Melawan Demokrasi, Buku yang Menelanjangi Demokrasi Hingga Terbongkar Sisi-sisi Buruknya

Buku yang berjudul AGAINST DEMOCRACY secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “MELAWAN DEMOKRASI”. Buku yang ditulis oleh Jason Brennan ini diterbitkan oleh Princeton University Press, New Jersey, AS pada bulan Sepetember 2016.

Buku dengan ketebalan sebanyak 288 halaman ini mempunyai ISBN 9780691178493. untuk versi cetak sampul tebal. Isi buku ini disusun menjadi 9 bab dan juga dilengkapi dengan Catatan kaki, Daftar Pustaka, dan Daftar Indeks.

Jason Brennan adalah associate Professor bidang Strategi, Ekonomi, Etika, dan Kebijakan Publik di McDonough School of Business di Georgetown Univercity. Dia adalah penulis buku-buku The Ethics of Voting (Princeton), Why Not Capitalism?, dan Libertarianism. Dia adalah penulis kedua dari buku-buku Markets without Limits, Compulsory Voting, dan A Brief History of Liberty. Dia menulis secara teratur untuk blog Bleeding Heart Libertarians.

Kebanyakan orang percaya bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang baik. Mereka percaya bahwa masyarakat memiliki hak atas pembagian kekuasaan politik yang sama. Mereka percaya bahwa partisipasi politik itu baik untuk kita – ia memberdayakan kita, membantu kita mendapatkan apa yang kita inginkan, dan cenderung membuat kita lebih cerdas, lebih berbudi luhur, dan lebih peduli satu sama lain. Inilah beberapa gagasan kita yang paling dibanggakan tentang demokrasi. Namun, Jason Brennan mengatakan, semuanya adalah salah.

Dalam buku yang tajam ini, Brennan berpendapat bahwa demokrasi harus dinilai berdasarkan hasilnya – dan hasilnya tidak cukup baik. Sama seperti terdakwa yang memiliki hak atas pengadilan yang adil, warga negara berhak atas pemerintah yang kompeten. Namun demokrasi adalah aturan yang bodoh, irasional, dan terlalu sering gagal.

Lebih jauh lagi, dalam demokrasi tidak ada orang yang memiliki hak fundamental untuk berbagi kekuasaan politik. Kebanyakan orang dalam menjalankan kekuasaan politik kurang bagus.

Sebaliknya, berbagai riset dan kajian ilmu sosial menunjukkan bahwa partisipasi politik dan musyawarah demokratis sebenarnya cenderung membuat orang menjadi lebih buruk -lebih tidak rasional, bias, dan tidak bermakna. Dengan gambaran suram ini, Brennan berpendapat bahwa sebuah sistem pemerintahan baru -epistokrasi, pemerintah yang berpengetahuan- mungkin lebih baik daripada demokrasi, dan inilah saatnya untuk bereksperimen dan mencari tahu.

Penulis menyatakan dalam bagian pengantar bahwa sejak sepuluh tahun yang lalu, ia menemukan kebanyakan teori demokrasi filosofis membingungkan. Baginya, para filsuf dan ahli teori politik tampak terlalu terkesan dengan argumen simbolis untuk demokrasi. Mereka membuat gambaran proses demokratis yang sangat ideal hanya sedikit yang sesuai dengan demokrasi dunia nyata.

Penulis berpendapat bahwa gagasan seperti itu sepertinya sama sekali tidak termotivasi. Penulis menyatakan: “politik bukanlah sebuah puisi, dan di bawah kondisi ideal itu, kita akan menjadi anarkis, bukan demokrat”.

Menurut penulis banyak koleganya yang menyukai pandangan politik yang romantis: politik menjadikan kita dalam kebersamaan, mendidik dan membudayakan kita, dan menjadikan kita berteman dalam kehidupan sipil. Namun penulis melihat politik berlaku yang sebaliknya: ia menarik kita semakin saling menjauh, melemahkan dan merusak kita, dan membuat kita menjadi musuh masyarakat.

Against Democracy, sebuah buku yang berisi kritik yang menantang terhadap demokrasi dan pencetus awal berkelanjutan tentang pemerintahan yang berpengetahuan luas, adalah bacaan penting bagi para ilmuwan dan mahasiswa politik di seluruh disiplin ilmu.

Ulasan dan penilaian terhadap buku ini

Berikut adalah ulasan dan penilaian terhadap buku ini yang diberikan oleh Matthias Brinkmann seorang peneliti bidang filosofi politik di University of Virginia yang dimuat dalam website pribadinya (http://www.matthiasbrinkmann.de/).

