Mekanisme Pengangkatan Khalifah: Antara Imam an-Nawawi dan al-Qadhi an-Nabhani
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman [Khadim Ma’had Syaraful Haramain]
Pengantar
Mengapa tiba-tiba membahas mekanisme pengangkatan Khalifah (Imam) menurut Imam an-Nawawi? Apakah Imam an-Nawawi juga menyatakan, bahwa mengangkat seorang Khalifah (Imam) itu wajib, sehingga penulis perlu membahas tentang mekanisme pengangkatannya? Jawabannya sudah pasti. Karena masalah pengangkatan seorang Khalifah ini telah menjadi kesepakatan umat dan para imam mazhab sepanjang masa.[1]
Imam an-Nawawi menyatakan, “Mengenai wajibnya Imamah dan penjelasan tentang metodenya, maka umat wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan agama, membela Sunnah, membela orang-orang yang dizalimi, serta memenuhi hak, dan mengembalikannya pada posisinya. Saya tegaskan, pengangkatan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada yang layak, kecuali satu orang, maka menjadi fardhu ‘ain baginya, dan dia wajib memintanya, jika mereka (umat) tidak memulainya (dengan memberikan jabatan itu kepadanya).” Wallahu a’lam.” [2]
Perlu dicatat, istilah Imam dalam konteks ini dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dengan konotasi Khalifah, dan Amirul Mukminin. Beliau menyatakan, “Seorang Imam boleh disebut Khalifah, Imam dan Amirul Mukminin.” [3] Jadi, tidak benar, jika imam yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di sini bukan Khalifah, tetapi Presiden, Raja, atau yang lain. Pernyataan seperti ini jelas menyesatkan. Ini dikuatkan oleh penjelasan Imam an-Nawawi dalam kitabnya, al-Majmû’, “Imamah, Khilafah dan Imaratu al-Mukminin adalah sinonim (banyak kata dengan konotasi sama).” [4] Juga dikuatkan dengan penggunaan kata “Khilafah” dan “Khalifah”, dalam kitab ar-Raudhah, secara bersamaan dengan kata “Imam”, dan “Imamah”.[5]
Jadi, inilah yang menjadi alasan, mengapa penulis tidak perlu lagi membahas tentang kewajiban mengangkat seorang Khalifah (Imam), karena sudah jelas. Tidak ada perbedaan pendapat. Masalah berikutnya adalah, bagaimana mekanisme pengangkatannya? Apakah mekanisme pengangkatan Khalifah yang dibahas oleh al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani itu merupakan hal baru, yang belum pernah dibahas sebelumnya? Atau justru sebelumnya sudah dibahas, hanya disistematisasi ulang?
Karena itu, masalah pengangkatan Khalifah ini sebenarnya telah dibahas oleh para fuqaha’ di masa lalu, sebagaimana yang dibahas Imam al-Mawardi (w. 463 H), al-Juwaini (w. 478 H), al-Ghazali (w. 505 H) hingga Imam an-Nawawi (w. 676 H). Imam an-Nawawi telah membahas masalah ini dalam kitabnya, Raudhatu at-Thâblibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, juga dalam al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab.
Hal yang sama juga telah dibahas dengan mendetail oleh al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M), dalam kitabnya, al-Khilâfah, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz’u at-Tsâni, dan Nidzâm al-Hukmi fî al-Islâm. Perlu dicatat, bahwa al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebelum menjadi Qadhi, selain ijazah ‘Alimiyyah (doktoral) dari Universitas al-Azhar, beliau juga mendapatkan ijazah takhasshus di bidang mazhab Syafii. Mengingat, wilayah Syam, khususnya Palestina, mayoritas menganut mazhab Syafii. Karena itu, pandangan al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam ketiga kitabnya tentang mekanisme pengangkatan Khalifah itu sebenarnya pandangan yang sama, yang ditulis oleh Imam an-Nawawi, dengan detailisasi.
Syarat Khalifah Menurut Imam an-Nawawi dan an-Nabhani
Mengenai syarat Khalifah (Imam), dalam kitabnya, ar-Raudhah, Imam an-Nawawi menjelaskan:[6]
الأول في الامامة: وفيه فصول :
الفصل الأول: في شروط الامامة وهي كونه مكلفا مسلما عدلا، حرا ذكرا عالما، مجتهدا شجاعا، ذا رأي وكفاية، سميعا بعيدا، ناطقا قرشيا، في اشتراط سلامة سائر الاعضاء، كاليد والرجل والاذن خلاف، جزم المتولي بأنه لا يشترط، وجزم الماوردي باشتراط سلامته من نقص يمنع استيفاء الحركة وسرعة النهوض، وهذا أصح.
Bab Pertama tentang Imâmah (Khilafah):
Di dalamnya ada beberapa bagian.
Bagian Pertama: Mengenai syarat Imâmah (Khilafah), syaratnya (Imam/Khalifah) harus Mukallaf, Muslim, adil, merdeka, laki-laki, ‘alim (berilmu), mujtahid, pemberani, mempunyai pandangan dan kemampuan, bisa mendengar jarak jauh, berakal, dan Quraisy. Mengenai syarat semua anggota tubuhnya berfungsi dengan baik, seperti tangan, kaki dan telinga ada perbedaan. Al-Mutawalli (w. 478 H)[7] memastikan, bahwa itu tidak menjadi syarat. Sementara al-Mawardi (w. 463 H) memastikan selamatnya semua organ tadi dari kekurangan sebagai syarat. Cacat yang bisa menghalanginya melakukan gerakan dan bangkit dengan cepat. Ini adalah pendapat yang paling benar.
قلت: قال الماوردي: عشا العين لا يمنع من انعقاد الامامة، لانه مرض في زمن الاستراحة، ويرجى زواله، وضعف البصر إن كان يمنع معرفه الاشخاص، منع انعقاد الامامة واستدامتها، وإلا فلا، وفقد الشم والذوق وقطع الذكر والانثيين، لا يؤثر قطعا. والله أعلم.
Saya (an-Nawawi) berkata, al-Mawardi berkata, “Kecuali mata, ia tidak menghalangi terwujudnya akad Imamah (Khilafah). Karena ia merupakan sakit pada waktu istirahat, dan diharapkan bisa sembuh. Lemahnya penglihatan, jika bisa menghalanginya mengenali orang, maka ia bisa menghalangi terwujudnya akad Imamah (Khilafah) dan keberlangsungannya. Jika tidak (menghalanginya), maka tidak (menghalangi terwujudnya akad tersebut). Hilangnya penciuman, rasa, terpotongnya kemaluan dan hilangnya dua buah dzakar secara qath’I tidak berpengaruh. Wallahu a’lam.
فإن لم يوجد قرشي مستجمع الشروط، فكناني، فإن لم يوجد، فرجل من ولد إسماعيل – صلى الله عليه وسلم -، فإن لم يكن فيهم مستجمع الشرائط، ففي التهذيب أنه يولى رجل من العجم، وفي التتمة أنه يولى جرهمي، وجرهم أصل العرب، فإن لم يوجد جرهمي، فرجل من ولد إسحق – صلى الله عليه وسلم -، ولا يشترط كونه هاشميا، ولا كونه معصوما، وفي جواز تولية المفضول خلاف مذكور في أدب القضاء، فإن لم تتفق الكلمة إلا عليه، جازت توليته بلا خلاف، لتندفع الفتنة، ولو نشأ من هو أفضل من المفضول، لم يعدل إلى الناشئ بلا خلاف.
Jika tidak ada dari Quraisy, yang memenuhi semua syarat tadi, maka boleh dari suku Kinanah. Jika tidak ada, maka dari keturunan Nabi Ismail ‘alaihissalam. Jika tidak ada di antara mereka yang memenuhi syarat-syarat tadi, maka dalam kitab at-Tahdzib, dinyatakan boleh diangkat orang non-Arab. Dalam kitab at-Tatimmah, dinyatakan boleh diangkat dari suku Jurhum. Karena Jurhum adalah pangkal yang melahirkan bangsa Arab. Jika tidak ada dari Jurhum, maka dari keturunan Ishaq ‘alaihissalam. Tidak disyaratkan harus Hasyimi, juga tidak harus ma’shum. Mengenai kebolehan mengangkat yang tidak lebih baik (al-mafdhûl) itu menyalahi apa yang dijelaskan dalam kitab Adab al-Qadha’. Tetapi, jika suara (kaum Muslim) tidak bisa sepakat, kecuali dengannya, maka boleh mengangkatnya, tanpa ada perselisihan. Tujuannya untuk menghindari fitnah. Meski telah muncul yang lebih baik ketimbang al-mafdhûl, maka dia tidak boleh diganti dengan orang yang baru muncul itu, tanpa ada perselisihan pendapat.
Penjelasan mengenai syarat-syarat Khalifah (Imam) ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab.[8] Sedangkan Imam al-Mawardi menyebutkan syarat-syarat Khalifah (Imam) itu menjadi tujuh, yaitu adil, berilmu, tidak cacat indera, anggota tubuhnya tidak cacat dengan cacat yang bisa menghalanginya bergerak dan bangkit dengan cepat, mempunyai pandangan yang bisa digunakan mengurus rakyat, berani, dan dari suku Quraisy.[9]
Sedangkan al-Qadhi an-Nabhani, baik dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz’u at-Tsâni, dan Nidzâm al-Hukmi fî al-Islâm, memilah syarat-syarat Khalifah (Imam) itu menjadi dua:[10]
Pertama, syarat-syarat yang menentukan sah dan tidaknya akad Khilafah (Imâmah), yang kemudian disebut Syurûth al-In’iqâd. Jika salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi, maka akad Khilafah tersebut dinyatakan tidak sah. Ketujuh syarat itu adalah, harus Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu melaksanakan amanat khilafah.
Ketujuh syarat ini adalah syarat yang sama, sebagaimana yang dinyatakan, baik oleh Imam al-Mawardi maupun an-Nawawi di atas. Mengapa ketujuh syarat ini yang dinyatakan sebagai syarat sah dan tidaknya seseorang boleh menjadi Khalifah atau tidak, karena masing-masing dinyatakan oleh dalil. Bedanya, baik oleh Imam al-Mawardi maupun an-Nawawi, tidak membedakan ketujuh syarat ini merupakan Syurûth al-In’iqâd, sedangkan al-Qadhi an-Nabhani menegaskan, bahwa ketujuh syarat ini merupakan Syurûth al-In’iqâd, yang menentukan sah dan tidaknya akad Khilafah tersebut diberikan kepada seseorang.
Kedua, mengenai syarat-syarat lain, seperti harus mujtahid, pemberani dan dari suku Quraisy, maka kalau semuanya tadi dinyatakan oleh dalil, statusnya hanya merupakan Syurûth Afdhaliyyah (syarat keutamaan). Karena itu, untuk menyatakan sah dan tidaknya akad Khilafah tidak disyaratkan seorang Khalifah harus Mujtahid. Sebab dalam hal ini tidak ada nash yang shahih. Juga, karena tugas khalifah adalah tugas pemerintahan, yakni melaksanakan hukum saja. Tugas ini tidak mengharuskan untuk melakukan ijtihad, sebab dia bisa bertanya dan taklid pada seorang mujtahid, serta mengadopsi hukum-hukum berdasarkan taklidnya. Jadi, tidak ada keharusan seorang Khalifah harus seorang mujtahid. Hanya saja, lebih utama kalau dia memang seorang mujtahid. Kalaupun dia bukan seorang mujtahid, maka akad pengangkatannya sebagai khalifah tetap sah.
Demikian pula tidak disyaratkan, seorang Khalifah harus seorang yang pemberani dan politikus ulung yang hebat dalam mengatur urusan rakyat dan kepentingan-kepentingan lain. Sebab tidak ada hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Syarat tersebut juga tidak termasuk dalam hukum syara’ yang menjadikannya sebagai Syurûth al-In’iqâd, walaupun yang lebih utama bagi seorang Khalifah adalah seorang pemberani dan politikus ulung.
Seorang Khalifah juga tidak disyaratkan harus keturunan Quraisy. Sementara hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah, yang mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya urusan kekuasaan ini ada di tangan orang Quraisy. Siapa saja yang memusuhi mereka, pastilah Allah akan membuatnya jatuh tersungkur, selama mereka masih menegakkan (hukum-hukum) agama ini.”
Atau hadits riwayat Ibn ‘Umar yang mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda:
“Kekuasaan ini selalu berada di tangan Quraisy, selama masih ada dua orang di antara mereka”.
Hadist-hadist ini, maupun hadits-hadits yang serupa –dari hadist-hadist yang sah sanadnya sampai kepada Rasulullah tentang pemerintahan yang diberikan kepada Quraisy– adalah hadist-hadist yang berbentuk ikhbâr (berita), dan tidak ada satu pun diantara hadits-hadits tersebut yang berbentuk thalab (perintah). Bentuk ikhbâr (berita) walaupun mengandung pengertian tuntutan (thalab), tetapi tidak dianggap tuntutan secara pasti selama tidak dibarengi dengan qarînah (indikasi) yang menunjukkan adanya perintah dengan tegas (thalab jâzim). Sementara hadits-hadits yang ada dalam masalah ini tidak disertai qarînah apapun. Dengan demikian, maka hadits-hadits di atas menunjukkan perintah sunnah, bukan wajib. Kesimpulannya syarat Quraisy itu merupakan syarat keutamaan, bukan syarat terwujudnya akad khalifah.
Adapun sabda Nabi saw. dalam hadits:
“…siapa saja yang memusuhi mereka, maka Allah akan membuatnya jatuh tersungkur…”.
adalah nash yang bermakna lain, yaitu larangan memusuhi mereka, bukan sebagai penguat sabda Nabi “inna hadz al-amra fî quraisy” (sesungguhnya urusan kekuasaan ini ada di tangan orang Quraisy). Hadits ini hanya menunjukkan adanya urusan kekuasaan di tangan Quraisy dan larangan memusuhi mereka. Juga, kata Quraisy adalah ism (sebutan) dan bukan sifat. Dalam istilah ushul fiqih disebut laqab (gelar). Mafhûm ism atau mafhûm laqab sama sekali tidak bisa dijadikan dasar suatu perbuatan, karena ism atau laqab itu tidak memiliki mafhûm. Karena itu, nash tentang Quraisy tidak mempunyai pengertian bahwa pemerintahan tidak boleh diberikan kepada orang selain Quraisy.
Adapun sabda Rasulullah saw. yang menyatakan:
“Sesungguhnya urusan kekuasaan ini di tangan orang Quraisy”
“Urusan pemerintahan selalu di tangan Quraisy”
tidak berarti bahwa kekuasaan tidak boleh berada di tangan orang lain, selain Quraisy. Tidak pula, bahwa kekuasaan selalu berada di tangan Quraisy berarti melarang selain mereka. Tetapi maksud nash tersebut adalah, bahwa kekuasaan berada di kalangan orang-orang Quraisy dan dibenarkan berada pada yang lain, selain mereka. Jadi, nash tentang Quraisy tidak mencegah munculnya pemimpin selain dari kalangan mereka dalam urusan kekhilafahan. Dengan demikian, syarat quraisy adalah syarat keutamaan bukan syarat sah terwujudnya akad pengangkatan khilafah.
Rasulullah saw. sendiri pernah mengangkat ‘Abdullah bin Rawahah, Zaid bin Haritsah, dan Usamah bin Zaid menjadi amir. Padahal mereka bukan orang Quraisy. Jadi Rasulullah pernah mengangkat bukan orang Quraisy menjadi amir. Kata “Hadzal amra” berarti “wilayatu al-amri”, yaitu pemerintahan secara umum, bukan khusus ditujukan kepada khalifah saja. Jadi tindakan Rasulullah mengangkat orang selain Quraisy itu bisa dijadikan dalil, bahwa wewenang memerintah tidak hanya di kalangan Quraisy, dan tidak dilarang bagi yang lain, selain mereka. Lagi pula, al-Bukhari meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Dengarlah dan taatilah oleh kalian, sekalipun yang memerintah kalian adalah seorang budak hitam, meski kepalanya dipenuhi bisul sekalipun.”
Sedangkan Muslim meriwayatkan dari Abu Dzar yang berkata:
“Kekasihku (Nabi saw.) telah mewasiatkan kepadaku agar aku mendengarkan dan mentaati (pemimpin) sekalipun dia seorang budak yang cacat anggota tubuhnya.”
Dalam riwayat lain:
“Jika dikuasakan kepada kalian seorang hamba yang cacat lagi hitam, lalu dia memimpin kalian dengan Kitabullah, maka dengar dan taatlah kalian kepadanya”.
Hadits-hadits ini merupakan nash yang jelas tentang kebolehan seorang budak hitam menjadi pemimpin kaum Muslim. Sehingga hadits ini bisa dijadikan dalil, bahwa khilafah atau Wilayatu al-Amri dapat dipegang oleh bukan orang-orang Quraisy, bahkan bukan orang Arab sekalipun. Jadi hadits-hadits tentang Quraisy di atas hanya menyebut sebagian dari orang-orang yang berhak menjadi khalifah, demi menunjukkan keutamaan mereka, namun bukan berarti khalifah dibatasi hanya untuk mereka saja, dan tidak boleh dipegang yang lain, selain mereka.
