Sebagian besar analis independen sekarang berpikir bahwa entitas Zionis sudah kalah secara strategis. Misalnya, mantan Menteri Pertahanan Inggris baru-baru ini menulis di halaman Editorial (Op Ed) yang menyoroti kegagalan mendasar.
Ya, entitas itu memang telah meratakan Gaza, membantai 20.000 orang plus dan menghancurkan infrastrukturnya, tetapi itu tidak sulit ketika Anda memiliki supremasi militer dan dipersenjatai oleh negara adidaya dunia.
Namun, ketika Anda mundur, entitas itu tidak mencapai tujuan perangnya atau tujuan strategis jangka panjangnya. Ekonominya compang-camping (biaya perang membengkak dan pengalihan 350.000 pasukan cadangan sangat berdampak pada sektor teknologi dan ekspor yang penting), warganya takut dan masih trauma dengan kegagalan keamanan 7 Oktober (sebenarnya 250.000 orang masih mengungsi) dan reputasi globalnya yang naik tinggi ke titik hingga mengupayakan normalisasi sekarang jatuh ke tempat sampah setelah mencapai status sebagai negara paria dalam sepuluh minggu.
Perang juga telah memusuhi tidak hanya rakyat Palestina, tetapi seluruh dunia Muslim, sebagian besar Global South tetapi segmen besar dunia barat yang sekarang berpikir para politisi seperti Netanyahu, Biden dan Sunak lebih baik berada di Den Haag daripada berkuasa.
Gaung genosida kini telah menyebar ke rute perdagangan penting, rantai pasokan, dan kanal perairan utama yang berdampak pada pelayaran dan perdagangan global. Secara agregat, entitas Zionis tidak hanya tidak memiliki strategi militer atau politik yang layak (kausalitasnya di Gaza berjumlah ribuan sementara tidak ada hari yang layak setelah rencana itu), tetapi juga menyeret reputasi Amerika Serikat, Inggris dan Uni Eropa ke dalam lumpur bersamanya dalam putaran nasib yang ironis.
Negara-negara yang sama yang menguliahi negara-negara lain tentang hak asasi manusia, kesucian hidup dan tatanan berdasarkan aturan sekarang berada di pihak kejahatan perang, apartheid dan genosida massal.[]