan bahwa Allah Swt. adalah Zat yang memberikan rizki. Kebijakan mengintervensi harga akan menyebabkan kezhaliman, yakni menetapkan sesuatu tidak sesuai haknya atau bukan pada tempatnya. Hadits ini menjelaskan –sebagimana maknanya termaktub- atas keharaman melakukan intervensi harga. Seorang imam adalah pemegang urusan dan kemaslahatan umat, bukan kemaslahatan satu pihak, baik penjual saja maupun pembeli saja. Dari Hadits ini juga memungkinkan adanya ragam ijtihad yang berbeda ketika menjelaskan apek-aspek turunannya.[7]
Demikian juga dalam kitab Syarh Sunan Abi Daud, dijelaskan bahwa Hadits ini dan semisalnya menegaskan bahwa Allah adalah pengatur dan pengendali. Hal inilah yang ditegaskan dalam lafazh إن الله هو المسعر القابض الباسط الرزاق. Intervensi harga dalam hal ini merupakan kezhaliman, meskipun boleh jadi masyarakat memerlukan penetapan tersebut. Kekuasaan Allah ini juga dijelaskan dalam al-Qur’ân surat al-Syura’ ayat 12 dan surat al-Dzariyat ayat 58.[8]
Fikih Hadits
Berdasarkan hadits ini, mazhab Hanbali dan Syafi’i menyatakan bahwa negara tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga.[9]
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari mazhab Hambali menulis, Imam (pemimpin/pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk, penduduk boleh menjual barang mereka dengan harga berapapun yang mereka sukai. Pemikir dari mazhab al-Syafi’i juga memiliki pendapat yang sama.[10] Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyampaikan:
ويحرم التسعير ولو في حال الغلاء
“Dan diharamkan pematokan harga meskipun dalam kondisi inflasi tinggi.”[11]
Ibnu Qudamah mengutip hadits di atas dan memberikan dua alasan tidak memperkenankan mengatur harga. Pertama, Rasulullah tidak pernah menetapkan harga meskipun penduduk menginginkan. Bila itu dibolehkan pasti Rasulullah akan melaksanakannya. Kedua, menetapkan harga adalah suatu ketidakadilan (zulm) yang dilarang. Hal ini karena melibatkan hak milik seorang, yang di dalamnya adalah hak untuk menjual pada harga berapapun, asal ia bersepakat dengan pembelinya.
Dari pandangan ekonomis, Ibnu Qudamah menganalisis bahwa penetapan harga juga mengindikasikan pengawasan atas harga tidak menguntungkan. Ia berpendapat bahwa penatapan harga akan mendorong harga menjadi lebih mahal. Sebab jika pedagang dari luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tidak akan mau membawa barang dagangannya ke suatu wilayah di mana ia dipaksa menjual barang dagangannya di luar harga yang dia inginkan. Para pedagang lokal yang memiliki barang dagangan, akan menyembunyikan barang dagangan. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta barang dagangan dan membuatkan permintaan mereka tidak bisa dipuaskan, karena harganya meningkat. Harga meningkat dan kedua pihak menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi dari menjual barang dagangan mereka dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tidak bisa dipenuhi. Inilah alasannya mengapa hal itu dilarang.[12]
Argumentasi itu secara sederhana dapat disimpulkan bahwa harga yang ditetapkan akan membawa akibat munculnya tujuan yang saling bertentangan. Harga yang tinggi, pada umumnya bermula dari situasi meningkatnya permintaan atau menurunnya suplai. Pengawasan harga hanya akan memperburuk situasi tersebut. Harga yang lebih rendah akan mendorong permintaan baru atau meningkatkan permintaannya, dan akan mengecilkan hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama, akan mendorang produksi dalam negeri, mencari pasar luar negeri (yang tidak terawasi) atau menahan produksinya sampai pengawasan harga secara lokal itu dilarang. Akibatnya akan terjadi kekurangan suplai. Jadi tuan rumah akan dirugikan akibat kebijakan itu dan perlu membendung berbagai usaha untuk membuat regulasi harga.
Pendapat Lain: Telaah Teori Larangan Intervensi Harga Menurut Yahya bin Umar al-Maliki
Memang hal ini ada khilafiyah. Sejumlah ahli fiqih Islam mendukung kebijakan pengaturan harga, walaupun baru dilaksanakan dalam situasi penting dan menekankan perlunya kebijakan harga yang adil. Mazhab Maliki dan Hanafi, menganut keyakinan ini. Ibnu Taimiyah termasuk yang menguji pendapat-pendapat ulama madzhab dan menjawab kapan penetapan dilarang dan kapan dibolehkan.
Diantara fokus bahasan kitab Ahkam al-Suq adalah terkait hukum-hukum pasar yang tercermin dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga).[13] Berkaitan dengan hal tersebut, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tas’ir (penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai Hadits Nabi Muhammad Saw riwayat Abu Daud. Jika kita mencermati konteks Hadits tersebut, tampak jelas bahwa Yahya bin Umar melarang kebijakan penetapan harga (tas’ir). Jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Pemerintah tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi harga.
Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu: (1) Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemadharatan serta merusak mekanisme pasar; dan (2) Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar.
Dengan menganalisis berbagai pendapat para ‘ulama dan fuqaha di atas, penulis lebih menguatkan pendapat ulama madzhab Syafi’I dan Hanbali (pendapat jumhur) yang mengatakan bahwa kebijakan intervensi (penetapan) harga oleh pemerintah adalah tindakan yang dilarang dalam Islam, kecuali jika terjadi kondisi tertentu yang akan menimbulkan dharar (bahaya), maka penetapan harga oleh pemerintah menjadi suatu keharusan demi menghilangkan aspek yang membahayakan (madharat) tersebut. Adapun dalam kondisi normal, penjual dan pembeli diberi kebebasan untuk menentukan harga berdasarkan mekanisme pasar, mekanisme permintaan dan penawaran, dengan prinsip sama-sama ada keridha-an diantara keduabelah pihak.
Kebijakan Intervensi Harga Berbeda dengan Intervensi Pasar
Intervensi pasar dibolehkan dalam Islam, bahkan dipraktikkan sendiri oleh Rasulullah. Ketika terjadi hal-hal yang membuat mekanisme pasar terdistorsi, maka kebijakan intervensi diperlukan. Berikut adalah beberapa contoh distorsi pasar dalam Islam yang harus dicegah dan pelakunya diberikan sanksi:
- Talaqqi rukban, yaitu mencegah masuknya pedagang desa ke kota (entry barrier), karena mengakibatkan pasar tidak kompetitif;
- Mengurangi timbangan, karena barang yang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit;
- Menyembunyikan barang cacat, karena penjual mendapat harga yang baik untuk kualitas yang buruk;
- Menukar kurma kering dengan kurma basah, karena takaran kurma basah ketika kering tidak sama dengan kurma kering yang ditukar;
- Menukar satu takar kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas sedang, karena setiap kualitas kurma memiliki harga berbeda;
- Transaksi najasy yaitu penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik;
- Ihtikar (menimbun) yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang;
- Ghaban faa-hisy besar yaitu menjual di atas harga pasar akibat ketidaktahuan pembeli akan harga pasar.
Bentuk Kezhaliman dari Kebijakan Penetapan Harga oleh Pemerintah (Intervensi Harga)
Dalam kebijakan ekonomi konvensional,[14] bentuk kebijakan kontrol harga yang sering digunakan adalah menetapkan harga lebih tinggi dari harga keseimbangan pasar, disebut floor price (harga dasar). Kebijakan ini juga disebut dengan kebijakan harga minimum atau kebijakan harga terendah. Motif kebijakan ini adalah melindungi produsen dari kerugian akibat harga yang dibentuk oleh pasar yang dianggap rendah oleh pemerintah. Maka di pasar akan terjadi kelebihan penawaran (excess supply). Masalah utama dari kebijakan harga floor price adalah terjadinya kelebihan penawaran (excess supply). Penetapan harga minimum akan menimbulkan distorsi dalam pasar dan perekonomian, salah satunya adalah munculnya pasar gelap (black market). Munculnya black market selalu disertai praktik-praktik kotor korupsi dan kolusi pihak-pihak yang berkepentingan.[15]
Selain floor price, kebijakan penetapan harga yang sering dilakukan adalah ceiling price atau penetapan harga maksimum. Bertolak belakang dengan floor price yang menjadikan harga pasar yang dianggap terlalu rendah sebagai dasar untuk penetapan tingkat harga minimum untuk melindungi produsen, maka ceiling price didasarkan pada harga pasar yang dianggap terlalu tinggi oleh pemerintah sehingga harus ditetapkan tingkat harga maksimum untuk melindungi konsumen agar barang yang dijual dapat dijangkau oleh daya belinya. Maka di pasar akan terjadi kelebihan permintaan (excess demand). Dengan adanya kebijakan harga maksimum, konsumen mandapat tambahan surplus namun sama seperti kasus floor price kedua belah pihak sama-sama mengalami kerugian kehilangan surplus yang tidak dapat dinikmati oleh keduanya (dead weight loss). Implikasinya, kelebihan permintaan ini akan mendorong timbulnya pasar gelap yang selanjutnya menimbulkan korupsi, kolusi, ketidakteraturan harga barang dan praktik suap menyuap.[16]
Secara umum, penetapan harga baik di bawah atau di atas harga pasar akan menyebabkan distorsi dalam perekonomian apabila penetapan harga tersebut dilakukan pada kondisi genuine factors,[17] artinya alasan untuk intervensi harga bukan pada kondisi dharurat dimana apabila tidak dilakukan penetapan harga akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat umum.
