Mediaumat.id – Media asing, salah satunya adalah media berbahasa Inggris, The Straits Times meragukan proyek pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia ke Nusantara dengan menyatakan berapa pun harganya, memindahkan ibu kota tidaklah mudah.
“Berapa pun harganya, memindahkan ibu kota tidaklah mudah. Kota-kota baru seperti Brasilia atau Naypyidaw, Myanmar seringkali membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menemukan pijakannya,” demikian tulisan yang dirilis www.straitstimes.com, pada Senin (5/12/2022).
Pasalnya, memindahkan dimaksud tidak semudah diangankan, tetapi lebih kepada merelokasi orang yang membutuhkan pekerjaan, sekolah, dan fasilitas kesehatan yang merupakan tantangan tersendiri.
Namun, lanjut tulisan yang dilaporkan, pemerintah setempat justru menggambarkan di dalam brosur-brosur perihal kantor-kantor yang gemerlap, bus listrik, dan penduduk yang produktif secara ekonomi, serta Nusantara adalah kota metropolitan modern klasik yang terletak di tengah hutan hujan yang luas.
Untuk diketahui, sudah lebih dari tiga tahun setelah Nusantara pertama kali diumumkan, tidak ada satu pun pihak asing (yang didukung negara atau swasta) yang menandatangani kontrak mengikat untuk mendanai proyek tersebut.
Tak heran, dengan waktu 18 bulan tersisa di masa jabatan terakhirnya, Presiden Joko Widodo masih saja secara agresif mendekati investor internasional untuk membiayai sekitar 80 persen proyek yang ia harap akan meningkatkan ekonomi Indonesia itu.
Sementara dari beberapa calon investor yang telah menandatangani letter of intent, semacam kesanggupan awal, pun dikabarkan tidak menyertakan komitmen tegas untuk pengeluaran/pembiayaan aktual.
Dengan kata lain, meski sejumlah perusahaan di negara-negara termasuk Cina, Korea Selatan, Malaysia, dan Uni Emirat Arab telah menandatangani kesanggupan tersebut, justru terungkap semacam klausul dari dokumen itu yang ternyata tidak mengikat dan perusahaan masih bisa mundur.
“Bapak Widodo bertekad untuk menyelesaikan proyek tersebut, tetapi situasinya membuatnya tidak sabar dan khawatir,” ungkap Bloomberg, jaringan jurnalisme global, dilansir dari keterangan orang-orang yang menolak disebutkan namanya saat berdiskusi secara pribadi.
Ditambah dari pidato Jokowi pada 2 Desember yang mengatakan bahwa minat untuk berinvestasi di wilayah inti ibu kota baru mengalami kelebihan permintaan 25 kali lipat, tetapi faktanya di dalam pidato itu tidak menentukan apakah kontrak yang mengikat juga telah ditandatangani.
Hal sama juga disampaikan Dedi Dinarto, analis utama Indonesia di firma penasehat bisnis strategis Global Counsel. “Investor asing sangat berhati-hati karena proyek ini masih dalam tahap awal,” katanya.
Apalagi penundaan bertahun-tahun karena pandemi Covid-19 telah membuat calon pendukung ragu-ragu untuk berkomitmen pada proyek ibu kota baru tersebut. Celakanya, presiden yang mengeksekusi proyek itu juga bakal habis masa jabatannya, jauh sebelum kota baru dapat diselesaikan.
Pun demikian dengan penilaian investor atas pekerjaan pembangunan yang sebagian besar berfokus pada tahap awal seperti jalan dan jembatan. “Investor mungkin masih ragu tentang bagaimana mereka dapat memperoleh keuntungan dari berinvestasi pada infrastruktur dasar semacam itu,” imbuh Dinarto.
Di sisi lain, lanjut artikel tersebut, sumber daya negara telah terkuras oleh biaya yang terus berlanjut seperti pendidikan dan perjuangan melawan kenaikan inflasi. Belum lagi rencana pemerintah yang membayar sendiri tahap pertama dari lima tahapan pembangunan Nusantara.
Parahnya lagi, banyak negara yang saat ini mengalami perlambatan ekonomi hingga resesi. “Banyak negara sedang menghadapi resesi atau sudah berada dalam resesi karena perlambatan ekonomi global,” kata David Sumual, kepala ekonom PT Bank Central Asia yang berbasis di Jakarta.
Malahan, katanya lebih lanjut, selama beberapa tahun ke depan negara-negara terkaya pun cenderung ‘memprioritaskan agenda domestik mereka sendiri’, daripada melakukan investasi ke luar negeri termasuk ke proyek IKN.
Pun secara Indonesia, sambung tulisan yang diungkap di situs tersebut, negeri ini sekarang harus melawan reputasinya yang telah lama berdiri sebagai negara yang kurang berprestasi di bidang ekonomi.
Artinya, meski pasokan batu bara, logam, kelapa sawit, dan karet berlimpah, tingkat pertumbuhan ekonominya rata-rata 4,3 persen selama satu dekade terakhir. Tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina.
Begitu juga dengan makin masifnya tindak pidana korupsi dan sejenisnya. “Korupsi, kroniisme, dan birokrasi yang lamban semuanya disalahkan atas kegagalan berulang negara untuk memenuhi targetnya yang tinggi,” tandasnya.
Maka, hal wajar apabila para kritikus merasa khawatir terhadap ibu kota baru yang nantinya bakal menghadapi nasib sama dengan proyek mass rapid transit (MRT) Indonesia yang menghadapi penundaan hampir 30 tahun karena masalah pembebasan lahan dan kendala pendanaan.
Dibeberkan pula permasalahan serupa lainnya. “Proyek pembangkit listrik tenaga air yang besar di hutan Kalimantan, yang diluncurkan delapan tahun lalu, belum terlihat satu bendungan pun dibangun,” demikian diungkap situs yang berbasis di Singapura itu.
Keraguan keberlanjutan proyek pemindahan ibu kota negara makin menguat ketika badai covid-19 datang. Segala macam proyek moonshot_atau tanpa sepenuhnya menganalisis potensi taruhan, risiko atau manfaatnya, tidak hanya Nusantara, tersapu dari radar sebagian besar investor.
Sebutlah Masayoshi Son, pendiri SoftBank Group Corp, salah satu sedikit investor asing awal yang menyatakan minatnya pada proposal kota yang disebut-sebut ramah lingkungan dan didukung oleh kecerdasan buatan tersebut. Dia kemudian bergabung dengan komite pengarah Nusantara, bersama dengan Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed bin Zayed al-Nahyan dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
Terakhir, kendati pada awal 2022 pemerintah mengesahkan undang-undang yang membuka jalan sebagai dorongan politik untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke Kalimantan, kritik tetap terlontar salah satunya dari Peter Mumford, kepala praktik Asia Tenggara di Eurasia Group. “Pertanyaannya bukan apakah itu berjalan atau tidak, tetapi seberapa cepat dan seberapa tinggi tingkat ambisinya,” singgungnya.
Lantaran itu, The Straits Times dalam artikel itu memungkasi bahwasanya lagi-lagi realitas Nusantara sepertinya masih jauh dari visi teknologi tinggi jangka pendeknya.[] Zainul Krian