Buku karya Jason Brennan, Against Democracy adalah kontribusi baru yang menarik terhadap teori demokrasi. Buku ini menarik dalam semua hal yang relevan: ditulis dengan gaya non-teknis yang mudah dicerna, penuh dengan analogi dan contoh yang menarik; Ia mengajukan tesis yang kuat, dan jika benar, akan menumbangkan banyak pemikiran arus utama mengenai demokrasi. Penulisnya tidak menghindar dari terlibat pada hal-hal yang rinci. Dalam beberapa hal buku ini analog dengan teori demokrasi pada buku karya David Benatar yang berjudul Better Never To Have Been: The Harm of Coming Into Existence, namun lebih meyakinkan.

Judul buku ini sedikit menyesatkan. Brennan sangat skeptis terhadap kinerja demokrasi dunia nyata, dan dia percaya bahwa demokrasi hanya memiliki nilai secara instrumental. Buku Brennan ini merupakan sebuah serangan terhadap pemikiran standar tentang demokrasi, yang ditandai dengan apa yang disebut Brennan sebagai “democratic triumphalism” (hal. 6), atau yang diberi label, romantisme demokratis. Romantisme ini terdiri dari sejumlah slogan, klaim dan gagasan yang mendominasi persepsi publik terhadap demokrasi.

Misalnya, Anda cenderung mendengar dalam pelajaran kewarganegaraan atau dalam debat publik bahwa demokrasi didasarkan pada persetujuan rakyat – sebuah ungkapan kosong yang Brennan dengan benar menyerangnya (hal. 78-82). Atau Anda akan mendengar bahwa ada kewajiban untuk memilih, bahwa jumlah pemilih yang rendah pada pemilu akan “mengancam” demokrasi, dan ketidakterlibatan dalam politik adalah buruk. Klaim-klaim ini tidak hanya diyakini secara luas; bahkan mereka membentuk semacam agama sekuler bersama.

Brennan membalik klaim-klaim ini menjadi: terkadang Anda memiliki kewajiban untuk tidak memilih, dan terkadang Anda bahkan seharusnya tidak memiliki hak untuk memilih. (Klaim Brennan ini sebagian besar dipertahankan dalam buku-buku sebelumnya). Akan lebih baik jika pemilih yang tak-berpengetahuan tinggal jauh dari tempat-tempat pemilihan, dan jumlah pemilih yang rendah dalam pemilu adalah “awal yang baik” (hal. 3). Secara umum, keterlibatan dalam politik adalah buruk bagi kita: “ia menarik kita semakin saling menjauh, melemahkan dan merusak kita, dan membuat kita menjadi musuh masyarakat” (hal. vii).

Brennan tidak hanya menerima, bahkan merasa senang dengan posisi ikonoklas ini. Pada satu titik, misalnya, Brennan melaporkan temuan Martin Gilens bahwa demokrasi yang sebenarnya jauh lebih responsif terhadap preferensi orang-orang kaya daripada preferensi pemilih kebanyakan (hal.197-8). Tidak masalah, respons Brennan: orang kaya cenderung berpendidikan lebih baik, jadi penyimpangan dari demokrasi ini mungkin bagus: “Boleh jadi pemilih berpenghasilan lebih tinggi sedang membeli kekuasaan, namun dengan cara ini mereka tampaknya akan membeli pemerintah yang lebih baik bagi semua” (hal.198).

Jadi, baik dalam gaya maupun substansi, buku Brennan ini bukan sekadar ketukan lembut pada pintu romantisisme demokratis; Ini adalah serangan frontal yang berkobar-kobar dan tanpa kompromi. Hal ini menjadikan Against Democracy memberi kontribusi yang berharga bagi literatur yang ada.

Seperti halnya Brennan, saya sering menemukan teori demokrasi menjadi hal yang membuat frustrasi. Sementara para ahli teori cenderung menghindari jebakan naif romantisme demokratis seperti yang Anda temukan dalam pelajaran kewarganegaraan, saya masih berpikir bahwa para filsuf terlalu romantis tentang demokrasi, setidaknya sejauh kenyataan empiris tentang demokrasi.

Saya tidak yakin apakah demokrasi hanya memiliki nilai instrumental, namun setiap pembela demokrasi perlu mempertimbangkan beberapa masalah yang cukup sulit. Buku Brennan ini adalah gambaran yang paling koheren, komprehensif dan meyakinkan mengenai masalah-masalah diatas sebagaimana yang telah saya baca sejauh ini.

Brennan memulai bukunya ini dengan mengumpulkan serangkaian bukti empiris yang panjang mengenai pengetahuan dan motivasi pemilih (bab 2), dan efek partisipasi politik terhadap individu (bab 3). Temuan pertamanya adalah bahwa para pemilih merupakan “para nasionalis yang bodoh, tidak rasional, tak-mendapat informasi dengan baik”, seperti yang ditunjukkan dalam bab kedua. Ungkapan ini terdengar kasar, namun bukti-bukti sulit diabaikan.

Banyak pemilih bahkan tidak bisa mengidentifikasi nama kandidat politik dari partai-partai utama, mendapat informasi yang salah mengenai posisi partai politik, dan sebagainya. Selain itu, masyarakat memproses informasi dengan cara yang tidak benar dan berdasarkan kesukuan.

Yang lebih menarik, dan dengan potensi yang lebih merusak lagi, adalah hasil yang Brennan gambarkan di bab ketiganya. Di sana dia berpendapat bahwa partisipasi politik dan musyawarah pada umumnya tidak membuat kita menjadi lebih baik, atau lebih tercerahkan, atau lebih berpendidikan. Sebagai gantinya, musyawarah -setidaknya musyawarah di dunia nyata, bukan musyawarah ideal yang biasa dibayangkan oleh para filsuf- memiliki bahaya yang dapat menjadikan kita lebih buruk dalam berpendapat, dapat membawa kita pada bias dan manipulasi, dan dapat mengubah kita menjadi “hooligan” politik sebagaima yang Brennan sebut.

Jika hal ini benar, maka tanggapan romantis umum terhadap kekurangan yang dirasakan dalam demokrasi dengan ungkapan “mari kita berlaku lebih demokratis sebagai sebuah solusi”, adalah sesuatu yang cacat/salah. Jadi, akan ada sejumlah teori filosofis tentang demokrasi deliberatif, setidaknya sejauh yang mereka inginkan secara empiris tidak relevan. Sekali lagi, ini merupakan tantangan besar bagi romantisme demokratis.

Saya tidak dalam posisi untuk menilai apakah Brennan memberikan gambaran empiris tentang literatur empiris, walaupun saya harus mencatat bahwa buku-buku lain yang diterima dengan baik seperti Democracy and Political Ignorance karya Somin dan The Myth of the Rational Voter karya Caplan memberi informasi banyak tentang cerita yang sama. Saya sangat merekomendasikan untuk membaca kedua bab ini kepada siapapun yang membahas teori demokrasi, atau siapapun yang senang dengan gambaran pemilih rata-rata.

Dalam dua bab berikutnya, Brennan melanjutkan serangannya dengan beralih ke pertahanan demokrasi yang lebih filosofis. Pertama, dia menyerang klaim bahwa demokrasi memberdayakan individu dalam beberapa hal (bab 4) –misalnya bahwa memiliki hak untuk memilih memungkinkan individu untuk menyetujui pemerintah, atau menjadikannya otonom, atau “pembuat undang-undang”, atau bahwa hal itu membantu mereka untuk tidak merasa terasing dari keputusan politik, atau untuk mengembangkan “dua kekuatan moral” yang dicetuskan oleh Rawlsian.

Brennan, menunjukkan fatka bahwa masing-masing individu tidak memiliki kendali atas hasil pemilu. Pemungutan suara dalam pemilu dianalogikan seperti mengendarai gelombang (hal 93): “Saya dapat memutuskan untuk berdiri tegak dan mencoba “mendorong kembali” gelombang ke laut atau saya dapat memutuskan untuk mengendarainya; Bagaimanapun, gelombang akan menuju ke pantai”.

Contoh lain yang jelas adalah menjadi penggemar di sebuah stadion sepak bola yang besar. Anda dapat bersorak untuk tim tuan rumah, namun suara Anda akan hilang dalam kebisingan orang banyak, dan Anda hampir tidak akan pernah mengubah siapa yang menang. Anda mungkin membuat perbedaan, tetapi itu sangat kecil dan tidak penting. Secara analog, meskipun saya dapat memutuskan untuk memilih pemenang pemilu atau melawan mereka, saya biasanya tidak akan memiliki pengaruh terhadap siapa pemenangnya.

Anehnya, romantisme demokratis secara rutin menggunakan ungkapan bahwa suara Anda “membuat perbedaan”, atau bahwa suara Anda penting, atau hal semacamnya. Ada juga ratapan berulang bahwa beberapa pemilih merasa “tidak berdaya”. Tetapi jika Anda melihat pemilihan berskala besar, ini adalah hal-hal yang tidak masuk akal untuk dikatakan atau dikenang.

Adalah tidak benar bahwa hak untuk memilih memberikan beberapa keuntungan penting secara moral pada individu. Atas dasar inilah Brennan menyatakan keberatan: “Tidak mungkin hak untuk memilih membuat pemerintah lebih responsif terhadap kepentingan saya, karena suara saya tidak membuat perbedaan (hal 86). Hak untuk memilih tidak membuat Anda lebih otonom secara signifikan, karena ini tidak memberi Anda jenis kontrol penuh atas hidup Anda atau kebijakan negara tempat Anda tinggal (hal. 90). Demokrasi tidak dapat membebaskan kita dari dominasi orang lain, karena masing-masing dari kita secara individu tidak memiliki jalan keluar dari dominasi mayoritas (hal 98).”

Lebih banyak lagi yang bisa dikatakan tentang rinciannya, tapi masalah dasarnya cukup jelas, dan Brennan menariknya dengan kuat berkenaan dengan proposal tertentu yang telah diajukan. Jika kita peduli menjadikan masyarakat otonom, atau membebaskan mereka dari dominasi atau keterasingan, nampaknya ada banyak cara lain untuk melakukannya yang jauh lebih efektif daripada memberi mereka hak untuk memilih -misalnya melalui kebijakan kesejahteraan yang meningkatkan kesempatan kita, atau dengan memberi mereka kebebasan individu yang dilindungi undang-undang. Hak untuk memilih sepertinya merupakan cara yang sangat buruk untuk memulai.

Brennan juga menolak gagasan bahwa kebebasan politik -hak untuk memilih dan mencalonkan diri untuk jabatan politik- diperlukan untuk mengekspresikan diri (hal.135-8), yang mengarah pada barangkali sindiran terbaik dalam buku ini: “Kebebasan politik adalah cara yang tidak efektif untuk mengkomunikasikan sikap kita kepada orang lain. Pemungutan suara bukanlah alat ekspresif. Ini seperti piano dengan hanya empat tombol dan yang pecah setelah memainkan satu nada”. (hal 135).

Yang lebih menarik adalah jawaban Brennan terhadap klaim umum bahwa hak pilih yang tidak setara mengungkapkan gagasan bahwa orang-orang yang kehilangan hak suaranya menjadi masyarakat bawahan, atau dalam pengertian lain tidak setara atau inferior ( hal 125). Sebagai tanggapan, Brennan memulai dengan mengamati bahwa hubungan antara memiliki hak yang sama untuk memilih dan sebuah persepsi sebagai manusia yang sama-sama berharga dibangun secara sosial (127).

Brennan menolak adanya hubungan antara hak untuk memilih dan kedudukan yang setara di masyarakat. Sebagai gantinya, “masyarakat dapat menganggap bahwa hak politis sebagai lisensi, tidak berbeda dengan lisensi mengemudi, lisensi tata rambut, atau lisensi plumbing.” ( hal129).

Dalam bab terakhir, “Musuh Sipil” (bab 9), Brennan mengakhiri bukunya dengan anggapan bahwa politik mungkin berbahaya karena mengubah kita menjadi musuh yang saling membenci.. Ketidakjelasan mengapa orang menjadi musuh akan menjadi masalah demokrasi secara khusus. Argumen Brennan di sini benar-benar mulai terlihat seperti argumen melawan (non-anarkis) politik pada umumnya.

Ini adalah salah satu dari sedikit buku filosofis yang pernah saya baca hanya dalam dua hari. Pembahasan saya di sini masih sangat awal, dan saya berharap bisa menulis sesuatu yang lebih mendalam mengenai buku Brennan ini jika saya menemukan waktunya.

Saya sangat merekomendasikan Against Democracy bagi semua pembaca, apakah ia seorang filsuf atau bukan. Buku ini sangat membantu bagi mereka, seperti halnya saya, yang selalu skeptis terhadap klaim berlebih yang mendukung manfaat demokrasi. Bahkan jika Anda berpikir bahwa beberapa bentuk romantisme demokratis adalah benar, buku ini akan tetap bernilai, yang akan membantu mengklarifikasi apa yang Anda lawan.[]

Sumber: http://news.dakwahmedia.my.id

Share artikel ini: