Wakalah adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang menggantikan orang lain, dalam tindakan yang boleh [tasharruf jaiz] dan jelas [ma’lum]. Kasus wakalah, dari aspek akadnya, hampir sama seperti samsarah dan ju’alah, yaitu sama-sama akad yang tidak mengikat [‘aqd ghaira lazim], atau yang biasa disebut ‘aqd jaiz. Karena itu, baik muwakkil [yang memberikan wakalah] maupun wakil [yang menerima wakalah], sama-sama boleh membatalkan wakalah-nya kapan saja.
Hanya saja, meski akad ini bersifat jaiz, dan bukan akad yang lazim, tetapi untuk bisa disebut akad, tetap saja membutuhkan ijab dan qabul. Redaksi ijab tersebut tidak harus satu, yang penting menunjukkan konotasi “memberikan izin”, misalnya, “Saya izinkan Anda untuk melakukan ini.” Atau, “Saya izinkan Anda menjualkan properti saya, atau tanah saya.” Dan seterusnya. Boleh juga, dalam akad wakalah ini, menurut sebagian fuqaha’, diikat dengan syarat tertentu, misalnya, “Kalau waktu Idul Adhha sudah dekat, tolong belikan kambing kurban untuk saya.” [al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, juz II/1974]
Pihak yang memberikan wakalah [muwakkil] disyaratkan harus: (1) berakal, (2) baligh, (3) merdeka [bukan orang terkena hijr [larangan bermu’amalah]]. Karena itu, wakalah tersebut bisa batal, ketika muwakkil tiba-tiba menjadi gila, mati, atau terkena larangan bermu’amalah [mahjur]. Termasuk, ketika apa yang diwakilkan oleh muwakkil kepada wakil-nya kemudian di-take over oleh muwakkil, ini juga bisa membatalkan akad wakalah-nya.
Sedangkan wakil [orang yang menerima wakalah] disyaratkan harus: (1) berakal, (2) mumayyis [belum baligh], dan (3) [bukan orang terkena hijr [larangan bermu’amalah]]. Dalam akad wakalah ini, seorang wakil tidak boleh menjadi wakil bagi penjual sekaligus wakil bagi pembeli. Tidak boleh merangkap, harus salah satu. Begitu juga, wakil tidak boleh mewakilkan pekerjaan yang diwakilkan kepadanya kepada orang lain. Jika muwakkil mengizinkan, maka wakil kedua tersebut bukanlah wakil bagi wakil yang pertama, tetapi dia adalah wakil dari muwakkil. Karena itu, wakil yang pertama tidak boleh memberhentikannya.
Bagi muwakil yang mengizinkan wakil pertamanya untuk mewakilkan kepada orang lain, maka disyaratkan wakil yang kedua haruslah orang yang amanah, cakap dan mampu menunaikan tugasnya dengan baik.
Adapun tugas dan fungsi [muwakkal bih] kedua wakil tersebut sama, yaitu sama-sama berhak melaksanakan apa yang diamanahkan kepadanya, sebagaimana ketika muwakkil itu mengerjakannya sendiri. Dengan catatan, sebagaimana dalam akad ijarah, jasa [muwakkal bih] yang diberikan haruslah jasa yang mubah, bukan jasa yang diharamkan. Juga harus jelas [ma’lum], bukan sesuatu yang kabur [ghumudh] atau tidak jelas [majhul]. Bukan pula fardhu ‘ain yang menjadi kewajiban muwakkil, seperti ibadah mahdhah, atau izin pribadi yang hanya diberikan syara’ kepadanya, bukan untuk yang lain, seperti meniduri istrinya, maka tidak boleh diwakilkan kepada orang lain.
Tidak boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menguasai kepemilikan umum, seperti wakalah untuk menempati shaf pertama, dan sebagainya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada orang lain dalam masalah kesaksian, karena saksi tidak boleh diwakili.
Inilah ketentuan umum tentang wakalah. Akad ini bisa dilakukan dengan atau tanpa upah. Jika akad ini dilakukan dengan upah, seperti menjadi anggota DPR/MPR yang mewakili rakyat kemudian mendapatkan gaji. Contoh lain, menggantikan haji atau umrah orang lain dengan kompensasi tertentu. Atau, membelikan atau menjualkan tanah, properti, atau apapun yang boleh dijual kepada pihak lain, dengan kompensasi [upah atau fee]. Maka, akad wakalah ini disebut wakalah bi al-ujrah. Semuanya ini boleh, dengan syarat dan ketentuan sebagaimana di atas. Wallahu a’lam.[]