Oleh: Lutfi Sarif Hidayat | Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)
Melihat diskusi di salah satu televisi swasta bertajuk Dua Sisi pada 25 Oktober 2017 malam yang dihadiri oleh Jubir HTI, Dirjen Kemendagri dan Politisi Gerindra serta Nasdem memberikan satu kesimpulan bagi saya pribadi. Agaknya Pemerintah terkesan kurang dewasa dalam konteks keluarnya Perppu Ormas 2/2017 yang telah disahkan oleh DPR RI 24 Oktober 2017 menjadi UU Ormas yang baru.
Mengapa saya sebut terkesan kurang dewasa? Sebab apa yang diperlihatkan berupa argumen-argumen dari keempat pembicara tersebut menunjukkan hal tersebut. Sehingga ada pesan penting bahwa UU Ormas yang baru ini semakin jelas “kerapuhan” argumentasinya. Selain itu, peran Pemerintah yang mengatur sebuah negara belum sepenuhnya menunjukkan bahwa mereka adalah pengayom bagi masyarakatnya, termasuk di dalamnya Ormas Islam.
Pertama, jelas bahwa ada kesalahan yang bisa masuk kategori fatal oleh Pemerintah khususnya dalam proses-proses pembubaran HTI. Dalam rilis yang berkembang, berdasarkan sumber-sumber yang ada proses pencabutan status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) HTI menghilangkan elemen-elemen penting, antara lain: dialog, klarifikasi, peringatan-peringatan, pembinaan intensif sampai pada penerbitan Surat Keputusan (SK) Pencabutan Status BHP asli yang hingga detik ini belum sampai kepada HTI.
Kedua, mengulang kembali hal yang paling mendasar di dalam terciptanya sebuah keadilan adalah harus dengan adanya proses pengadilan. Proses pengadilan inilah yang secara obyektif menilai hal yang substansi apakah sebuah Ormas dikatakan salah atau tidak. Hal inilah yang hilang di dalam UU Ormas yang baru saja disahkan. Apapun alasannya ketika tidak ada proses pengadilan oleh satu lembaga khusus padahal menyangkut hak penting dalam sebuah negara maka bisa dipastikan keadilan tidak akan pernah tercapai.
Indikasi tersebut kemudian yang menguatkan hipotesis jika Pemerintah sekarang ini bertindak sewenang-sewenang, represif dan cenderung diktator. Sebab Pemerintah menjadi satu-satunya menurut UU Ormas yang baru sebagai pihak yang menafsirkan hal yang esensi tanpa adanya pengadilan.
Ketiga, terkait dengan beberapa pasal karet yang sangat subyektif. Seperti misalnya pada pasal yang berkaitan dengan siapa dan apa sebenarnya yang disebut bertentangan dengan Pancasila. Sehingga jika dikaitkan dengan pasal yang mengatur hukuman terhadap pihak yang dinilai tidak benar, yang tejadi adalah bentuk tindakan berlebihan. Karena hukuman yang didapat menurut banyak pakar hukum lebih kejam dari zaman Penjajahan dan Orde Baru.
Keempat, menguatkan poin dialog dan klarifikasi kepada Ormas yang dinilai ada masalah. Menurut saya ini adalah hal sangat penting di dalam kehidupan sebuah negara. Ruang dialog dan saling bertukar informasi tidak boleh ditutup dengan alasan apapun. Sebab jika ini yang terjadi pasti ada bias informasi dan bahkan spekulasi informasi serta kemudian merugikan Ormas. Dan ini terbukti dengan persoalan yang ada pada HTI.
Ada data-data yang tidak akurat dari Pemerintah berdasarkan kajian yang saya lakukan secara langsung dan mendalam terhadap sumber-sumber utama dari HTI. Perlu diketahui bahwa, sumber-sumber utama tersebut terbuka dan bisa diakses serta dikaji oleh siapapun. Oleh karena itu, inilah sikap ‘tidak dewasa’ dari Pemerintah dengan mengeluarkan Perppu Ormas 2/2017 yang kemudian menjadi UU Ormas baru, tanpa ada dialog dan klarifikasi.
Sejak awal, sikap saya jelas. Menolak Perppu Ormas dan sampai saat ini keyakinan bahwa UU Ormas yang baru ini sebagai bentuk tindakan yang mengarah dan cenderung abuse of power tidak hilang. Sehigga saya yakin Judicial Review terhadap UU Ormas baru ini akan dikabulkan oleh MK dan dimenangkan oleh para penggugat. Kita lihat saja nanti.
25 Oktober 2017