Marak Pinjol untuk Bayar UKT, Akibat Liberalisasi Pendidikan

Mediaumat.info – Mengenai maraknya metode pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) dengan pinjaman online (pinjol) merupakan dampak dari liberalisasi pendidikan.

“Saya kira ini dampak langsung dari kebijakan pemerintah terkait dengan liberalisasi atau swastanisasi pendidikan,” ujar Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim dalam Kabar Petang: Kisruh UKT Pakai Pinjol, Jumat (1/2/2024) di kanal YouTube Khilafah News.

Karena, menurutnya, dengan kebijakan ini pemerintah perlahan tapi pasti melepaskan pembiayaan dunia pendidikan untuk diserahkan kepada pihak swasta, sementara perguruan tinggi negeri (PTN) diharap mencari dana sendiri.

“Nah kalau bicara terkait PTN mencari sendiri, maka dana yang paling mereka mudah dapatkan itu ya dari mahasiswa, dampaknya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) mahal,” bebernya.

Sedangkan di sisi lain, ungkapnya, kondisi ekonomi yang semakin lama semakin memburuk, akhirnya banyak mahasiswa kesulitan bayar UKT maupun SPP.

“Inilah dampak langsung dari kebijakan pemerintah dengan liberalisasi dan swastanisasi pengelolaan pendidikan di Indonesia,” ungkapnya.

Anggaran

Arim juga membeberkan, anggaran pendidikan di Indonesia ini sangat minim di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu hanya 20%, kurang lebih 600 triliun untuk semua pendidikan di Indonesia.

“Jadi sebenarnya anggaran pendidikan yang besar tadi yang 20%, atau 600 triliun di 2024, itu bukan hanya di departemen pendidikan saja tapi di lembaga-lembaga yang diklaim itu, yang istilahnya itu masalah pendidikan,” tuturnya.

Anggaran tadi, kata Arim, itu tidak seberapa dengan pembayaran utang. “Justru kalau kita lihat anggaran yang besar itu adalah untuk bayar utang di 2024 saja, bayangkan bunganya aja yang harus dibayar pemerintah itu mendekati 500 trilliun,” ungkapnya.

Dampak

Dampak dari metode pembayaran UKT pakai pinjol, menurut Arim, mampu mengalihkan fokus mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan menjadi aktivis pragmatisme.

“Kalau kita bicara peran mahasiswa yang menjadi bagian agen perubahan yang harusnya kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, maka ketika disibukkan dengan kegiatan dalam rangka membayar utang cicilan pinjolnya, maka sudah dipastikan saya kira akan kehilangan sikap kritisnya terhadap rezim ini,” ungkapnya.

Atau, lanjutnya, bisa jadi akan menjadi permainan deal-deal politik seperti pemberi bantuan pembayaran SPP asalkan tidak boleh berpikir kritis pada kebijakan pemerintah, yang merugikan masyarakat dan juga merugikan mahasiswa itu sendiri.

“Jadi saya lihat ini memang akan muncul masalah baru dalam konteks tatanan sosial-politik masyarakat Indonesia,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Share artikel ini: