Maulid Nabi, Kembalikan Makna Toleransi Sesuai Ajaran Nabi SAW

Kumandang Al barzanji menghiasi beberapa Masjid hingga mushola kaum Muslim pertanda masuknya bulan yang diberkahi yaitu bulan Rabiul awal. Bulan dimana lahir seorang manusia mulia, kekasih Allah SWT yaitu Baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Semua umat Islam wajib hukumnya untuk mensyukuri nikmat kehadiran Rasulullah SAW. Karena dengan hadirnya Rasulullah Muhammad SAW agama Islam dipeluk miliaran umat di dunia. Menjadi penyelamat manusia di dunia hingga akhirat.

Penting dipahami bahwa momentum peringatan kelahiran Nabi tidak cukup hanya dengan ceremony belaka. Lebih dari itu, kita harus memahami pesan dari Sang Pencipta Bumi dan segala isinya termasuk manusia biasa hingga manusia mulia penghuni bumi yaitu Allah SWT.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَا نَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَا نَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَا لْيَوْمَ الْاٰ خِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”
(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 21)

Allah SWT menciptakan Nabi Muhammad dan mengangkat Beliau menjadi Nabi tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai suru tauladan yang baik. Agar kita selamat di dunia dan di akhirat.

Keteladanan ini totalitas terhadap apa saja yang dibawa Baginda. Baik perkataannya, diamnya dan perbuatannya.

Kemudian bolehkah kita, mengambil shalat yang dicontohkan Nabi SAW namun tidak mengambil perkara bergaul dengan orang yang berlainan akidah?

Hari ini banyak berseliweran berita bahkan video-video yang berisi pesan cara bergaul atau memperlakukan orang kafir. Bertepatan dengan kunjungan apostolik Pemimpin Gereja Katolik sedunia, Paus Fransiskus ke Indonesia tanggal 3-6 September 2024.

Ada seorang wanita muslimah lengkap dengan hijabnya terisak di hadapan paus sambil berpidato atas keharuannya menjadi bagian dari katedral. Ada pula berita tentang pria berbaju koko putih membawa istri dan anak-anaknya dari Solo ke Jakarta hanya untuk menyaksikan kedatangan Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal.

Tak berhenti disitu Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) dan Kementerian Agama memberikan imbauan agar azan Maghrib diganti running text pada saat pelaksanaan misa Akbar di Gelora Bung Karno. Bak gayung bersambut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun juga menganggap hal itu tak masalah sebagai bentuk kearifan lokal.

Ditambah adegan Imam besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar pun mencium kening Paus Fransiskus sebelum Paus meninggalkan masjid Istiqlal seolah melengkapi pesan toleransi yang hendak dipertontonkan kepada umat Islam di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya.

Toleransi yang saat ini dipertontonkan, diaruskan dan dipaksakan agar diterima umat Islam atas nama kemanusiaan adalah toleransi yang tidak diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW.

Suatu kesalahan besar manakala seorang imam besar masjid kelas nasional justru memberi ruang dan karpet merah untuk pemuka agama lain akan pesan kerukunan antar umat beragama berbalut dialog lintas agama.

Padahal, Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan dengan perbuatan, membawa risalah berupa Al Qur’an yang didalamnya berisi surat khusus tentang bagaimana cara bergaul dengan orang yang berlainan akidah, yaitu surat Al Kafirun.

Dahulu Rasulullah SAW telah menolak secara tegas ajakan orang-orang kafir Quraisy untuk tetap mengikuti ajaran nenek moyangnya yang melakukan kesyirikan.

Karena apa yang Nabi ajarkan juga ajaran nenek moyang orang-orang Quraisy yaitu ajaran Nabi Ibrahim as. Hal ini pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada pamannya Abu Thalib sewaktu Rasulullah SAW shalat bersama Ali bin Abu Thalib, kemudian Abu Thalib melihatnya dan menanyakan akan ajaran apa yang dikerjakan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW.

Nabi pun menjawab: “Wahai paman, ini agama Allah, agama para malaikatNya, agama para RasulNya, dan juga agama nenek moyang kita, Ibrahim. Aku diutus oleh Allah agar menyampaikan agama ini kepada semua manusia. Engkau, hai pamanku, orang yang paling berhak untuk diberi nasehat dan diseru pada petunjuk itu. Dan engkau orang yang paling berhak untuk menerima dan menolongnya.”

Abu Thalib berkata: “Hai keponakanku, sungguh aku tidak mampu meninggalkan agama nenek moyangku dan juga tradisi-tradisi peninggalannya. Akan tetapi demi Allah aku pasti akan menolongmu dari sesuatu sekecil apapun yang kamu tidak sukai.”

Dikutip dari Sirah Nabawiyah karangan Rawwas Qalahji bagian Rasulullah mendakwahi keluarga rumahnya.

Dari dialog Nabi Muhammad SAW dengan pamannya menunjukkan bahwa ajaran nenek moyang selalu digunakan narasi pembelaan untuk tidak menyembah Allah SWT secara totalitas sejak zaman dulu.