Dengan demikian, baik Imam al-Mawardi, an-Nawawi maupun al-Qadhi an-Nabhani menetapkan kriteria yang sama untuk seorang Khalifah (Imam). Bedanya, baik Imam al-Mawardi maupun an-Nawawi tidak memilah, mana yang menentukan sah dan tidaknya, yang oleh al-Qadhi an-Nabhani disebut Syurûth al-In’iqâd, dan mana yang hanya merupakan Syurûth Afdhaliyyah saja.
Mekanisme Pengangkatan Khalifah Menurut an-Nawawi dan an-Nabhani
Mengenai mekanisme pengangkatan Khalifah menurut an-Nawawi, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab ar-Raudhah, maupun al-Majmû’, sebagai berikut: [11]
وتنعقد الإمامة بثلاثة طرق، أحدها: البيعة، كما بايعت الصحابة أبا بكر رضي الله عنهم، وفي العدد الذي تنعقد الإمامة ببيعتهم ستة أوجه، أحدها: أربعون، والثاني: أربعة، والثالث: ثلاثة، والرابع: اثنان، والخامس: واحد، فعلى هذا يشترط كون الواحد مجتهدا .
“Akad Imamah (Khilafah) bisa dinyatakan sah melalui tiga metode. Pertama, bai’at, sebagaiamana para sahabat membai’at Abu Bakar radhiya-Llahu ‘anhu. Mengenai jumlah yang dengan bai’at mereka menentukan sah (tidaknya) akad Imamah (Khilafah) itu ada enam pendapat. Pertama, empat puluh orang. Kedua, empat orang. Ketiga, tiga orang. Keempat, dua orang. Kelima, satu orang. Untuk ini, disyaratkan satu orang tersebut harus Mujtahid.”
وعلى الأوجه الأربعة يشترط أن يكون في العدد المعتبر مجتهد لينظر في الشروط المعتبرة، ولا يشترط أن يكون الجميع مجتهدين، والسادس وهو الأصح: أن المعتبر بيعة أهل الحل والعقد من العلماء والرؤساء وسائر وجوه الناس الذين يتيسر حضورهم، ولا يشترط اتفاق أهل الحل والعقد في سائر البلاد والأصقاع، بل إذا وصلهم خبر أهل البلاد البعيدة، لزمهم الموافقة والمتابعة ، وعلى هذا لا يتعين للاعتبار عدد ، بل لا يعتبر العدد ، حتى لو تعلق الحل والعقد بواحد مطاع ، كفت بيعته لانعقاد الإمامة ، ويشترط أن يكون الذين يبايعون بصفة الشهود..
“Empat pendapat tersebut mensyaratkan pada jumlah orang yang diakui haruslah ada Mujtahid, agar bisa mengkaji syarat-syarat yang diakui itu (ada atau tidak). Tidak disyaratkan semuanya harus Mujtahid. Keenam, dan ini merupakan pendapat yang paling benar, yang diakui adalah bai’at Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi di kalangan ulama’, kepala dan orang-orang yang berpengaruh lainnnya, yang dimungkinkan kehadirannya. Tidak ada syarat, semua Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi di seluruh negeri dan wilayah harus sepakat. Tetapi, jika berita dari penduduk negeri yang jauh itu sampai kepada mereka, maka mereka wajib sepakat dan mengikuti. Karena itu, tidak ada jumlah tertentu yang diakui, bahkan jumlah tersebut tidak bisa dijadikan patokan. Bahkan, kalau pun solusi dan penyelesaian itu dikaitkan dengan satu orang yang ditaati, maka bai’atnya dianggap cukup untuk menyatakan sah (tidaknya) akad Imamah itu. Disyaratkan, orang-orang yang membai’at itu memenuhi kriteria (sebagai) saksi.”
الطريق الثاني: استخلاف الإمام من قبل، وعهده إليه، كما عهد أبو بكر إلى عمر رضي الله عنهما، وانعقد الإجماع على جوازه، والاستخلاف أن يعقد له في حياته الخلافة بعده، فإن أوصى له بالإمامة، فوجهان حكاهما البغوي، ولو جعل الأمر شورى بين اثنين فصاعدا بعده، كان كالاستخلاف، إلا أن المستخلف غير متعين، فيتشاورون، ويتفقون على أحدهم، كما جعل عمر رضي الله عنه الأمر شورى بين ستة، فاتفقوا على عثمان رضي الله عنه، وذكر الماوردي أنه يشترط في المعهود إليه شروط الإمامة من وقت العهد إليه حتى لو كان صغيرا أو فاسقا عند العقد ، بالغا عدلا عند موت العاهد ، لم يكن إماما ، إلا أن يبايعه أهل الحل والعقد ، وقد يتوقف في هذا .
“Metode kedua, penunjukan yang dilakukan Imam (Khalifah) sebelumnya, dan dia menunjuknya. Sebagaimana Abu Bakar menunjuk ‘Umar radhiya-Llahu ‘anhuma, sehingga Ijmak (Sahabat) menyatakan kebolehannya. Penunjukan itu dilakukan dengan menyerahkan Khilafah setelahnya kepadanya (orang yang ditunjuk) semasa hidupnya. Jika dia mewasiatkan Imamah (Khilafah) kepadanya, maka ada dua pendapat, sebagaimana diceritakan oleh al-Baghawi. Kalau dia (Khalifah) menjadikan urusan (Khilafah) tersebut dimusyawarahkan di antara dua orang atau lebih, sepeninggalnya, maka ini statusnya seperti penunjukan. Bedanya, yang ditunjuk tidak definitif, sehingga mereka saling berembuk, lalu sepakat terhadap salah seorang di antara mereka. Sebagaimana ‘Umar radhiya-Llahu ‘anhu menjadikan urusan (Khilafah) ini dimusyawarahkan di antara enam orang. Lalu, mereka sepakat terhadap ‘Utsman radhiya-Llahu ‘anhu. Al-Mawardi menyatakan, bahwa disyaratkan orang yang diberi mandat (menjadi putra mahkota) harus memenuhi syarat Imamah (Khilafah), sejak waktu penunjukan. Maka, kalau dia masih kecil, atau Fasik saat akad, baligh dan adil saat orang yang memberi mandat (Khalifah sebelumnya) mati, maka dia belum menjadi Imam (Khalifah), kecuali setelah dibai’at oleh Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi. Boleh jadi ia bergantung pada ini.”
وأما الطريق الثالث، فهو القهر والاستيلاء، فإذا مات الإمام، فتصدى للإمامة من جمع شرائطها من غير استخلاف ولا بيعة، وقهر الناس بشوكته وجنوده، انعقدت خلافته لينتظم شمل المسلمين، فإن لم يكن جامعا للشرائط بأن كان فاسقا، أو جاهل ، فوجهان، أصحهما: انعقادها لما ذكرناه، وإن كان عاصيا بفعله.
“Adapun metode ketiga adalah menggunakan kekuatan militer dan kudeta. Jika Imam (Khalifah) mati, kemudian ada seseorang yang memenuhi syaratnya (Imamah/Khilafah) merebut Imamah (Khilafah), tanpa adanya penunjukan maupun bai’at, kemudian dia memaksa rakyat dengan kekuatan dan tentaranya, maka Khilafahnya dinyatakan sah, agar persatuan kaum Muslim bisa terjaga. Tetapi, jika dia tidak memenuhi syarat, misalnya Fasik dan bodoh, maka ada dua pendapat. Yang paling benar, Khilafahnya dinyatakan sah, sebagaimana alasan yang kami sebutkan, sekalipun dengan tindakannya itu dia dinyatakan maksiat.”
Mengenai tiga metode ini, al-Qadhi an-Nabhani memilah, mana yang disebut metode baru (tharîqah), dan mana yang disebut teknis (uslûb). Dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah:[12]
حين أوجب الشرع على الأمة نصب خليفة عليها، حدد لها الطريقة التي يجري بها نصب الخليفة، وهذه الطريقة ثابتة بالكتاب والسنة وإجماع الصحابة. وتلك الطريقة هي البيعة.
“Ketika syara’ mewajibkan umat ini mengangkat Khalifah untuknya, maka syara’ telah menentukan untuknya metode yang digunakan untuk mengangkat Khalifah. Metode ini dinyatakan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah bai’at.”
Adapun metode yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi, termasuk al-Mawardi, dalam kitab beliau, seperti penunjukan putra mahkota (istikhlâf wa wilâyatu al-‘ahd), maka menurut al-Qadhi an-Nabhani, bukanlah metode baku. Tetapi, hanya sekedar uslûb. Karena, setelah istikhlâf wa wilâyatu al-‘ahd ternyata Khilafahnya dinyatakan sah dan tidak ditentukan oleh bai’at.
Ijmak Sahabat yang dinyatakan oleh Imam an-Nawawi sebagai dalil istikhlâf wa wilâyatu al-‘ahd ini adalah kasus penunjukan Abu Bakar kepada ‘Umar, yang disepakati keabsahannya oleh para sahabat. Dalam konteks ini, al-Qadhi an-Nabhani memberikan catatan, bahwa istikhlâf wa wilâyatu al-‘ahd itu hanya uslûb, dan dilakukan oleh Abu Bakar setelah mendengarkan aspirasi penduduk Madinah selama tiga bulan, sebelum beliau wafat. Beliau menginginkan suksesi berlangsung dengan damai, sehingga kasus gesekan antara Anshar dan Muhajirin di Saqifah Bani Sa’idah tidak terulang. Tetapi, ketika istikhlâf wa wilâyatu al-‘ahd itu dilakukan status ‘Umar belum menjadi Khalifah. ‘Umar baru menjadi Khalifah setelah dibai’at oleh kaum Muslim di Masjid Nabawi.[13]
Sedangkan metode yang ketiga, yaitu al-Qahru wa al-Istîlâ’ (kekuatan dan kudeta), yang dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, ar-Raudhah, dibahas oleh al-Qadhi an-Nabhani pada Bab Hukm al-Mutasallith, dalam kitabnya, Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm:
وعلى هذا، فإنه إذا قام متسلط واستولى على الحكم بالقوة فإنه لا يصبح بذلك خليفة، ولو أعلن نفسه خليفة للمسلمين، لأنه لم تنعقد له خلافة من قبل المسلمين. ولو أخذ البيعة على الناس بالإكراه والإجبار لا تعتبر ولا تنعقد بها الخلافة، لأنها عقد مراضاة واختيار لا يتم بالإكراه والإجبار. إلا أن هذا المتسلط إذا استطاع أن يقنع الناس بأن مصلحة المسلمين في بيعته، وأن إقامة أحكام الشرع تحتم بيعته، وقنعوا بذلك ورضوا، ثم بايعوا عن رضا واختيار، فإنه يصبح خليفة منذ اللحظة التي بويع فيها عن رضا واختيار.
“Karena itu, jika ada pemberontak bangkit, dan menguasai pemerintahan dengan pasukan, maka dengan cara seperti itu dia tidak automatis menjadi Khalifah. Meskipun dia telah memproklamirkan dirinya menjadi Khalifah kaum Muslim. Karena Khilafah untuknya belum diakadkan secara sah oleh kaum Muslim. Kalau kemudian dia mengambil bai’at dari rakyat dengan paksa dan kekerasan, maka bai’atnya tidak diakui, dan dengannya akad Khilafah pun tidak sah. Karena bai’at itu adalah akad suka rela, bebas (tanpa paksaan), yang tidak bisa dilakukan dengan sempurna melalui cara paksa dan kekerasan. Hanya saja, orang yang melakukan kudeta ini, jika berhasil meyakinkan rakyat, bahwa kemaslahatan kaum Muslim akan terwujud dengan membai’atnya. Menegakkan hukum-hukum syara’ pun meniscayakan pembai’atan dirinya. Dengan begitu, mereka pun menerima dan rela, kemudian mereka membai’atnya dengan suka rela dan bebas (tanpa paksaan), maka sejak saat itu, dia menjadi Khalifah, dimana dia dibai’at dengan suka rela dan bebas (tanpa paksaan).” [14]
Dengan demikian, sebenarnya mekanisme pengangkatan Khalifah, sama-sama telah dibahas oleh para ulama’ mazhab Syafii, khususnya Imam al-Mawardi, dan an-Nawawi. Jika Imam an-Nawawi menyatakan metode pengangkatan Khalifah tersebut ada tiga, maka Imam al-Mawardi hanya menyatakan dua, yaitu bai’at dan penunjukan.[15] Sedangkan kudeta, yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi tidak dimasukkan oleh Imam al-Mawardi dalam metode pengangkatan Khalifah.
Nah, dalam konteks inilah, al-Qadhi an-Nabhani, yang nota bene menguasai dengan mendalam pemikiran mazhab Syafii, baik al-Mawardi maupun an-Nawawi di atas, kemudian membuat rumusan baru tanpa menafikasi diskursus pemikiran sebelumnya. Dengan menegaskan, bahwa bai’at merupakan metode baku (tharîqah), sedangkan penunjukan dan kudeta bukan. Tetapi, bisa dimasukkan dalam kategori uslûb. Karena, dengan penunjukan dan kudeta pun tidak automatis seseorang menjadi Khalifah, kecuali setelah setelah mendapatkan bai’at dengan suka rela dan bebas (tanpa paksaan).
Kesimpulan
Dengan demikian, jika ada yang mempertentangkan pandangan al-Qadhi an-Nabhani dengan Imam al-Mawardi, maupun Imam an-Nawawi, apalagi dengan menyatakan, bahwa mazhab Syafii, atau bahkan ditarik pada genre yang lebih besar lagi, bahwa Ahlussunnah Waljamaah menolak Khilafah, jelas merupakan penyesatan intelektual yang tidak bisa dimaafkan. Karena ini merupakan kebohongan yang nyata terhadap mazhab Syafii, maupun Ahlussunnah Waljamaah secara umum.
Bagaimana mungkin, Ahlussunnah Waljamaah menolak Khilafah, sementara rukun kedua belas, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Qâhir al-Baghdâdi (w. 429 H), dalam kitabnya, al-Farqu Baina al-Firaq, adalah meyakini perkara pokok, yaitu kewajiban menegakkan Khilafah (Imamah).[16] Justru, penolakan terhadap kewajiban ini menunjukkan, bahwa mereka sebenarnya bukan Ahlussunnah Waljamaah. Tetapi, terus-meneurus mencatut nama Ahlussunnah Waljamaah untuk kepentingan syahwat politik mereka sebagai budak kaum Kafir penjajah. Wallahu a’lam.
[1] Lihat, pernyataan Imam al-Qurthubi,
الرابعة: هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه.
“Keempat, ayat ini merupakan pangkal (dasar) yang menjelasjan hukum asal wajibnya mengangkat seorang Imam dan Khalifah yang harus didengarkan dan ditaati. Dengannya, suara (Islam/kaum Muslim) bersatu. Dengannya, hukum-hukum Khalifah bisa dilaksanakan. Tidak ada perbedaan mengenai wajibnya itu antara umat Islam dan para imam (mazhab), kecuali apa yang diriwayatkan dari al-‘Asham, yang memang tuli tentang syariat. Begitu juga siapa saja yang menyatakan pendapat sebagaimana pendapatnya, dan mengikuti pandangan dan mazhabnya. Lihat, Imam al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Tafsir Q.s. al-Baqarah: 30.
[2] Imam An-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. I, 1427 H/2006 M, Juz IV/252.
[3] Imam An-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Juz IV/252.
[4] Lihat, Imam an-Nawawi, al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, Dâr al-Hadîts, Qâhirah, cet. 1431 H/2010 M, Juz IX/119.
[5] Imam An-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. I, 1427 H/2006 M, Juz IV/253.
[6] Imam An-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. I, 1427 H/2006 M, Juz IV/251.
[7] Al-Mutawalli nama lengkapnya adalah Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Ma’mun bin ‘Ali al-Mutawalli an-Naisaburi. Beliau lahir tahun 426 H, dan wafat tahun 478 H. Lihat, Lihat, al-Ustâdz as-Assyid Shâlih bin Ahmad bin Sâlim al-‘Idrûs, as-Syâfiyah fî Bayâni Isthilahâti al-Fuqahâ’ as-Syâfi’iyyah, Juz I-II, Mathba’ah al-Hajûn, Malang, Indonesia, cet. VI, 1429 H/2008 M, hal. 120.
[8] Lihat, Imam an-Nawawi, al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, Dâr al-Hadîts, Qâhirah, cet. 1431 H/2010 M, Juz XX/72-75.
[9] Lihat, Imam al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dâr al-Fikr, Beirut, cet. tt, hal. 6.
[10] Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, 1424 H/2003 M, Juz II/31-36; Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wa al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. VI, 1422 H/2002 M, hal. 50-56;
[11] Imam An-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. I, 1427 H/2006 M, Juz IV/252-254.
[12] Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, 1424 H/2003 M, Juz II/42; Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wa al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. VI, 1422 H/2002 M, hal. 69;
[13] Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wa al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. VI, 1422 H/2002 M, hal. 86;
[14] Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wa al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. VI, 1422 H/2002 M, hal. 57-58.
[15] Lihat, Imam al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dâr al-Fikr, Beirut, cet. tt, hal. 6-21.
[16] Al-‘Allamah ‘Abd al-Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farqu Baina al-Firaq, Maktabah Dâr at-Turats, Caero, t.t. hal. 347 dan 371-373.