Bukannya memberi sanksi atas berbagai pelanggaran hukum serta perusakan lingkungan, pemerintah malah memperpanjang kontrak Freeport serta membeli sahamnya dengan harga yang terlalu mahal. Tak tampak sama sekali adanya upaya untuk menjaga kedaulatan dan kepentingan negara. Di seputar itulah wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo berbincang dengan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. Berikut petikannya.
Bagaimana tanggapan Anda dengan klaim pemerintah yang telah membeli 51 persen saham Freeport Indonesia?
Saya mengangap itu merupakan kebijakan yang merugikan negara dan juga merendahkan kedaulatan negara karena yang kita beli itu harganya terlalu mahal. Sementara kalau kita konsisten bersikap mengikuti aturan yang ada dalam kontrak karya dan undang-undang maka sebetulnya kita bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Jadi, USD3,85 miliar untuk 42 persen saham itu terlalu mahal.
Terlalu mahal? Yang wajarnya berapa?
Harga itu semestinya memperhitungkan usia tambang sampai tahun 2021. Sementara pemerintah setuju dengan perhitungan yang menganggap kontrak itu sampai 2041. Itulah yang membuat harganya lebih mahal.
Kalau kita perhitungkan sampai 2021 dan kontraknya tidak diperpanjang, bukan berarti kita bisa mendapatkan barang itu cuma-cuma. Tidak seperti itu. Dan saya juga tidak mengatakan seperti itu.
Mengapa?
Karena menurut Pasal 22 Kontrak Karya, kalau kontrak berakhir, kita mempunyai kesempatan pertama untuk membeli. Kitalah yang mempunyai hak pertama untuk membeli aset Freeport. Membelinya seperti apa? Di Pasal 22 itu disebutkan harganya itu harga pasar atau sekitar nilai buku.
Tapi kata pemerintah kalau tidak diperpanjang, kita bisa digugat ke arbitrase…
Sedangkan di Pasal 31 disebutkan tentang kemungkinan bagi Indonesia untuk tidak memperpanjang kontrak dengan alasan yang masuk akal dan bisa diterima. Sementara kita punya sekian banyak alasan yang wajar, untuk tidak memperpanjang. Misalnya, Freeport sudah tidak mengikuti aturan tentang divestasi, tidak membangun smelter, merusak lingkungan, kemudian kita juga bisa menggunakan aspirasi masyarakat yang menginginkan supaya tambang itu dikelola negara.
Jadi kalau kita bilang tidak mau memperpanjang dan ini tercantum di dalam kontrak karya, sebetulnya kita tidak perlu khawatir digugat di arbitrase.
Jadi divestasi ini harus dibatalkan ya?
Iya, itu yang pertama. Yang kedua, soal lingkungan. Freeport sudah merusak lingkungan dan sudah dihitung nilai kerusakannya berapa sehingga keluarlah sanksi bahwa Freeport harus membayar Rp183 triliun oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK). Tetapi ini seolah-olah tidak diperhitungkan sama sekali oleh pemerintah.
Lalu negara apa ini? Kita kan negara berdaulat, punya Undang-Undang tentang Lingkungan, Undang-Undang tentang Kehutanan, Undang-Undang tentang Minerba. Nah, semua itu berdasarkan laporan BPK, ada dua hal penting. Pertama, pelanggaran undang-undang. Kedua, ada potensi kerugian negara akibat kerusakan lingkungan.
Lembaga yang menjadi objek audit BPK, wajib menindaklanjuti temuan itu. Tetapi mengapa kewajiban itu tidak dilakukan oleh pemerintah? Itulah yang menjadi alasan kedua saya untuk mengatakan kita harus membatalkan divestasi ini.
Alasan ketiga?
Kita bisa mengatakan sebagai pemegang saham mayoritas. Tapi faktanya yang mengendalikan tetap saja Freeport. Untuk apa itu? Sementara secara umum menurut kaidah-kaidah bisnis ya, siapa yang memegang saham mayoritas maka dialah yang akan menjadi pengendali. Kenapa kita di sini masih tunduk membiarkan perusahaan itu dikendalikan oleh Freeport?
Indikasinya apa tetap dikendalikan Freeport?
Siapa yang jadi dirut? Siapa yang jadi komut? Itu kan dari mereka semua. Kita jadi pelengkap saja, meskipun saham kita mayoritas. Kan jadi lucu.
Mengapa posisi pemerintah bisa selemah itu di hadapan Freeport?
Ya, saya tidak mengerti. Yang jelas bukan saya tidak setuju kalau kita menguasai Freeport tetapi jangan juga kita melakukannya at any cost, seolah-olah biaya tidak masalah, seolah-olah undang-undang tidak masalah, yang penting katanya, “Freeport kembali ke pangkuan ibu pertiwi”. Lha, apanya yang kembali? Yang ngontrol mereka, lalu kita bayar kemahalan, lalu masalah kedaulatan negara tidak diperhatikan.
Apakah posisi lemah tersebut lantaran target oknum pemerintah memang sekadar memburu rente?
Bisa saja, hanya kita tidak punya alat bukti untuk menuduh begitu ya. Tapi menurut saya kalau pemerintah memang serius untuk membela kepentingan negara, menjaga kedaulatan negara, maka semestinya pemerintah melakukan negosiasi dan bertahan dengan yang telah diatur dalam kontrak. Misalnya tadi terkait harga dan tidak ada kewajiban untuk memperpanjang kontrak. Kalau mereka serius, mereka bisa dapat harga lebih murah.
Jangan juga takut dengan ancaman arbitrase, tapi ini malah mereka manfaatkan dengan mengatakan, “harus diperpanjang, kalau enggak nanti kita digugat”. Padahal kalau digugat juga kita yakin kita bisa menang, asalkan kita serius.
Kata pemerintah kalau digugat ke arbitrase prosesnya lama…
Sekarang Anda memilih apa? Berdaulat kan? Anda punya aset. Dianggap lebih penting mana? Menegakkan kedaulatan dan menjaga potensi kerugian negara atau ketakutan digugat di arbitrase yang sebetulnya masih di dalam kemungkinan bisa menang atau bisa kalah.
Bagi saya, kemungkinan bisa menang atau bisa kalah itu bukan jadi ukuran. Yang nomor satu jadi ukuran itu adalah kita ini negara berdaulat. Kita harus menegakkan martabat bangsa kita. Jadi seandainya pun kita kalah, sebagai negara yang berdaulat, rakyat juga bangga punya pemerintah yang berani berhadapan dengan perusahaan asing yang semena-mena menguasai aset kita.
Menurut pemerintah, kalau prosesnya lama itu mengakibatkan ketidakpastian operasi, membahayakan kelangsungan tambang…
Itu merupakan kemungkinan kondisi terburuk. Kalau nanti ekonomi Timika terganggu ya kita bantulah lewat APBN. Kita mengutamakan martabat dan kedaulatan bangsa atau mau mengutamakan kepentingan asing sehingga ketika kita ditakut-takuti lalu kita tidak melakukan apa-apa?
Kalau pemerintah kalah, ini kata pemerintah lagi, nanti pemerintah wajib mengganti rugi miliaran USD…
Tidak apa-apa, tetapi kita sudah tunjukkan. Makanya kita harus mempersiapkan diri untuk meminimalisir kemungkinan kalah. Yang paling prinsip itu begini, ini negara, negara berdaulat. Ada aturan main di negara ini. Masak sih 260 juta orang kalah oleh satu perusahaan yang kekalahan itu diatur dari kontrak? Masa kontraknya itu tidak bisa diubah sesuai dengan kehendak rakyat yang 260 juta ini?
Di Amerika Latin juga sudah terjadi, dihadapi itu gugatan ke arbitrase. Dan mereka menang.
Contohnya?
Venezuela, Bolivia dan Argentina. Kasusnya itu ada kontrak dengan perusahaan asing, lalu ada perubahan konstitusi dan undang-undang, maka kontrak-kontrak tadi diminta menyesuaikan diri dengan undang-undang. Lalu si asingnya menggugat ke arbitrase. Dihadapilah oleh negara-negara itu, dan negara-negara itu menang.
Kata pemerintah lagi, kalau Indonesia menang, tidak dapat gratis, tetap saja harus bayar…
Oh iya… itu kan saya bilang tadi. Kita juga bukan maunya gratis.
Tetapi yang jelas tidak semahal sekarang ya?
Iya, tidak semahal itu.
Apakah bisa disimpulkan berarti “ada kedustaan dan kejahatan sistematis di balik divestasi saham Freeport Indonesia”?
Iya, saya kira begitu.
Bagaimana pemerintah seharusnya untuk menyanggah tuduhan “ada kedustaan dan kejahatan sistematis di balik divestasi saham Freeport Indonesia”?
Saya mau pemerintah itu terbuka terkait hal-hal yang sudah disepakati dengan Freeport. Semuanya harus dibuka karena dengan sistem IUPK itu semuanya harus terbuka. Tidak boleh itu disembunyi-sembunyikan.
Untuk membuktikan tidak ada KKN, kalau perlu pemerintah juga minta diaudit dan diselidiki oleh KPK. Sebaliknya, KPK pun harus pro aktif.[]
Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 235