Hari ini narasi itu berubah menjadi kearifan lokal sebagaimana yang disampaikan salah satu anggota MUI. Padahal, Islam lebih dulu ada sebelum Indonesia ada. Adanya umat Islam di Nusantara menunjukkan pemeluk Islam bagian dari nenek moyang bangsa ini.

Namun, label nenek moyang yang dibangun hari ini justru nenek moyang yang tidak berislam secara kafah sebagaimana Ibrahim di Mekah adalah nenek moyang yang bertauhid hanya kepada Allah azza wajalla. Label nenek moyang selalu ditujukan kepada nenek moyang yang mengakui atau mengimani banyak agama sekaligus. Ini mengarah kepada sinkretisme.

Sebagaimana nenek moyang yang dimaksud oleh Abu Thalib. Nenek moyang yang menyembah Allah SWT sekaligus menyembah Latta Uzza dan sejenisnya. Di dalam hatinya ada keyakinan kepada Allah SWT sekaligus keimanan kepada Latta Uzza dan sejenisnya.

Terkait hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَا صْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَ اَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ

“Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.”
(QS. Al-Hijr 15: Ayat 94)

Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah SAW untuk menyeru umat manusia hanya menyembah Allah SWT saja, menjelaskan kerusakan akidah dan kerusakan tradisi mereka, serta rusaknya aturan yang dijalankan oleh mereka.

Rasulullah SAW tidak membiarkan adanya penyimpangan sedikitpun yang bersarang dalam hati seseorang. Sebab, tidak mungkin satu hati ada dua akidah. Rasulullah SAW meminta mereka hanya mengimani dan menjalankan ajaran Islam saja atau kafir dengan mengambil sebagian ajaran Islam dan mencampurnya dengan ajaran lainnya (atas nama ajaran nenek moyang).

Inilah sikap yang jelas dan terang benderang yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam menjalani kehidupan antar umat beragama agar senantiasa hidup rukun adalah dengan menjaga akidah masing-masing dan tidak mencampur adukkan antar ajaran umat beragama sebagaimana seruan Allah SWT dalam surat Al Kafirun. Allah SWT berfirman:

قُلْ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْكَـٰفِرُونَ ‎﴿١﴾‏ لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ‎﴿٢﴾‏ وَلَآ أَنتُمْ عَـٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ‎﴿٣﴾‏ وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ‎﴿٤﴾‏ وَلَآ أَنتُمْ عَـٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ‎﴿٥﴾‏ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ ‎﴿٦﴾

Artinya:

“Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
(QS. Al-Kafirun 109: Ayat 1-6)

Rasulullah Muhammad SAW juga menjelaskan kebobrokan akidah mereka. Sebagaimana hari ini kebobrokan sinkretisme yaitu mencampurkan semua ajaran agama atas nama kemanusiaan, kearifan lokal dan dialog lintas agama adalah ajaran yang justru menodai agama Islam.

Karena keimanan adalah at tasdiq al jazm yaitu pembenaran yang bersifat pasti atas wujud Allah SWT sebagai pencipta sekaligus pengatur, melahirkan pembenaran yang bersifat pasti kepada Rasulullah sebagai pembawa risalah berupa Al Qur’an sebagai wujud keimanan akan kitab, korelasinya akan mengantarkan kepada keimanan kepada hari akhir, malaikat dan balasan di hari akhirat berupa surga dan neraka sebagaimana tertuang dalam Al Qur’an.

Jika pembenaran itu disertai dengan pembenaran agama lain, yaitu ada sesembahan yang lain yang layak disembah di muka bumi maka keimanan terhadap rukun iman yang enam bagi seorang Muslim pasti tertolak.

Dari sinilah siapapun yang mengajarkan sinkretisme kepada umat Islam sama dengan mengajak umat Islam untuk keluar dari agamanya.

Makanya Nabi Muhammad SAW sangat serius melindungi akidah umatnya, terbukti beliau terus menerus melakukan dakwah tanpa kompromi dengan akidah nenek moyang yang mencampuradukkan ajaran agama saat itu. Beliau serius membawa dakwah ini hingga tegak negara Islam di Madinah sebagai pelindung akidah umat Islam. Karena negara berfungsi sebagai pelindung atau penjaga agama itu sendiri. Terbukti, hari ini tanpa negara Islam, umat Islam banyak yang mencampuradukkan Islam dengan akidah sekularisme dalam dirinya.

Sehingga sekali waktu mereka shalat sekaligus menjalankan kebebasan dalam mengatur kehidupannya tanpa aturan agama.

Saatnya momentum Maulid Nabi digunakan sebagai syiar untuk mengembalikan makna toleransi sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW dan melindungi akidah umat Islam sesuai ajaran Nabi yaitu dengan tegaknya negara yang menerapkan seluruh aturan Illahi.

Wallahualam bishawab.

Heni Trinawati, S. Si
Aktivis Dakwah Islam

 

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: