Maulid Nabi: Maulid Umat dan Negara
Al-‘Allamah Sayyid Muhammad ‘Alwi al-Maliki mengatakan, “Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tidak akan pernah ada peristiwa hijrah. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan ada peristiwa Perang Badar. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan ada perstiwa penaklukan Kota Makkah. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan pernah ada umat Islam. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan pernah ada dunia ini.” Begitulah luar biasanya kelahiran Nabi Muhammad SAW Kelahirannya benar-benar menjadi rahmat. Karena itu, baginda menyandang gelar sebagai Nabiyu ar-Rahmah.
Ibundanya, Aminah binti Wahhab, yang saat itu mengandungnya pun tak merasakan sakit layaknya wanita hamil pada umumnya. Sebagaimana yang dituturkan oleh ibunda ‘Abdurrahman bin ‘Auf, as-Syifa yang menolong kelahirannya. Begitulah keajaiban demi keajaiban yang menyertai kelahirannya. Lahir pada tahun gajah. Tepatnya hari Senin, 12 Rabiul al-Awwal.
Dia lahir tak seperti bayi biasa. Dia lahir dengan bersujud, telunjuknya menengadah ke langit, dan mulutnya memanjatkan doa. Diiringi dengan sinar terang benderang mengiringi kelahirannya. Sinarnya memancar ke arah Syam. Diikuti dengan padamnya api sesembahan kaum Majusi yang disembah ribuan tahun, serta bergugurannya berhala sesembahan kaum musyrik. Semuanya ini menjadi isyarat, bahwa bayi yang dilahirkan ini bukanlah manusia biasa. Tetapi, manusia yang kelak dipilih oleh Allah SWT untuk menjadi utusan-Nya.
Dia pun diberi nama “Muhammad”, bukan “Mahmud” meski sama-sama menggunakan wazan isim maf’ul, karena “Muhammad” tidak sekadar dipuji karena satu kebaikan, sebagaimana “Mahmud”, tetapi dia puji karena kebaikannya yang tak terbatas. Kakeknya, Abdul Muthallib, yang enam bulan sebelumnya telah kehilangan putra tercintanya, Abdullah—ayahanda Muhammad SAW—merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
Dia gendong cucunya, lalu dia bawa dari rumah Aminah ke Masjidil Haram, yang berjarak sekitar 400-500 m, diajak thawaf mengelilingi Ka’bah. Bayi Muhammad kecil itu pun tak tampak lelah, apalagi menangis, karena lapar dan dahaga. Orang-orang pun berdatangan menghampiri lelaki tua, pemimpin Quraisy, pemegang kunci Ka’bah itu, untuk mengucapkan selamat atas kelahiran cucunya. Menjelang matahari tenggelam, barulah dia bawa pulang, diserahkan kembali kepada ibundanya.
Aminah binti Wahhab bukanlah wanita kaya. Kebiasaan wanita-wanita Arab pedalaman mereka datang ke Makkah untuk mencari bayi yang hendak disusui, dengan imbalan harta. Saat seorang wanita dari Bani Sa’ad, bernama Halimah as-Sa’adiyyah yang datang ke Makkah hendak mencari penghasilan dari menyusui itu dipertemukan oleh Allah dengan Muhammad kecil, hatinya pun tergerak. Tumbuh cinta dan kasih sayang di dalam hatinya kepada Muhammad kecil, meski untuk itu dia tidak mendapatkan imbalan apa-apa. Dia bawa Muhammad kecil itu ke kampungnya, Bani Sa’ad. Dia susui, sehingga Halimah pun menjadi ibu susuannya.
Kisah ini diungkit kembali oleh Allah, saat Muhammad SAW telah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, “Tidakkah Dia mendapati kamu dalam keadaan yatim, lalu Dia mengurusmu?” [TQS ad-Dhuha: 6]. Kalau bukan Allah yang menggerakkan hati Halimah as-Sa’diyyah, mungkinkan Halimah bersedia mengambil Muhammad kecil untuk disusuinya, diasuhnya, dan dicintainya?
Sejak kecil hingga dewasa pun, Muhammad SAW tidak pernah melakukan maksiat. Karena Allah menjaganya. Ini juga diungkapkan oleh Allah dalam al-Qur’an, “Dia mendapati kamu kebingungan, maka Dia pun membimbingmu.” [TQS ad-Dhuha: 7]. Saat masih kecil, dadanya dibelah oleh Jibril, dan dibersihkan dengan air Zamzam, agar tak ada noktah hitam sedikit pun di dalam hatinya. Dadanya kembali dibelah dan dibersihkan oleh Jibril sebelum peristiwa Isra’ dan Mi’raj, setahun sebelum Allah mempertemukannya dengan kaum Anshar.
Dia pun dikenal sebagai orang yang terpercaya [al-Amin], sehingga orang-orang Quraisy menitipkan barang-barang berharga mereka kepadanya. Saat terjadi konflik peletakan Hajar Aswad, dia pulalah yang kemudian diberi kepercayaan untuk meletakkannya. Namun, kecerdasan dan kebijaksaannya luar biasa, di mana saat itu dia gelar surbannya, kemudian batu itu diletakkan di atasnya, lalu masing-masing pimpinan suku mengangkat di setiap ujung surbannya yang berjumlah empat sisi itu.
Sejak kecil dia pun telah dilatih menggembala kambing. Dia juga pernah terlibat dalam Perang Fujjar, yang bertujuan membela kaum lemah dan dizalimi. Tujuannya untuk menuntut hak-hak mereka, dan mengembalikannya kepada yang berhak. Dia juga ke Syam, dan sebaliknya. Semuanya itu mengasah skill Muhammad SAW untuk suatu hari ketika Allah angkat dirinya menjadi Nabi, Rasul sekaligus Kepala Negara Islam yang pertama.
Setelah dewasa, Allah pun pilihkan wanita matang, seorang janda. Wanita yang cantik, kaya, cerdas, bijak dan akhlaknya tinggi luar biasa. Dia begitu terpesona dengan pribadi Muhammad SAW Padahal, saat itu Muhammad muda tidak mempunyai apa-apa. Sebagaimana dituturkan oleh Abu Thalib saat menjadi wakilnya, “Jika engkau memilihnya karena harta, sesungguhnya Muhammad tidak mempunyai apa-apa. Ketahuilah, sesungguhnya harta itu ibarat bayangan yang [kapan saja] bisa hilang.” Tetapi, Khadijah memilihnya bukan karena harta, tetapi karena kemuliaannya.
Setelah menikah, Khadijah serahkan seluruh harta, jiwa dan raganya. Dengan harta Khadijah, Muhammad SAW mengambil ‘Ali bin Abi Thalib untuk diasuh di rumah Khadijah. Karena orang tuanya, yang tak lain adalah pamannya sendiri, Abu Thalib, adalah orang miskin. Khadijah tidak pernah bertanya kepada Muhammad SAW tentang harta yang telah dipasrahkannya kepada suaminya. Khadijah pun tidak pernah meninggikan suara kepada suaminya, meski saat itu belum menjadi Nabi. Cinta Nabi kepadanya pun luar biasa, begitu juga sebaliknya. Lima belas tahun mereka merajut rumah tangga, hingga akhirnya Allah angkat Muhammad SAW sebagai Nabi.
Sejak usia 38 tahun, Muhammad SAW sudah tidak lagi mengurus urusan bisnis. Waktunya lebih banyak digunakan untuk menyendiri [tahannuts] di Gua Hira’, Jabal Nur. Dua tahun lamanya ber-tahannuts, dan Khadijah pun dengan setia mengirimkan makan, minum dan keperluan suaminya. Khadijah tiap hari harus naik turun gunung.
Di Gua Hira’ inilah Muhammad SAW mendapat wahyu pertama melalui Malaikat Jibril. “Wahai Muhammad, aku adalah Jibril, dan kamu adalah Nabi yang diutus oleh Allah,” kata Jibril. Dia kala itu menjelma menjadi sesosok makhluk yang begitu luar biasa besarnya. Sejauh mata memandang ke langit, tampak Jibril. Pantas ini membuat rasa takut pada diri Muhammad SAW, dan dia sampai menggigil. Di sinilah surat Al Alaq: 1-5 turun.
Setelah Jibril pergi, Muhammad SAW pun turun dari Gua Hira’, di atas Jabal Nur itu. Dengan gemetar dan berkeringat, Muhammad SAW pun bergegas menuju ke rumahnya. Sesampai di rumah Khadijah, Muhammad SAW pun berkata, “Selimutilah aku, selimutilah aku.” Khadijah pun dengan penuh kehangatan menyelimutinya. Tanpa sanggup bertanya sepatah dua patah kata, tubuh suaminya yang menggigil itu pun dipeluknya dengan erat, hingga tertidur di pangkuannya. Baru setelah itu, Khadijah tinggalkan suaminya, dan mendatangi pamannya, Waraqah bin Naufal.
Dari Waraqahlah Khadijah tahu, bahwa suaminya adalah seorang Nabi bagi umat ini. Waraqah tahu, karena dia telah membaca tanda-tandanya di dalam Injil. Namun, meski Waraqah tahu, hingga akhir hayatnya tetap tidak mau memeluk Islam. Khadijah sendiri, setelah diberitahu pamannya tentang siapa suaminya, dia pun siap. Saat itulah, tampak kecerdasan dan kematangannya. Setelah itu, dia pun kembali ke rumahnya. Dia tunggui suaminya, hingga terbangun dari tidurnya. Dia tak berani mengusik tidurnya.
Setelah Nabi Muhammad SAW bangun, Khadijah pun tak berani menanyakan ihwalnya, hingga suaminya sendiri yang kemudian menuturkan apa yang dialaminya. Dengan penuh perhatian dan empati, Khadijah pun mendengarkan penuturan suaminya. Khadijah pun membesarkan hatinya, sambil mengatakan, “Tuhanmu tidak akan pernah membiarkanmu.” Itulah sosok Khadijah yang luar biasa. []Hafidz Abdurrahman