Kesimpulan
Pertama, hadits larangan intervensi harga ini otentik karena disandarkan langsung (marfu’) kepada Nabi Saw., lengkap memiliki sanad dan matan, serta terdapat dalam kitab mashadir al-ashliyah. Para rawi dari Hadits ini juga merupakan para rawi yang tsiqah. Dari teks matannya, diketahui bahwa Hadits tersebut diriwayatkan secara lafzhi dan sebagiannya secara ma’nawi. Jika dicermati, diantara matan-matan Hadits “larangan intervensi harga” sebagaimana tercantum di atas, di dalamnya tidak terdapat tanaqudh ataupun ta’arudh. Demikian juga Hadits ini termasuk hadits marfu’, qauli, dan haqiqi.
Kedua, dari sisi kehujjahan hadits, hadits larangan intervensi harga merupakan hadits makbul dengan kategori shahih, karena diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, sanadnya muttashil (liqa’), matannya marfu’ (idhafah pada Nabi), tidak ada illat (penambahan pengurangan dan penggantian), dan tidak ada kejanggalan (tidak bertentangan dengan al-Qur’ân, hadits shahih, dan akal sehat). Berdasarkan kaidah, Hadits larangan intervensi harga juga merupakan hadits makbul yang ma’mul bih, karena banyaknya lafazh matan hadits yang sama (baik lafzhi maupun ma’nawi), yang semuanya lafazh-nya muhkam (lafazh dan maknanya jelas dan tegas).
Ketiga, kandungan hukum hadits ini adalah bahwa kebijakan penetapan harga oleh pemerintah dilarang di dalam Islam. Kandungan mufradat dan maksud lafazh dari hadits ini sangat menarik karena menggunakan uslub kinayah (kiasan). Latar belakang hadits ini berkaitan dengan terjadinya gejolak harga di Madinah. Meskipun jumhur ulama mengatakan haram bagi pemerintah melakukan intervensi harga, tetapi ada sebagian ulama (madzhab Hanafi dan Maliki) yang membolehkan intervensi harga dengan catatan tertentu.
Keempat, penetapan harga oleh pemerintah baik di bawah atau di atas harga pasar akan menyebabkan distorsi dalam perekonomian apabila penetapan harga tersebut dilakukan pada kondisi genuine factors, artinya kebijakan intervensi harga akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat umum, seperti akan mendorong timbulnya pasar gelap yang selanjutnya menimbulkan korupsi, kolusi, ketidakteraturan harga barang dan praktik suap menyuap.
Kelima, larangan penetapan harga dalam hadits tersebut konteksnya adalah larangan pihak ketiga yakni pemerintah (karena Rasulullah kala itu sebagai penguasa) untuk melakukan intervensi harga pada mekanisme pasar antara permintaan dan penawaran.
Keenam, intervensi harga berbeda dengan intervensi pasar. Intervensi pasar dalam arti upaya pemerintah memastikan agar pasar berjalan normal adalah keharusan. Hal itu dilakukan dengan normalisasi penawaran (supply) dan pemberantasan berbagai bentuk kejahatan di pasar seperti praktik monopoli, penimbunan, kecurangan, dll. Kenaikan harga-harga barang yang terjadi hari ini harus ditelaah penyebabnya. Jika ada hal yang membuat pasar terdistorsi, maka pemerintah wajib melakukan normalisasi.
Ketujuh, adapun pada kasus kenaikan bahan bakar minyak (BBM) saat ini, posisi pemerintah bukan sebagai pihak ketiga (di luar dari posisi sebagai penjual/supply dan pembeli/demand), tetapi justru sebagai penjual. Maka hadits ini tidak dapat diterapkan. Karena justru pemerintahlah (melalui BUMN) yang menetapkan harga jual dengan pertimbangan tertentu. Oleh karena kebijakan pemerintah dari aspek yang mendasar hingga teknis wajib dikoreksi karena terbukti melanggar syariat (dalam hukum kepemilikan, dll) dan menghasilkan kebijakan yang memberatkan rakyat.
Kairo, 7 September 2022
Yuana Ryan Tresna, M.E., M.Ag.
[1]Pasar adalah tempat bertemunya permintaan (dari pembeli) dan penawaran (dari penjual).
[2]Abdul Azim Islahi, Economic Concept of Ibn Taimiyah, (Leicester: The Islamic Foundation. 1998), hlm. 97-101.
[3]Distorsi pasar (market distortion) adalah gangguan/interupsi pada mekanisme pasar yang ideal. Mekanisme pasar ideal adalah mekanisme pasar yang dibentuk oleh kekuatan permintaan dan penawaran.
[4]Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Riyadh: Bayt al-Afkar al-Duwaliyah. tth.), hlm. 311; Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, (tt.: Dar Ihya al-Kutub al-Irbatiy. tth.), hlm. 443; Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyr wa al-Tauri’. tth. ), cet. ke-1, hlm. 141.
[5] Umar Ibn Ali Ibn al-Mulqan, Al-Badr al-Munir fi Takhrîj al-Ahadits wa al-Atsar al-Waqi’ah fi al-Syahr al-Kabir, (tt: t.pn, t.th), juz 6, hlm. 508.
من حَدِيث أنس رَضي اللهُ عَنهُ «أَن السّعر غلا …» الحَدِيث ، كَمَا ذكره الرَّافِعِيّ رَوَاهُ أَحْمد وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيّ وَابْن مَاجَه وَقَالَ التِّرْمِذِيّ : حسن صَحِيح . وَقَالَ الشَّيْخ تَقِيّ الدَّين فِي آخر «الاقتراح» : إِسْنَاده عَلَى شَرط مُسلم . وَرَوَاهُ ابْن حبَان فِي «صَحِيحه» بِلَفْظ عَن أنس «غلا السّعر عَلَى عهد رَسُول الله – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – فَقَالُوا : يَا رَسُول الله ، غلا السّعر فسعر لنا سعرًا . فَقَالَ : إِن الله هُوَ الْخَالِق الْقَابِض الباسط الرازق ، وَإِنِّي لأرجو أَن لَا.
[6]Hasyiyah al-Sanadiy ‘ala Ibn Majah, juz 4, hlm. 422., dengan teks sebagai berikut:
(غَلَى السِّعْر (بِالْكَسْرِ الَّذِي يَغْرَمُ عَلَيْهِ الثَّمَن. )فَسَعِّرْ (بِالتَّشْدِيدِ أَيْ عَيِّنْ السِّعْر لَنَا. )هُوَ الْمُسَعِّر (الَّذِي يُرْخِصُ الْأَشْيَاء وَيُغْلِيهَا أَيْ فَمَنْ سَعَّرَ فَقَدْ نَازَعَهُ فِيمَا لَهُ تَعَالَى وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُنَازِع. )بِمَظْلِمَةٍ (بِكَسْرِ اللَّام هِيَ مَا تَطْلُبُهُ مِنْ عِنْد الظَّالِم مِمَّا أَخَذَهُ مِنْك.
[7]Al-Mubarakfuriy, Tuhfah al-Ahwadzi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), juz 4, hlm. 452.
باب [ 1314 ] قوله (غلا السعر) بكسر السين وهو بالفارسية نرخ أي ارتفع السعر (سعر لنا) أمر من تسعير وهو أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولي من أمور المسلمين أمر أهل السوق أن لا يبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا فيمنع من الزيادة عليه أو النقصان لمصلحة (إن الله هو المسعر) بتشديد العين المكسورة قال في النهاية أي أنه هو الذي يرخص الأشياء ويغليها فلا اعتراض لأحد
ولذلك لا يجوز التسعير انتهى (القابض الباسط) أي مضيق الرزق وغيره على من شاء كيف شاء وموسعه (وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة) قال في المجمع مصدر ظلم واسم ما أخذ منك بغير حق وهو بكسر لام وفتحها وقد ينكر الفتح انتهى
وقد استدل بالحديث وما ورد في معناها على تحريم التسعير وأنه مظلمة ووجهه أن الناس مسلطون على أموالهم والتسعير حجر عليهم
والإمام مأمور برعاية مصلحة المسلمين وليس نظره في مصلحة المشتري برخص الثمن أولى من نظره في مصلحة البائع بتوفير الثمن وإذا تقابل الأمران وجب تمكين الفريقين من الاجتهاد لأنفسهم وإلزام صاحب السلعة أن يبيع بما لا يرضى به مناف لقوله تعالى (إلا أن تكون تجارة عن تراض) وإلى هذا ذهب جمهور العلماء وروي عن مالك أنه يجوز للإمام التسعير.
[8]Abdul Muhsin al-Ibad, Syarh Sunan Abi Daud, (t.t: t.pn., t.th), juz 18, hlm 60.
هذا الحديث مثل الذي قبله، وفيه أن هذا إلى الله عز وجل، فهو الذي يخفض ويرفع ويبسط ويضيق، وهذه من أفعال الله عز وجل يفعل ما يشاء ويحكم ما يريد سبحانه وتعالى، وهو الذي يأتي بالخير ويأتي بالنعم، وإذا شاء أن تقل فكل ذلك يرجع إلى مشيئة الله سبحانه وتعالى. ولو ألزم التجار بسعر معين، فقد تكون السلع دخلت عليهم بأثمان غالية، فإذا ألزم التاجر أن يبيع بأقل مما اشترى فهذا يعني أنه ألزم بالخسارة، وفي ذلك ظلم له. قوله: [ (إن الله هو المسعر القابض الباسط الرزاق) ]. هذه من أفعال الله عز وجل، والقابض الباسط متقابلان، أي: تضييق الرزق وتوسيعه. والمسعر يعني أن الله هو الذي بيده كل شيء، وهو الذي يحصل منه كثرة الرزق بأيدي الناس ولا يحتاجون إلى طلب تسعير، وقد يحصل خلاف ذلك فيحتاج الناس إلى التسعير، لكن التسعير فيه ظلم للناس كما عرفنا، لكن لا يقال: إن من أسماء الله المسعر؛ لأن هذا من أفعال الله عز وجل، فالنبي صلى الله عليه وسلم يخبر عن الله بهذه الأشياء، ولا يقال: إن هذا من أسماء الله. والقابض الباسط متقابلان، قال الله: يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ [الشورى:12]، فكل منهما مرتبط بالآخر. والله هو النافع الضار لكن لا يقال: من أسماء الله النافع الضار، فالله عز وجل يوصف بأنه نافع وضار، أعني: يخبر عنه بأنه نافع ضار، لكن لا يقال: إن من أسمائه النافع الضار. والرزاق جاء في القرآن في قوله تعالى: إن الله هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ. ]الذاريات:58]، وأما الرازق فجاء في هذا الحديث، وهو إخبار عن أفعال الله سبحانه وتعالى …
[9]Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi (Jakarta: t.pn, 1993), hlm. 466-467.
[10] Abdul Azim Islahi, Economic Concept of Ibn Taimiyah (Leicester: The Islamic Foundation, 1998), hlm. 111.
[11] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni Syarah Matn al-Kharaqi (Kairo: Thab’ah Maktabah al-Qahirah, 1970), juz 4, hlm. 164; Khathib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi al-Minhaj (Beirut: Thab’ah Dar al-Ma’rifah, tt.), juz 2, hlm. 38.
[12] Abdul Azim Islahi, Economic, hlm. 111.
[13] Yahyax binx Umar, Ahkamx al-Suq al-Nazharx wax al-Ahkamx fi Jami’ Ahwal al-Suq (Tanpax Tempat: Tanpax Penerbit, 2012), 27-85
[14]Istilah “konvensional” menjadi konvensi untuk penyebutan sistem ekonomi selain Islam, khususnya sistem ekonomi kapitalis yang banyak dipraktikkan oleh negara-negara di dunia.
[15]Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 159.
[16]Adiwarman A. Karim., hlm. 156; Anwar Nasution, Financial Institutions and Policies in Indonesia, (Singapore: ISEAS. 1983), hlm. 67.
[17]Genuine factors adalah faktor-faktor alami yang membentuk pasar dalam suatu perekonomian, yaitu permintaan yang bersifat alami (genuine demand) dan penawaran yang juga bersifat alami (genuine supply).